Aku menatap ke luar jendela, membiarkan pikiranku tenggelam dalam kekosongan. Setelah insiden penculikan itu, segalanya terasa begitu berat. Keberanian yang sebelumnya mengalir dalam diriku perlahan-lahan memudar, tergantikan oleh keraguan yang menggerogoti. Aku memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana Damien dan Celeste berusaha menghancurkanku. Bagaimana aku hampir tidak bisa keluar dari situasi itu. Setiap detik dalam penangkapan itu terukir jelas di ingatanku, seperti bayangan gelap yang terus membayangi. Namun, yang lebih mengusik pikiranku adalah bagaimana Lucian muncul tepat waktu, seperti selalu tahu aku dalam bahaya. Dan sekarang, aku duduk di kamar ini, menunggu kejujuran yang katanya akan dia berikan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu, apakah aku benar-benar siap untuk mendengar apa yang akan dikatakannya? Pintu terbuka, dan aku bisa mendengar langkahnya mendekat. Setiap langkahnya terasa seolah beban yang dia bawa jauh lebih berat dari yang aku pikirkan. Ak
Aku memperhatikan Lucian yang berdiri di seberang meja. Raut wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kilatan fokus di matanya. Di antara kami, berkas-berkas tersusun rapi—semua bukti yang selama ini dia kumpulkan. Laporan-laporan itu adalah hasil kerja keras yang akan membuktikan semuanya. "Jadi ini yang kau temukan?" Aku meraih salah satu dokumen dan membaca isinya. "Iya, aku sudah lama mencurigai Damien dan Celeste, tapi aku tidak bisa bertindak tanpa bukti konkret. Dan sekarang kita punya semuanya." Aku menggigit bibir. Ada banyak angka dalam laporan ini—transfer mencurigakan, aset yang tidak dilaporkan, dan transaksi ilegal yang mengarah pada penyelundupan. Damien dan Celeste benar-benar tenggelam dalam dunia kejahatan lebih dalam dari yang kuduga. Setiap halaman tampak seperti mencerminkan kegelapan dari kehidupan mereka yang selama ini tersembunyi. Lucian menyandarkan diri pada kursi, lalu menatapku lurus. "Setelah ini, tidak ada jalan kembali bagi mereka. Begitu kita m
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar rumah sakit sehingga menciptakan pantulan hangat di lantai putih yang mengilap. Aku berdiri di samping ranjang, menatap wajah ibuku yang tiba-tiba mulai membuka matanya perlahan. Napasku tertahan di tenggorokan saat jari-jarinya bergerak pelan. "Seraphina," panggil wanita itu seperti bisikan, membuat air bening spontan memenuhi pelupuk mataku. "Ibu!" Aku segera menggenggam tangannya dan menunduk untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. "Ibu benar-benar sudah sadar?" Tatapan matanya masih lemah, tapi ada sudah kehangatan di dalamnya. Dia mengedarkan pandangan, seolah memastikan di mana dia berada sekarang. "Berapa lama aku tertidur?" Aku tersenyum lembut sambil menangis. "Cukup lama, tapi itu tidak penting sekarang. Yang penting, Ibu sudah kembali. Aku senang bisa melihat ibu membuka mata lagi." Pintu kamar kemudian terbuka. Ayahku masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tegar, kini dipenuh
Suara gemericik air dari keran masih terdengar saat aku membilas piring terakhir. Lampu dapur kuning redup membuat suasana terasa tenang. Setelah makan malam, Lucian ke kamar sebentar untuk menerima telepon. Entah dari siapa. Aku tidak terlalu peduli. Aku menyeka tangan dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel. Baru saja hendak berbalik, dua tangan kekar tiba-tiba melingkar ke pinggangku dari belakang. "Lucian," panggilku menahan gugup. Lucian hanya berdehem, dagunya sengaja bertumpu di bahuku. Napasnya menyapu kulit leher sehingga membuatku merinding, tapi aku tidak membantah jika itu terasa nyaman. "Kau kenapa? Apa ingin menanyakan sesuatu?" Lucian diam sejenak, lalu mengeratkan pelukannya pada perutku. "Aku tidak sabar untuk tidur bersamamu." Aku merasa jantungku membeku satu detik, tapi berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Kau seperti sedang menantikan sesuatu yang menyenangkan." "Itu benar. Kau memang pintar, Istriku." "Lucian ...." "Kenapa?
