Share

02

Penulis: Nyemoetdz Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 02:00:32

"Maaf, Nona. Anda dipanggil Bapak ke ruang kerjanya."

Seorang pria dengan tubuh tinggi kekar, dan kulit sawo matang, wajah tampan sedang menghampiri Sekarwangi Anindita, putri tunggal Presiden ke 10 Bapak Adi Bagus Hanenda dan Ibu Sophia Latif.

Harinya menjadi berubah setelah sang ayah dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hal yang tidak ingin dilakukan karena dia tidak bisa lagi bebas seperti sebelumnya. Geraknya akan diawasi, dia harus berhati-hati dengan tingkah lakunya di depan umum. Tutur bahasa bahkan kesenangnya akan menjadi sorotan saat dia melakukan kesalahan.

"Aku sedang mengerjakan tugas, suruh mereka makan lebih dulu, aku masih kenyang."

Dia enggan menemui orang tuanya karena merasa nyaman di kamar seorang diri dengan kegiatan yang sejak tadi dikerjakan.

"Bapak ingin mengenalkan Ajudan baru beliau, Bapak harap kamu menemuinya sebentar, itu perintah Bapak." Pria tampan itu tidak menyerah, dia kembali mengatakan apa yang Presiden perintahkan.

"Mas, tolonglah. Kepalaku sedikit sakit, jadi—"

"Haruskah aku panggilkan Dokter untukmu, Mbak?" Wajahnya berubah khawatir mendengar keluhan wanita cantik itu.

"Tidak, Mas. Bilang pada Bapak, aku sedang belajar, aku sudah meminta seseorang memberikan plester penurun panas dan meminum obatku. Bukankah aku memang sudah biasa seperti ini." Senyum manis Sekar meyakinkan pria di hadapannya percaya jika dirinya akan baik-baik saja.

Bukan rahasia lagi jika Sekar memiliki penyakit bawaan, memang tidak berbahaya, namun tubuhnya mudah sekali lelah, dan berakhir dia akan demam. Dia memiliki penyakit Hipertiroid yang dikarenakan

Anemia Pernisiosa, membuatnya harus lebih hati-hati.

Namun, hal itu tidak membuatnya harus larut dalam kesedihan karena penyakit genetik yang Buyutnya derita, sekarang dia yang merasakan itu. Dia gadis ceria, dan juga baik. Meski dia tidak setuju dengan pencalonan ayahnya menjadi Presiden, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak apa yang menjadi keinginan orang tuanya.

Kening Sekar sering tertempel plester penurun panas, seperti sudah biasa dia melakukan itu, jadi dia tidak merasa risih. Berjalan 6 bulan dan itu masih panjang jabatan ayahnya akan dia lalui menjadi seorang Presiden, ketika sebelumnya ayahnya sebagai Walikota yang terkenal dengan kredibilitasnya mengayomi masyarakat.

*

Matahari menjulang ketika Sekar mulai membuka mata, meski dia bilang baik-baik saja. Demam pada tubuhnya membuat harus terbangun siang karena alarm yang dia nyalakan.

"Apa Ayah sudah berangkat?"

Sekar terlihat sudah rapi meski plester itu masih di keningnya. Setelah mandi, dia menempelkan plester baru karena tubuhnya masih demam. Dia tetap ingin pergi kuliah hari ini dengan plester di keningnya.

"Sudah, Mbak. Apa Anda akan berangkat dengan kondisi demam?" tanya salah satu asisten rumah dinas.

"Ya, aku ada presentasi hari ini. Bagaimana aku tidak masuk saat aku bekerja keras untuk mengerjakannya." Hal seperti ini sering dialami, dia kadang hanya bertemu ibunya bahkan tidak bertemu mereka saat membuka mata. Apalagi sekarang ayahnya menjadi orang nomor 1 di Indonesia, dia jarang bertemu dengan mereka.

"Oh! Mas Wira, kok kembali, apa ada yang tertinggal?" Suara pengurus rumah membuat Sekar menoleh ke arah seorang pria tampan, betubuh tinggi, gagah, dan terlihat berwibawa sedang berjalan masuk dengan sedikit tergesah-gesah.

Mata Sekar terbelalak dengan siapa yang dia lihat. Pria yang dia temui di Mall waktu itu ada di depan matanya sekarang.

Dia bahkan terus menatap pria yang menunduk hormat menyapa Sekar. Mulut Sekar seakan keluh untuk bertanya siapa pria tampan itu.

"Berkas Bapak tertinggal, aku akan mengambilnya," jelas Wira, pria tampan yang membuat Sekar tidak mengedipkan mata.

