Hening sebentar waktu dua pasang mata saling bertatapan. Waktu seakan berhenti meski sebentar. Alunan musik yang sebelumnya diputar oleh Berliana juga tepat sekali pas berganti.
Membuat suasana bertambah hening dan keduanya sama-sama canggung bertatapan.
Apa seutuhnya hening dan sepi? Sebetulnya tidak juga. Resto yang ramai di bawah sana. Suara gemuruh percakapan orang seperti sekawan lebah madu di dalam sangkar. Suara alat masak yang beradu di tangan Wilda dan Dhita, meramu berbagai pesanan.
Bahkan jika didengar saksama suara jarum jam Berliana juga ikut berpartisipasi suara.
Tapi kesepian yang terjadi lebih dari itu. Mereka berdua seakan tak tahu, kata pertama apa yang pantas keluar dari mulut mereka.
Hingga sebuah petikan gitar mengambil alih percakapan mereka. Ya, lagu Berliana berputar kembali dan mereka sama-sama tahu melodi siapa yang tengah diputar.
<
“Temani?” Vero mengangkat alis.Berliana mengangguk, masih dengan tangan dingin dan gemetarnya yang menahan Vero pergi.Matanya, meski Vero tak dapat melihatnya langsung, laki-laki itu tahu Berliana tengah sangat memohon padanya.“Maaf,” jawab Vero. Jemari tangannya menggeliat melepaskan diri. Melepaskan diri dari genggaman tangan Berliana.“Saya kira kita masih jauh berbeda. Dari sisi mana pun,” lanjutnya dengan amat menyakitkan.Sepatu pantofel kerja yang Vero kenakan mengetuk lantai. Tapi suaranya seolah menyalak di telinga Berliana. Kepergian, dan penolakan terang-terangan itu seperti menggarami hati Berliana yang berdarah.Ia ingin melanjutkan tangisnya. Tapi udara dingin dan sikap Vero, membuatnya diam. Tak ada air mata yang tersisa. Tak ada kesedihan yang sanggup ia tangisi lagi.Ia ingin sekali
Untuk jangka waktu yang cukup lama akhirnya bibir mereka bertemu lagi.“Buat aku tak menyesal dengan pilihanku sore ini, Ver,” ucap Berliana.“Masih adakah orang yang mampu seperti itu Mbak?” Ujung jari Vero menelusuri garis wajah Berliana. Menyingkirkan anak rambut yang berantakan dari pipi dan matanya. Memandang jauh ke dalam bola mata yang dengan iris berwarna coklat terang.“Kita hanya bisa membuat penyesalan terasa lebih indah,” lanjut Vero.Laki-laki itu mendorong tubuh sintal Berliana. Tubuh yang sedikit lebih pendek darinya namun padat berisi. Membuat perempuan itu melenguh saat tubuhnya merapat ke meja. Hanya satu gerakan bagi Vero untuk mengangkat tubuh perempuan itu, menaikkannya.“Jadi,” tagih Berliana.“Jadi?” tatap Vero.“Bisakah kau memberikan penyesalan pali
Vero berdiri, membiarkan perempuan yang tadinya ada di bawah tubuhnya menikmati orgasme panjang. Dengan tenang ia berjalan ke arah meja bar kedai. Mengambil dua botol minuman.Cukup lama mereka terdiam hingga kemudian Vero memecahkan keheningan.“Apa malam ini telah usai?” ucap Vero sambil menyandarkan tubuh di meja tempat Berliana terkulai lemas. Ia membuka dua botol. Satu botol ia minum sendiri. Satu lagi ia letakkan dekat tubuh Berliana.Lumayan lama pertanyaan Vero menggantung. Hingga kemudian perempuan itu terpingkal. Susah payah bangun, duduk di tepian meja tempat Vero menyandarkan tubuhnya.“Abis ganas banget mainnya sih! Jadi cepet keluar kan,” jawab Berliana. Tangannya sibuk mengelap sisa keringat di keningnya. Sambil meraih botol minuman yang sudah Vero bukakan.Vero menerawang jauh ke depan. Matanya kosong, tak menduga malam ini akan terjadi. Ia