Aku berdiri di dapur, diam-diam menyelipkan sebatang cokelat ke mulut sambil memperhatikan Lucian yang melintas lagi dengan koper kecil dan beberapa barang di tangan. Gerak-geriknya tenang, nyaris terlalu biasa … tapi justru itu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari seharusnya. "Jadi dia benar-benar pindah, ya," gumamku lirih. Lucian melewatiku sekali lagi, kali ini dengan bantal tambahan. Aku mengunyah pelan cokelat di mulutku, seolah rasa manis itu bisa mengalihkan pikiranku yang semakin liar. "Tenang, Seraphina. Pria itu hanya akan tidur. Tidak akan melakukan apa-apa. Meskipun bukan patung es, aku berharap dia tidur seperti batu." Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh sambil membatin, "Aku sungguh tidak mengerti … mengapa aku gelisah seperti ini?" Akhirnya dengan langkah pelan, aku menuju kamar. Pintunya sengaja dibiarkan setengah terbuka. Dari celahnya, kulih
Aku sudah berbaring di tempat tidur, memunggungi Lucian yang masih duduk dan membolak-balikkan lembar dokumen di sampingku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya sejak kami masuk kamar. Entah kenapa, aku merasa canggung. Ini mungkin pertama kalinya sejak kami resmi menikah, aku tidak merasa marah, tidak merasa tertekan, hanya sedikit bingung. Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku ditarik ke belakang. Lucian melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu menekan tubuhnya ke arahku. Tubuhku seketika kaku, tetapi tidak bisa bergerak karena pelukannya terlalu erat. Kepalaku menyentuh dadanya, dan kakinya melingkar di kakiku. Seolah-olah aku sedang dipenjara dalam kehangatan yang tidak bisa kutolak. "Lucian," bisikku menahan gugup. Bukannya menjawab, Lucian justru mengecup bagian atas kepalaku. Hangat. Lembut. Dan terlalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Terima kasih," kata Lucian tiba-tiba. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas di telingaku. "T
Aku baru saja selesai mengeringkan rambut ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamar mandi. "Seraphina." Suara itu memang terdengar tenang tanpa godaan, tapi aku masih bisa mendengar sedikit nada iseng di baliknya. Aku akhirnya membuang napas pelan. "Apa, Lucian?" "Kau mau mandi bersamaku?" "Astaga." Aku menggumam pelan. Aku tahu ini pasti ulahnya lagi. Selalu ada saja caranya menjahiliku, dan kali ini jelas-jelas aku tidak akan membiarkannya menang. "Tidak," jawabku cepat sedikit berteriak. Lalu beberapa saat kemudian tidak ada balasan apapun. Aku akhirnya membuka pintu, dan ternyata dia sudah pergi, aku segera melangkah cepat keluar dari kamar mandi. Tubuhku masih diselimuti aroma sabun ketika aku melangkah ke dapur dengan handuk melilit rambut dan baju mandi satin berwarna lembut. Mataku langsung menangkap sosok Lucian yang tengah menata piring di meja makan. Dia tampak fokus, kedua tangannya lincah mengatur sendok dan garpu, dan ... entah kenapa, p
Hari ini tidak ada rapat besar. Aku baru sadar ketika membuka pintu ruang kerja Lucian dan mendapati dia duduk santai di sofa panjang, tanpa jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Pemandangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan begitu saja. "Kau tidak ada rapat hari ini?" Lucian melirikku singkat. "Tidak. Aku hanya menyelesaikan laporan pribadi." Aku melangkah masuk, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju sofa tempat dia duduk. Aku meletakkan tas tangan di meja dan duduk di sampingnya. Tanganku meraih berkas yang dia baca dan meletakkannya ke meja. "Kalau begitu, kau bisa diganggu sebentar, kan?" Dia mengangkat alis. "Gangguan macam apa yang kau tawarkan?" Aku tidak menjawab. Tubuhku bergeser, mendekat hingga hampir memojokkan dia ke sudut sofa. Tanganku menyentuh kerah kemejanya. "Kau terlalu santai. Aku tidak terbiasa melihatmu seperti ini." "Itu artinya kau harus membiasakan diri." Aku tertawa kecil.
“Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”
Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la
Cahaya sore mengalir pelan melalui jendela kaca kafe kecil di sudut kota, membentuk siluet tenang di atas meja kayu bundar tempat aku duduk. Jemariku melingkar di cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya, tapi aku nyaris tak menyadari itu. Pikiranku terlalu sibuk menimbang. Bertanya. Menebak-nebak.Dia sudah lima belas menit terlambat.Dan aku masih di sini.Bukan karena aku tak punya pilihan. Tapi karena rasa ingin tahu adalah jebakan yang manis sekaligus berbahaya.“Maaf, aku terlambat.”Suara itu membuatku menoleh. Pria itu berdiri di dekat meja dengan jaket hitam dan wajah yang lebih tirus dari yang kuingat dari foto-foto skandal yang dulu sempat beredar. Tak ada aura menggoda, tak ada karisma gelap seperti yang pernah digembar-gemborkan media. Yang kulihat hanya lelah.“Xander?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk, lalu duduk dengan kikuk. Matanya bergerak cepat, menghindari tatapanku.
Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti
Langkahku mantap, meski tangan yang menggenggam gunting berlapis emas ini sempat bergetar sesaat. Di hadapanku, pita satin berwarna biru tua melintang di depan pintu kaca besar bertuliskan Fleur DeVere dalam font elegan dan tegas.Di belakangku, para tamu berdiri. Pers, investor, teman-teman yang pernah melihatku menangis diam-diam di pojok toko bunga lama milik ibuku. Hari ini bukan hanya soal gedung megah atau bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ini tentang bertahan. Tentang kelahiran kembali.Kutarik napas panjang, lalu mengayunkan gunting. Suara pita terpotong seperti gemuruh halus di dadaku. Gemuruh yang berkata: aku berhasil.Tepuk tangan menggema. Kamera menyala. Tapi dunia seolah mengabur saat aku melangkah ke podium. Mikrofon tingginya sejajar dadaku, tapi suaraku jauh lebih tinggi dari itu. Meskipun aku mengaku aku gugup, tapi beruntung aku bisa mengontrol diri."Saya dibesarkan di antara bunga." Aku memulai pembicaraan, dengan suaraku yang stabil dan rendah tan
Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku
Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel
Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me
Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam