"Ini, Risa … dia istriku," Gilang mengisyaratkan agar Risa memberi hormat.
Wajah Bik Ijum berubah menjadi keruh, dan beberapa bulir bening menetes di pipinya. Risa tidak mengerti mengapa Bik Ijum memanggilnya dengan sebutan Mega.
"Mega … aku pernah mendengar nama ini. Tapi aku lupa, dimana itu." Risa bergumam seorang diri.
Gilang lalu menggandeng Risa menuju sebuah kamar. Kamar yang tidak kalah mewah dengan kamar di rumah Gilang. "Ini kamar kita," Gilang menatap Risa dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.
"Biar aku saja, Kak," ujar Risa seraya menahan tangan Gilang. Namun, Gilang menatap tajam ke arah Risa seakan tidak suka apa yang dilakukan oleh istrinya itu
"Harus berapa kali aku katakan. Aku tidak ingin, kamu menyentuh barang-barang milikku." Suara bariton Gilang membuat dada Risa kembali sesak seperti beberapa saat yang lalu.
Melihat Gilang yang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, Risa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi dan mencuci wajah agar lebih cerah. Sebenarnya Risa mencuci wajah bukan ingin membuat wajahnya lebih cerah, tetapi karena dia ingin menutupi kelukaan di dalam hatinya karena mendengar perkataan Gilang tadi.
"Jika memang hanya barangnya saja tidak boleh kusentuh, apalagi hatinya. Lalu, apa gunanya pernikahan ini terjadi? Apakah itu artinya aku tidak akan pernah disentuh oleh Kak Gilang? Apakah itu artinya aku tidak akan pernah mendapat perlakuan manis sebagai seorang istri? Apakah itu artinya aku akan bertugas sebagai babysitter yang berkedok Seorang Istri?" Air mata Risa berlomba-lomba keluar membasahi pipinya.
***
Beberapa orang dewasa duduk di kursi ruang tengah bersama-sama.
Risa, Gilang, Gio, Amira, Bik Asih, Bik Ijum dan suaminya.
Ruang tengah tengah di rumah itu cukup luas. Dindingnya berwarna telur asin Sama seperti warna dinding di luar rumah. Ada sebuah televisi berukuran besar yang ukurannya sama seperti di dalam kamar Gilang di rumah ibunya. Sementara itu di dinding yang berseberangan dengan televisi terdapat lukisan-lukisan abstrak yang tak semua orang tahu arti dari lukisan tersebut.
Gilang menatap satu per satu orang yang ada di hadapannya. Tidak ada yang berani menatap, Gio sekalipun, hanya diam membisu.
"Mulai hari ini, kalian semua tinggal di rumah ini. Bik Asih, tugasmu hanya menjaga Amira, jaga dan awasi Amira selama dua puluh empat jam. Jangan sampai terjadi apa-apa padanya." Gilang menatap Bik Asih yang disertai anggukan oleh Bik Asih.
Suasana kembali hening. Mereka semua menunggu Gilang melanjutkan ucapannya.
"Bik Ijum, tugasmu adalah memasak dan membersihkan rumah ini, kerjakan bersama teman/saudaramu seperti dulu, aku akan membayar gajimu dan temanmu yang bekerja di sini merata. Ajaklah orang yang bisa Bibik percaya untuk membantu pekerjaan Bibik." Gilang menatap Buk Ijum dan Bik Ijum pun menganggukkan kepalanya.
"Pak Tarso, jaga rumah ini dengan baik. Jangan sampai ada yang masuk, sekalipun itu Mama!" tegas Gilang menatap Pak Tarso.
"Baik, Tuan Muda!" jawab Pak Tarso.
"Gio, kamu fokus saja di sekolah dan jangan membuat ulah yang nanti akan membuat Mama dan Papa marah." Gilang menatap Gio.
"Oke, Kak," ujar Gio seraya mengacungkan jempolnya.
"Dan kamu, Risa …."
Risa mengangkat wajahnya dan menatap sorot mata tajam Gilang yang terlindungi oleh kacamata.
"Lakukan tugasmu sebagai istriku. Melayani semua kebutuhanku," ujar Gilang, sorot matanya begitu tajam.
