Share

2. Raja Dan Ratu Sehari

Aku mengerutkan kening dengan meng-zoom foto yang Luna kirim. Mengamati lamat-lamat lelaki yang berfoto dengannya.

“Owalah, si Rama, to, ini. Cakepan dikit dia sekarang. Pantas pangling,” imbuhku seraya terkekeh.

Segera kutaruh ponsel dan lanjut membaca Surah Al-Kahfi di kamar. Semua kemudahan hidup dan fasilitas yang lengkap tak cacat dalam hidupku. Lahir sebagai putri tunggal dengan materi yang cukup sangat diimpikan semua insan.

Papa, yang notabene anak orang berada pernah hidup dalam lingkup anak jalanan, sebab korban broken home. Luntang-lantung menjadi remaja yang hidup keras bersama para tunawisma dan bocah putus sekolah menyadarkannya bahwa ia lebih beruntung dibanding mereka.

“Perlahan hati Papa mulai lembut, hingga memutuskan untuk mengakhiri pertengkaran dengan nenek kakekmu, Nak. Papa minta untuk bersekolah dan mondok di sebuah pon-pes. Qodarullah, doa-doa Papa dikabulkan hingga menyatukan kembali keutuhan rumah tangga orang tua yang sempat porak-poranda.” Kisah Papa kala itu.

“Karena itu, Papa nggak mau anak keturunan Papa nanti mengalami nasib yang sama. Ilmu agama itu sangat penting untuk fondasi hidup. Ia harus kuat dan kokoh. Harta bisa dicari, tetapi ilmu dan amal akan tetap bermanfaat sekalipun kita mati.”

Hatiku gerimis usai menyelesaikan bacaan dengan seratus sepuluh ayat yang terangkai sempurna dalam surat Al-Kahfi. Mengingat betapa kerasnya kehidupan Papa dahulu sebelum hidayah datang dalam kalbu.

“Papa ingin kamu mendapatkan imam yang tepat, Nak. Yang mengerti agama. Yang punya fondasi kuat tentang ilmu berumah tangga. Tidak hanya pintar mencari uang, tapi juga paham halal dan haram.”

Ya, aku mengerti yang beliau maksud. Saling tikam dan senggol dalam panggung sandiwara dunia bukanlah hal baru. Apalagi dalam dunia bisnis. Mereka yang minim ilmu tak peduli dengan hukuman akhirat. Hukum dunia bisa dibeli sekalipun mereka ketahuan bersalah dengan bukti-bukti. Sekali lagi, uang memang punya kekuasaan paling tinggi. Naudzubillah.

***

Blazer dan celana putih menjadi pilihanku untuk pergi ke hotel pagi ini. Kukenakan jilbab biru motif untuk menghidupkan warna. Mematut diri sendiri di depan cermin dengan senyum semringah. Polesan cukup natural saja, tidak perlu menor apalagi tampil glamor. 

Mensyukuri semua yang telah Tuhan beri kepada diri ini. Cantik, pintar, terlahir dari keluarga terpandang, dan insya Allah salehah. Kenapa susah sekali mendapatkan jodoh? Huh!

“Eh, Astagfirullah ... harus selalu husnu’udzon, Kalila. Allah sudah mengatur semuanya,” ucapku lirih masih di depan cermin.

Ballroom  yang akan disewa Ratu untuk acara resepsi pernikahannya nanti harus kupersiapkan sebaik mungkin. Walaupun ini bukan tugasku, tetapi aku harus ikut mengkoordinasi agar tidak mengecewakan sahabat rasa saudara itu.

Tim yang bertugas sudah mempersiapkan dan menyusun semua acara dengan cermat sesuai keinginan customer. Momen di hari istimewa Ratu nanti harus memuaskan tanpa cacat. Apalagi aku sahabatnya. Jangan sampai ada rasa kecewa dengan pelayanan hotel yang saat ini Papa percayakan padaku. Semua harus detail and perfect.  

“Pagi, Ma, Pa,” sapaku. Duduk di hadapan orang-orang terkasih untuk mengisi nutrisi di pagi hari.

“Pagi, Sayang,” jawab Mama.

Kulirik Papa. Beliau menatapku tidak berkedip sampai mengabaikan sendok berisi nasi yang di-cancel untuk dikunyah.

“Kenapa, Pa? Penampilanku jelek? Ada yang kurang?” tanyaku sembari membenahi ujung jilbab dan memindai penampilan sendiri.

Papa tersenyum, beralih menatap istrinya dengan berucap, “Kecantikanmu menular ke anak kita, Honey. Aku seperti melihat kamu waktu masih muda.”

