Aku mengerutkan kening dengan meng-zoom foto yang Luna kirim. Mengamati lamat-lamat lelaki yang berfoto dengannya.
“Owalah, si Rama, to, ini. Cakepan dikit dia sekarang. Pantas pangling,” imbuhku seraya terkekeh.
Segera kutaruh ponsel dan lanjut membaca Surah Al-Kahfi di kamar. Semua kemudahan hidup dan fasilitas yang lengkap tak cacat dalam hidupku. Lahir sebagai putri tunggal dengan materi yang cukup sangat diimpikan semua insan.
Papa, yang notabene anak orang berada pernah hidup dalam lingkup anak jalanan, sebab korban broken home. Luntang-lantung menjadi remaja yang hidup keras bersama para tunawisma dan bocah putus sekolah menyadarkannya bahwa ia lebih beruntung dibanding mereka.
“Perlahan hati Papa mulai lembut, hingga memutuskan untuk mengakhiri pertengkaran dengan nenek kakekmu, Nak. Papa minta untuk bersekolah dan mondok di sebuah pon-pes. Qodarullah, doa-doa Papa dikabulkan hingga menyatukan kembali keutuhan rumah tangga orang tua yang sempat porak-poranda.” Kisah Papa kala itu.
“Karena itu, Papa nggak mau anak keturunan Papa nanti mengalami nasib yang sama. Ilmu agama itu sangat penting untuk fondasi hidup. Ia harus kuat dan kokoh. Harta bisa dicari, tetapi ilmu dan amal akan tetap bermanfaat sekalipun kita mati.”
Hatiku gerimis usai menyelesaikan bacaan dengan seratus sepuluh ayat yang terangkai sempurna dalam surat Al-Kahfi. Mengingat betapa kerasnya kehidupan Papa dahulu sebelum hidayah datang dalam kalbu.
“Papa ingin kamu mendapatkan imam yang tepat, Nak. Yang mengerti agama. Yang punya fondasi kuat tentang ilmu berumah tangga. Tidak hanya pintar mencari uang, tapi juga paham halal dan haram.”
Ya, aku mengerti yang beliau maksud. Saling tikam dan senggol dalam panggung sandiwara dunia bukanlah hal baru. Apalagi dalam dunia bisnis. Mereka yang minim ilmu tak peduli dengan hukuman akhirat. Hukum dunia bisa dibeli sekalipun mereka ketahuan bersalah dengan bukti-bukti. Sekali lagi, uang memang punya kekuasaan paling tinggi. Naudzubillah.
***
Blazer dan celana putih menjadi pilihanku untuk pergi ke hotel pagi ini. Kukenakan jilbab biru motif untuk menghidupkan warna. Mematut diri sendiri di depan cermin dengan senyum semringah. Polesan cukup natural saja, tidak perlu menor apalagi tampil glamor.
Mensyukuri semua yang telah Tuhan beri kepada diri ini. Cantik, pintar, terlahir dari keluarga terpandang, dan insya Allah salehah. Kenapa susah sekali mendapatkan jodoh? Huh!
“Eh, Astagfirullah ... harus selalu husnu’udzon, Kalila. Allah sudah mengatur semuanya,” ucapku lirih masih di depan cermin.
Ballroom yang akan disewa Ratu untuk acara resepsi pernikahannya nanti harus kupersiapkan sebaik mungkin. Walaupun ini bukan tugasku, tetapi aku harus ikut mengkoordinasi agar tidak mengecewakan sahabat rasa saudara itu.
Tim yang bertugas sudah mempersiapkan dan menyusun semua acara dengan cermat sesuai keinginan customer. Momen di hari istimewa Ratu nanti harus memuaskan tanpa cacat. Apalagi aku sahabatnya. Jangan sampai ada rasa kecewa dengan pelayanan hotel yang saat ini Papa percayakan padaku. Semua harus detail and perfect.
“Pagi, Ma, Pa,” sapaku. Duduk di hadapan orang-orang terkasih untuk mengisi nutrisi di pagi hari.
“Pagi, Sayang,” jawab Mama.
Kulirik Papa. Beliau menatapku tidak berkedip sampai mengabaikan sendok berisi nasi yang di-cancel untuk dikunyah.