Risa mengangguk mendengar perkataan Gilang. Dia berharap rumah tangganya dan Gilang berjalan begitu harmonis seperti rumah tangga orang kebanyakan. Akan tetapi itu mungkin hanya sebatas khayalan saja. Kenyataannya tugas Risa hanyalah menjalani tugas sebagai istri yang menyiapkan pakaiann suami untuk ke kantor atau pun menyiapkan makannya setiap pagi ataupun membuatkannya kopi setiap hari.
"Dan satu lagi, temani Amira jika dia menginginkanmu." Gilang memandang Risa dan Amira secara bergantian.
Setelah Gilang selesai berbicara, semua meninggalkan ruangan. Kecuali Gilang dan Risa.
"Kak, apa aku boleh bertemu dengan Dela?" tanya Risa ragu-ragu.
Gilang menatap Risa sesaat, lalu kembali terdiam.
"Maaf!"
Hanya itu yang bisa Risa ucapkan. Dia tidak mengenal Gilang, jadi, tidak tau bagaimana kesimpulannya jika Gilang tidak menjawab pertanyaannya.
"Untuk apa kamu ingin bertemu dengan Della?"
"Aku ingin tahu bagaimana keadaan Om Herman. Aku kangen Om Herman." Risa tertunduk.
"Kamu hanya boleh pergi jika diantar oleh sopir," ujar Gilang.
"Itu artinya ... Aku boleh bertemu dengan Della?"
"Besok kamu boleh ikut sopir menjemput Gio ke sekolah. Bicara seperlunya saja dengan Della." Gilang menjawab datar.
"Makasih, Kak," ucap Risa sambi memegang tangan Gilang yang duduk di hadapannya.
Gilang memandang tangan Risa yang menyentuh pergelangan tangannya. Lelaki itu kemudian berdehem.
"Maaf!" Risa menarik kembali tangannya dan hendak berlalu meninggalkan Gilang.
"Risa …." Bass suara Gilang memanggil Risa membuat perempuan itu menahan langkah kaki.
"Apakah seorang istri meninggalkan suaminya duduk sendiri?" tanya Gilang, sudut matanya menatap Risa yang hendak bangkit dari sofa.
"Hah?"
"Apakah suami istri duduk dengan berjauhan seperti ini?" Gilang mengernyitkan keningnya membuat Risa menjadi kikuk.
Ck
Gilang bedecak kesal membuat Risa menjadi salah tingkah. Perempuan itu melihat Gilang menggeser posisi duduknya.
Risa masih terpaku.
"Risa …." Gilang kembali memanggil Risa dan mengisyaratkan untuk duduk di sampingnya.
Risa berdiri, dan duduk di samping Gilang.
Gugup itu yang dia rasakan.
"Nggak ngomong apa-apa begini, lalu untuk apa dia meminta aku duduk disampingnya?" Risa menggerutu di dalam hati karena Gilang begitu fokus pada layar ponselnya sehingga tidak mengingat bahwa ada Risa yang duduk disampingnya sebagai seorang istri. "Padahal yang meminta Aku duduk di sampingnya dia sendiri." Risa masih mengutuk dinginnya sikap Gilang.
"Bunda …."
Risa menoleh. Amira menghampiri, dan duduk di pangkuannya.
"Iya, Sayang," ucap Risa sembari mengecup pipi gadis kecil ini.
"Amira boleh minta sesuatu?" ujar Amira menatap Risa dan Gilang bergantian.
Gilang meletakkan laptopnya dan mendekatkan wajah pada gadis kecil itu.
"Mau minta apa, Sayang?"