Di bawah sinar lampu kamar Berliana adegan itu masih berlangsung. Pelan-pelan Berliana mulai menyukai perannya sekarang.Dari menjadi seorang bos Vero. Memerintah laki-laki itu sesuka hatinya. Membuatnya jadi budak kepuasan birahinya. Hingga kini, dirinya jadi seperti pelacur semalam untuk Vero.Semua bagian punya sensasi debar jantung sendiri-sendiri.Bayangkan seorang laki-laki mengangkat kedua pergelangan tanganmu ke atas. Kemudian menjilati semua bagian tubuhmu dan berlama-lama di bagian sensitif. Pusar, pinggang, ketiak, tengkuk, telinga, mengingat beberapa menit yang lalu di bawah sana membuat gairah Berliana makin menggebu.Tangannya mengepal, menggenggam pangkal batang itu. Meski tak cukup, ia tetap menikmati sensasi saat kulit batang itu bertemu kulit tangannya. Apalagi kulit bagian tubuh Berliana yang lain.Seperti saat ini pelan-pelan bibirnya ikut merasakan sensasi it
“Kau harus segera tidur sesampainya di rumah!” Perempuan itu jadi berubah jadi perhatian pada Vero. Dua orang itu tengah menuruni satu persatu anak tangga menuju lantai satu Resto.Vero mengangguk, sebenarnya berat rasanya untuk pulang.Tak terasa sudah pukul sepuluh malam. Permainan mereka bahkan masih bisa masuk ke ronde berikutnya. Tapi Vero tak akan tega melakukan itu pada Berliana.“Jadi, bagaimana tentang kita?” tanya Vero.Pertanyaan yang mencekik tenggorokan, membuat Berliana mati langkah. Ia berhenti di satu anak tangga lebih tinggi dari Vero berdiri.“Ak ... aku belum bisa memutuskannya sekarang, Ver,” jawab Berliana ragu.Vero tersenyum kecil. Memutar badannya menelisik mata Berliana. “Karena?” tanyanya lagi.Perempuan itu menghela napas panjang, sebentar kemudian menggel
Asap yang keluar dari gelas kopi memang sudah habis. Angin pagi pintar sekali mengusirnya. Tapi tidak cukup kuat untuk menguras rasa panasnya.Kopi yang jadi lima menit yang lalu. Sang barista peraciknya tengah bersiap. Memakai seragam kerja berwarna biru langit. Ujung bajunya diselipkan ke celana hitam panjang. Sebelum ditarik keluar sedikit agar tampak semakin rapi.Dari lemari baju ia bergerak sedikit. Lebih ke memutar badan. Di kos sempitnya tak perlu melangkah untuk tiba di cermin gantung yang tingginya hampir sama dengan panjang kepala Vero hingga lutut.Mematutkan diri, sesekali berputar, merasa sudah rapi meraih parfum. Dua semprotan di kerah kiri dan kanan, satu semprotan di pergelangan tangan, satu semprotan di dada.Belum hilang aroma parfum, tangannya bergerak lagi. Meraih satu kaleng kecil berisi minyak rambut. Mencolek sedikit, seujung jari telunjuk, meratakannya di telapak tangan, bera
“Tapi ini? Telur? Telur bebek?” Vero mengangkat alis. “Untuk apa telur bebek sebanyak ini?”Pak Januar mengangkat bahu, menggeleng tak tahu. “Ini semua Berliana yang minta. Satu kotak bayangkan. Seratus butir, emang ada menu kita yang pakai telur bebek?”Vero menggeleng, “Gak ada setahuku. Eh atau? Bakal akan ada menu baru?”“Nah!” Pak Januar mengacungkan jempol ke arah Vero. “Bener katamu. Boleh jadi tuh.”Dua laki-laki itu tengah berbincang di dekat mobil resto. Keduanya baru saja menurunkan semua barang belanjaan. Dan baru sadar jika ternyata ada telur bebek di salah satu barang bawaan mereka.“Tapi resto ini kan konsepnya Jajan Beda yakan? Menu apa yang terbuat dari telur bebek kira-kira?” tanya Pak Januar lagi.Membuat laki-laki yang jadi lawan bicaranya berpikir keras. V
“Kalau selalu laku kita bakal kehabisan waktu!” ucap Dhita. “Harusnya kita udah dapat dua belas kerak telur, tapi sekarang cuma ada dua. Semuanya laris di beli orang.”“Tapi mereka yang mau, bahkan ketika harganya sudah kita naikkan,” jawab Vero.“Tapi itu akan menyulitkan kita, Ver. Kita ini sedang tidak meladeni mereka tapi sedang mengerjakan pesanan,” bantah Dhita lagi.“Ya karena mereka memesan makanya kita buatkan mereka,” bantah Vero balik.Dhita yang tak puas dengan jawaban yang Vero berikan akhirnya pergi dengan wajah cemberut. Ia hanya pergi dari hadapan Vero, bukan dari tanggung jawabnya.Dhita tetap berbaik hati, tetap mau membantu merecikkan bahan untuk kerak telur Vero.Pukul sebelas siang, Berliana keluar dari ruangannya. Jika perhitungannya benar, maka kerak telur yang sudah Vero buat