"Di mana? Biar Mbok bantu cari. Tadi memang terburu-buru, sampai lupa," sahut Mbok Nanik.

Sekar masih saja diam, dia menatap Wira yang berjalan mengikuti Mbok Nanik untuk membantunya berkas. Hari pertama bekerja, dia melupakan berkas Presiden. Walau tidak penting, tapi dia tetap merasa bersalah.

"Terima kasih, Mbok." Tak lama mereka kembali dengan Wira memegang berkas yang dia cari. Dia segera pergi setelah menunduk hormat pada putri Presiden yang masih di tempat yang sama tanpa mengenalkan diri.

"Mbak ... ada apa?" Mbok Nanik memegang lengan Sekar yang hanya diam menatap Wira pergi meninggilakan rumah dinas.

"Tampan ... oh, maksudku. Siapa dia, Mbok?" tanya Sekar mengalihkan ucapannya karena otaknya terus memikirkan pria itu.

"Mas Wira, Ajudan baru Bapak. Bukannya semalam ... oh, iya, kan Mbak Sekar tidak ikut makan malam."

"Mbak, mobilnya sudah siap," sahut pria paruh baya yang juga salah satu pengurus rumah.

"Aku naik motor kesayanganku saja. Gak mau menggunakan mobil." Sikap rendah hatinya dicontoh dari sang ayah. Meski dia putri orang nomor satu, dia tetap pergi dengan motor matic kesayangannya.

"Tapi, Bapak bilang—"

"Aku tidak mau tau. Sebaiknya aku pergi, apalagi jam kuliahku sangat mepet," timpa Sekar yang segera beranjak dan berjalan menenteng tas dan helmet kesayangannya.

Meski membawa motor sendiri, Sekar tetap di temani dengan pengawal pribadinya. Hal itu wajib dia dapatkan karena ayahnya seorang Presiden. Meski awalnya dia risih, dan harus bersembunyi untuk pergi sendiri, namun sekarang dia terbiasa. Menikmati jalanan kota menuju kampus, dia memikirkan pria yang dia lihat tadi. Kalau dia tau ayahnya akan mengenalkan Ajudan yang dimaksud tadi, mungkin saja Sekar akan ikut makan malam bersama mereka.

Penyesalan itu yang dia gerutui dalam hatinya. Dia merasa bodoh karena tidak makan malam bersama mereka. "Apa kau akan diam di atas motormu seperti itu terus, Sekar?" Tepukan pada bahu membuat Sekar menatap temannya. Dia malah terdiam dengan pemikirannya sejak keluar dari rumah.

"Kau menggagetkanku saja."

"Mulutku hampir sobek karena sejak tadi memanggilmu, dan kau malah termenung di sini. Makanya kalau ke kampus, plester ini dibuka." Lastri, salah satu sahabat Sekar yang satu kampus.

"Ah ... aku baru menempelnya," gerutu Sekar menatap tak terima ketika Lastri melepas plester dikeningnya.

"Kau hanya akan menurunkan standart mu saat kau mengenakan itu. Kau itu ada-ada saja. Wajah cantikmu itu menjadi fokus para laki-laki di sini. Seperti ini jauh lebih cantik."

Tak ingin mendengarkan pujian sahabatnya, Sekar berjalan pergi meninggalkan Lastri yang masih bicara banyak hal. "Kau malah meninggalkanku, dan sekarang malah melamun lagi. Kalau kurang enak badan, harusnya kau itu diam di rumah. Apa harus aku katakan pada pengawal pribadimu agar membawamu pulang."

Sesampainya di kelas, Sekar banyak diam. Dia masih mengingat wajah tampan Wira, Ajudan ayahnya yang baru. "Aku bertemu dengan pria yang membantuku waktu di Mall waktu itu. Pria tampan itu ada di depan mataku sekarang. Sungguh tampan." Bukannya peduli dengan ucapan Lastri, dia malah menceritakan tentang Wira.

"Kau masih saja memikirkan pria itu. Apa spesialnya," sahut Lastri.

"Kau akan terpesona padanya nanti saat bertemu, tapi jangan ... dia milikku. Aku merasa senang jika dia menjadi Ajudan ayah, aku bisa sering bertemu dengannya. Haruskah aku mengutarakan perasaanku?" Raut wajahnya tampak bahagia mengatakan itu, Sekar terpesona dengan Wira.

"Apa ini namanya cinta pada pandangan pertama?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   30.