***
Hai semua. Terima kasih buat seluruh pembaca yang bersedia membaca kisah ini. Jangan lupa like dan kasih vote, ya. Jangan lupa juga tinggalkan komentar agar aku semakin semangat berkarya. Salam sayang Althafunnisa
"Malam ini Amira mau tidur di pelukan Bunda sampai pagi." Amira memainkan rambut Risa sambil sesekali menoleh ke arah Gilang. Gadis kecil itu bicara dengan nada lirih karena takut ayahnya akan marah. "Ehem, tapi Bunda lelah." Gilang menyahut. "Dulu sebelum tenggelam, Bunda menemani Amira tidur sampai pagi, kok. Bunda juga tidak pernah masuk ke dalam kamar ayah." Amira sedikit bersikeras pada Gilang. "Tidak pernah masuk kamar Kak Gilang?" Risa menatap Gilang yang tengah menengadah kepalanya. "Seperti apa hubungan Kak Gilang dan istrinya sebenarnya?" batin Risa lagi. "Baiklah." Gilang mempersilahkan Risa membawa Amira masuk ke dalam kamar Amira. Amira berbaring di pelukan Risa dan meminta berdongeng seperti kemarin. Gadis kecil itu mendengarkan Risa berdongeng sampai tertidur. "Bik Ijum?" Risa terkejut saat Bik Ijum tiba-tiba masuk ke dalam kamar Amira. Bik Ijum Risa. Dia tersenyum dan berkata. "Terima kasih telah kembali." Risa menatap ke arah Bik Jum. Perempuan itu tampak meny
"Kak." Risa menahan napas saat Gilang semakin merangkulnya ke dalam pelukan dan lelaki itu pun menarik selimut yang tadi sempat terbuka. "Mega ... kenapa kamu ninggalin aku?" Risa tiba-tiba terkejut saat Gilang menangis sambil memeluknya. "Apa kamu nggak tahu kalau aku sangat mencintaimu?" Gilang berbicara sambil memeluk erat tubuh Gilang. "Ternyata ... Kak Gilang mengira aku Mega." Risa beringsut bangkit dari ranjang dan meletakkan guling di pelukan Gilang. Hatinya sakit dan patah karena Gilang ternyata tidak bisa melupakan mantan istrinya yang saat ini Risa tidak tahu di mana keberadaannya. Risa mencoba menerima kenyataan pahit atas pernikahannya, tapi dia berharap lelaki itu mencintainya. Namun ternyata, Risa dinikahi hanya untuk dijadikan ibu bohongan untuk Amira. *** Risa menatap sinar matahari pagi yang menerpa permukaan kolam di depan rumah yang Di dindingnya berdiri sebuah background menyerupai gua. Dia menata bunga bunga cantik yang berada di taman di sudut rumah d
Risa semakin tak mengerti dengan sikap Tante Tika yang bisa-bisanya mengatakan kalau Della bukan anak kandungnya."Apa maksud Tante?" Risa maju dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia ingin menghadiahkan bogem mentah pada perempuan iblis itu."Iya, Dela bukan anakku. Dela adalah anak sahabatku yang meninggal ketika Della masih bayi," ujar Tante Tika membuat Risa dan Della tidak percaya.Tante Tika tersenyum miring. "Aku di beri sahabatku warisan untuk menjaga dan merawat Dela, makanya aku jauh lebih sayang pada Dela yang bukan siapa-siapa dibandingkan kamu, keponakanku sendiri," ujar Tante Tika menuding Risa dengan jarinya.Risa terperangah mendengar perkataan Tante Tika karna dia memang merasakan perbedaan sayang Tante Tika padanya dan Della. Risa bisa memahami karna Della adalah anak kandungnya, sedangkan Risa hanya kemenakan Om Herman.Dela pun terperangah saat mendengar perkataan Tante Tika. Ia menggeleng seakan tidak mempercayai kenyataan tersebut. "Apa?" Gadis itu merosot ke la
"Kita harus segera memakamkan Om Herman." Gilang membujuk Risa dan Della agar berhenti menangis.Setelah jenazah Om Herman dibersihkan oleh petugas rumah sakit, mereka membawa Om Herman pulang ke rumah dengan memakai ambulans rumah sakit. Risa dan Dela ikut bersama ambulans untuk mendampingi Om Herman yang terakhir kalinya. Awalnya, Risa ingin Om Herman dibersihkan di rumah saja dan di kafankan di rumah, tapi Gilang memberi pendapat agar sebaiknya Om Herman dibersihkan oleh pihak rumah sakit agar langsung dimakamkan di pemakaman umum."Kalau kita bawa ke rumah otomatis kita harus membersihkan kan rumah dulu." Gilang menatap Risa dengan lekat. Gilang membantu Risa dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Risa tidak menyangka kalau ternyata Gilang sebegitu peduli padanya dan Della yang telah kehilangan Om Herman. Gilang juga yang sudah membayar semua biaya pemakaman termasuk minta seorang ustadz untuk membantu proses pemakaman tersebut."Kamu tenang saja. Semua biaya sudah aku handle."