Aku memutar bola mata dengan malas. Bisa-bisanya pasangan suami istri di depanku ini saling tatap dan tersenyum di hadapan seorang jomlo. Anaknya sendiri pula. Haiss!

“Udah belum pandang-pandangannya? Lila mau nyendok nasi!” gerutuku dengan mengambil alih sendok nasi yang masih Mama pegang.

Papa tertawa. Mama tampak tersipu, kemudian ikut terkekeh pelan. Sepertinya mereka berdua sedang menertawakan kejomloanku ini. Hiks!

“Oiya, Kal. Anak teman Papa yang mau kami jodohkan sama kamu, ternyata pernah kuliah di kampus yang sama dengan kamu dulu,” ucap Papa di sela kami fokus mengunyah menu sarapan.

“Oh, ya? Siapa namanya, Pa?

“Namanya Excel. Kamu kenal enggak kira-kira?”

“Excel?” Anganku mulai menyelam ingin mengingat orang yang namanya baru saja Papa sebut. “Kayaknya Lila enggak ada teman yang namanya Excel, deh, Pa.”

“Hmm, ya sudah.”

“Di kampus itu yang kuliah banyak, Pa. Mana mungkin anak kita hafal semua nama-nama mahasiswanya,” sahut Mama.

“Wooo ya jelas. Wong dia kuliah, Kalila masih SMA, kok,” Papa terkekeh.

“Ish, Papa ngelawak pagi-pagi.”

Aku hanya mengedikkan bahu seraya tertawa kecil. Tak ingin tahu lebih. Toh, nanti akan tahu sendiri kalau jadi dikenalkan.   

*** 

"Wuaaah ... Ratu cantik banget ...," puji Luna dengan berdecak kagum.

“Pasti, dong!” sahutku.

Ratu tampil cantik nan anggun di samping pria gagahnya. Seragam dengan garis tiga di pundak suaminya menandakan bahwa ia seorang perwira dengan pangkat kapten. Gaun muslim warna hijau zamrud yang dikenakan pengantin wanita berpadu dengan payet warna gold. Menambah kecantikan Ratu yang sudah sempurna menutup aurat sejak SMA. Gaun indahnya sangat serasi dengan warna hijau lumut khas seragam militer. 

“Itu acara apa, Kal?” tanya Luna lagi. Menunjuk mempelai yang akan melewati terowongan.

“Itu namanya upacara pedang pora, Lun.”

 Ya, saat ini Ratu dan suaminya sedang berjalan beriringan melewati terowongan hunusan pedang yang membentuk gapura untuk menuju singgasana pelaminan mereka. Hunusan pedang itu dibuat oleh rekan-rekan dan adik angkatan di kemiliteran dengan seragam yang kompak.   

“Gini, ya, Kal, anak perwira kalau menikah sama abdi negara?” tanya Luna di sampingku.

“Iya, Lun. Aku juga baru tahu, kalau serangkaian pelaksanaan upacara dalam pernikahan seorang abdi negara merupakan sebuah simbol solidaritas dan persaudaraan antar prajurit militer. Juga sebagai penanda diterimanya pasangan sang prajurit dalam keluarga besar militer itu sendiri. Gitu ...,” jelasku yang diberitahu oleh Ratu.

Raja dan ratu sehari itu tampak bahagia di atas singgasana pelaminan. Di saat seperti ini, selalu saja ada desir ngilu yang datang mengepung. Mataku mulai panas, tampaknya air mata sudah menggenang di pelupuk.

“Kal, ikut aku. Cepet!”

Dengan cepat kuseka air mata sebelum jatuh. “Mau ke mana, Lun?” Sedikit kuangkat rok kain jarik untuk mengikuti langkah sahabat yang sedikit ugal-ugalan itu. Berbeda dengan Ratu yang lebih lembut.

“Tradisi penting akan segera dimulai!” jawabnya dengan sedikit berbisik.

“Maksudnya?”

“Udah diem! Pokoknya kamu harus dapat buket bunga yang nanti dilempar sama pengantin baru itu. Paham?”

Tuh, kan! Luna memang amazing.

Salah satu prosesi yang sering mencuri perhatian tamu undangan adalah tradisi lempar buket bunga. Terkhusus buat yang masih single, acara yang satu ini sangat ditunggu-tunggu. Entahlah, aku tidak terlalu yakin walau selalu ingin mendapatkannya. Namun, hal itu belum pernah terjadi. Apa kali ini aku harus ikuti arahan Luna? Coba aja kali, ya?

________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status