    "Lihat saja dulu. Nanti Mas bisa menyimpulkan sendiri, kenapa aku bersikap seperti tadi. Jika aku tidak sungguh-sungguh padamu, untuk apa aku membuang waktu untuk memikirkan Mas yang tidak membalas perasaanku."Sekar memberikan ponsel miliknya pada Wira. Dia tidak mungkin mengatakan saat ada Panji ataupun Rini. Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja pasti dia semakin tidak bisa bergerak karena penjagaan ketat dari ayahnya.Wira ingin ikut ke rumah dinas daripada memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Sekar segera ke kamar. Mood nya buruk karena ucapan Wira, memang tidak salah, tapi terdengar memaksakan saja.Dalam ruang kerja yang juga banyak berbagai buku di ruangan itu, Wira duduk di sofa panjang dan coba mengecek ponsel Sekar. Dia coba melihat dari panggilan masuk. Begitu banyak panggilan tidak dijawab di sana, padahal Sekar sudah mengaktifkan mode blokir untuk penelepon spam, tapi tetap saja ada yang menghubunginya. B

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   29.

    "Mbak yakin dengan jawaban itu?" Sekar menatap serius atas pernyataan Rini."Kita berangkat sekarang?" Wira yang sudah terlihat rapi dan tampan menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tatapan tajam."Apa yang kalian lihat? Kenapa menatap sampai seperti itu?" tanya Wira bingung."Tunggu, Mbak. Aku ulangi, siapa target laki-laki yang Mbak sukai?" Sekar mengulangi pertanyaan di hadapan Wira yang tidak mengerti topik pembahasan mereka."Dia. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah membuatku jatuh hati." Sekar menatap seseorang yang Rini maksudkan."Kenapa Mas tidak mengelak. Apa kalian sudah menjalin hubungan?""Belum. Dia belum membalas perasaanku, tapi jahatnya dia selalu memberiku perhatian." Rini kembali yang menjawab rasa penasaran Sekar, akan hubungan yang sedang mereka jalani."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas? Tidak bisakah kita berangkat dulu.""Mas Panji ...

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   28.

    "Lantas jika bukan, lalu siapa dia?" Sekar balas bertanya atas pertanyaan yang Wira lontarkan."Dia ini hanya teman lama, dia memiliki suami yang semalam menyeretku dalam perkelahian bodoh itu. Apa kamu pikir dia kekasihku? Kenapa sikapmu seperti menghindariku sejak kemarin. Di Mall kemarin itu kamu kan? Dia memang bersamaku, tapi dia juga bersama suaminya. Kita teman akrab, tidak ada hubungan lebih.""Lalu kenapa Mas menjelaskan ini semua. Memangnya siapa aku? Mau dia pacar Mas atau bukan, itu terserah Mas."Mereka berdua bicara di dalam mobil, membiarkan yang lain menunggu setelah wanita yang bersama Wira pergi. Sekar tidak mau di ajak masuk, itu sebabnya mereka bicara di mobil."Aku hanya ingin menjelaskan saja. Apa salahnya? Aku pikir kamu menghindariku beberapa hari ini. Maaf jika aku bersikap salah padamu."Sekar diam, dia salah paham pada Wira karena gosip bohong itu. "Tanyakan apa yang ingin kamu tau dariku, jangan hanya diam ketika kamu ingin mengenalku lebih jauh. Bagaimana

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   27.

    "Aku tidak ingin membahasnya lagi. Aku juga tidak berbohong. Besok, aku tidak bisa datang. Bisakah aku cek laporan itu dari rumah?" Sekar tetaplah sama, tidak terbuka dengan perasaanya.Melihat Wira keluar rumah dinas, Sekar menghentikan pembahasan mereka. Dia pikir Wira sudah pulang, nyatanya dia masih di rumah."Masuklah, Ibu sudah siapkan makan malam. Di sini juga dingin," tutur Wira pada mereka berdua."Aku tidak lapar, tadi sudah makan sebelum ke sini," jawab Lastri."Temani dia makan, sejak semalam dia tidak makan. Ibu juga sudah siapkan," sahut Wira.Sekar diam, memainkan kakinya tanpa ingin menatap pria yang ada di hadapannya. Dia masih meyakini jika wanita itu memang kekasih Wira. "Dia sungguh tampan dari jarak dekat, daripada di foto." Lastri berbisik ketika Wira meninggalkan mereka dan berharap masuk."Sebaiknya kita masuk sebelum terkena omelan lagi." Mereka berdua masuk dan segera duduk di meja makan, terlihat dari t

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   26.

    "Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   25.

    Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status