Gilang hanya membisu membuat Risa mundur dan memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dengan cara yang lain. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan mengemis pelukan pada Gilang."Risa ...!" Gilang menahan tangan Risa yang hendak pergi. Detik berikutnya Gilang menarik Risa dalam ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluk Risa dengan erat sambil mengusap punggung dengan lembut."Aku semakin merasa ini adalah tempat yang paling nyaman untukku. Aku merasa kalau pelukan ini benar-benar membuat aku mampu melupakan semua kesedihanku. Bolehkah aku berlama-lama di sini?" Risa menangis tersedu-sedu di pelukan Gilang."Jangan bersedih lagi, kamu harus mengikhlaskan Om Herman agar dia tenang di sisinya." Gilang membingkai wajah Risa dan mengusap air mata yang membanjiri wajah gadis dengan lembut. "Kamu boleh berada di pelukanku selama apa pun yang kamu mau," tambah Gilang lagi seraya mencium pucuk kepala Risa membuat Risa semakin merasa nyaman.Risa tersenyum mendapati perhatian dari Gilang
"Menurutmu bagaimana?" Gilang balik bertanya kepada Risa."Gimana kalau Della tinggal dirumah Kak Gilang aja. Kan ada Gio yang super duper ganteng menjaganya dari orang-orang suruhan Tante Tika." Gio langsung angkat bicara "Aku nggak setuju!" sanggah Gilang."Elah, Kak. Kenapa nggak setuju? Kan biar kami bisa berangkat barengan ke sekolah?" Gio tetap bersikukuh pada pendiriannya."Barengan? Enak di kamu nggak enak di aku!" cicit Gilang."Aku kan ... cuma ....""Della tinggal di apartemenku saja." Gilang terus menatap ke depan tanpa menoleh pada siapa pun."Di apartemen? Tapi, Kak!"Pletakk"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Gilang menjitak kening Gio karena pemuda itu terus membantah ucapan kakaknya. "Kalau Della tinggal di apartemen, itu jauh lebih aman karna tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke sana dan Della juga berangkat sekolah lebih dekat," tambah Gilang lagi."Aku menurut saja bagaimana baiknya menurut Kakak," sahut Risa. Gadis itu membelai rambut Della dengan lembut
"hah?" Risa terkejut saat Gilang menunjuk bibirnya. "Ssstt," Gilang menempelkan telunjuknya di bibir Risa, lalu kembali menunjuk bibirnya. Risa melihat ke arah Gio yang tidur membelakangi mereka. Gilang kembali menyentuh tangan Risa dan menunjuk bibirnya. "Ya Tuhan? Aku harus mencium bibir Kak Gilang?" Tubuh Risa gemetar karena dia tidak pernah mencium lelaki mana pun sebelumnya. "Ckk." Gilang berdecak kesal hingga akhirnya menutup wajahnya dengan selimut yang diberikan oleh Risa. "Masuk ke dalam kamar!" Perintah lelaki itu pada Risa. Risa merasa ambigu apakah harus masuk ke dalam kamar atau mencium bibir Gilang, tapi kemudian dia menyadari kalau tadi Gilang hanya bercanda. Terbukti lelaki itu menutup wajahnya dengan selimut. *** Sepanjang hari, Risa disibukkan dengan membeli barang-barang dan belanjaan untuk Della selama tinggal di apartemen. Gilang menyewa seorang asisten rumah tangga yang umurnya sebaya dengan Risa untuk menemani Della di sana. "Terima kasih karena Kak
"Good Night," ujar Gilang setelah ciuman mereka terlepas."Aku kira ... Kakak ....""Aku tahu kamu belum siap, lagi pula aku tidak ingin melewati malam bersejarah dalam hidupku dengan keterpaksaan." Gilang bangkit dari ranjang dan mengecup kening Risa sekilas. "Tidurlah. Aku masih banyak pekerjaan."Risa merasa lega karena Gilang tidak menuntut haknya. Dia memang belum siap untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri."Malam bersejarah? Bukankah ini bukan yang pertama bagi Kak Gilang? Kenapa dia bilang malam bersejarah? Apa itu artinya Kak Gilang menganggap aku hal yang paling bersejarah di hidupnya?" Risa bertanya di dalam hati. Dia sedikit untuk memastikan Gilang sudah menutup pintu dengan rapat. "Bodoh. Mungkin saja Kak Gilang menganggap kalau malam dia merenggut kesucianku adalah malam bersejarah," umpat Risa pada dirinya sendiri.Sementara itu, Gilang yang kembali duduk di meja kerja segera membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah figura putih dengan Poto seorang