“Kenapa, Pa? Penampilanku jelek? Ada yang kurang?” tanyaku sembari membenahi ujung jilbab dan memindai penampilan sendiri.
Papa tersenyum, beralih menatap istrinya dengan berucap, “Kecantikanmu menular ke anak kita, Honey. Aku seperti melihat kamu waktu masih muda.”
Aku memutar bola mata dengan malas. Bisa-bisanya pasangan suami istri di depanku ini saling tatap dan tersenyum di hadapan seorang jomlo. Anaknya sendiri pula. Haiss!
“Udah belum pandang-pandangannya? Lila mau nyendok nasi!” gerutuku dengan mengambil alih sendok nasi yang masih Mama pegang.
Papa tertawa. Mama tampak tersipu, kemudian ikut terkekeh pelan. Sepertinya mereka berdua sedang menertawakan kejomloanku ini. Hiks!
“Oiya, Kal. Anak teman Papa yang mau kami jodohkan sama kamu, ternyata pernah kuliah di kampus yang sama dengan kamu dulu,” ucap Papa di sela kami fokus mengunyah menu sarapan.
“Oh, ya? Siapa namanya, Pa?
“Namanya Excel. Kamu kenal enggak kira-kira?”
“Excel?” Anganku mulai menyelam ingin mengingat orang yang namanya baru saja Papa sebut. “Kayaknya Lila enggak ada teman yang namanya Excel, deh, Pa.”
“Hmm, ya sudah.”
“Di kampus itu yang kuliah banyak, Pa. Mana mungkin anak kita hafal semua nama-nama mahasiswanya,” sahut Mama.
“Wooo ya jelas. Wong dia kuliah, Kalila masih SMA, kok,” Papa terkekeh.
“Ish, Papa ngelawak pagi-pagi.”
Aku hanya mengedikkan bahu seraya tertawa kecil. Tak ingin tahu lebih. Toh, nanti akan tahu sendiri kalau jadi dikenalkan.
***
"Wuaaah ... Ratu cantik banget ...," puji Luna dengan berdecak kagum.
“Pasti, dong!” sahutku.
Ratu tampil cantik nan anggun di samping pria gagahnya. Seragam dengan garis tiga di pundak suaminya menandakan bahwa ia seorang perwira dengan pangkat kapten. Gaun muslim warna hijau zamrud yang dikenakan pengantin wanita berpadu dengan payet warna gold. Menambah kecantikan Ratu yang sudah sempurna menutup aurat sejak SMA. Gaun indahnya sangat serasi dengan warna hijau lumut khas seragam militer.
“Itu acara apa, Kal?” tanya Luna lagi. Menunjuk mempelai yang akan melewati terowongan.
“Itu namanya upacara pedang pora, Lun.”
Ya, saat ini Ratu dan suaminya sedang berjalan beriringan melewati terowongan hunusan pedang yang membentuk gapura untuk menuju singgasana pelaminan mereka. Hunusan pedang itu dibuat oleh rekan-rekan dan adik angkatan di kemiliteran dengan seragam yang kompak.
“Gini, ya, Kal, anak perwira kalau menikah sama abdi negara?” tanya Luna di sampingku.
“Iya, Lun. Aku juga baru tahu, kalau serangkaian pelaksanaan upacara dalam pernikahan seorang abdi negara merupakan sebuah simbol solidaritas dan persaudaraan antar prajurit militer. Juga sebagai penanda diterimanya pasangan sang prajurit dalam keluarga besar militer itu sendiri. Gitu ...,” jelasku yang diberitahu oleh Ratu.
Raja dan ratu sehari itu tampak bahagia di atas singgasana pelaminan. Di saat seperti ini, selalu saja ada desir ngilu yang datang mengepung. Mataku mulai panas, tampaknya air mata sudah menggenang di pelupuk.
“Kal, ikut aku. Cepet!”
Dengan cepat kuseka air mata sebelum jatuh. “Mau ke mana, Lun?” Sedikit kuangkat rok kain jarik untuk mengikuti langkah sahabat yang sedikit ugal-ugalan itu. Berbeda dengan Ratu yang lebih lembut.
“Tradisi penting akan segera dimulai!” jawabnya dengan sedikit berbisik.
“Maksudnya?”
“Udah diem! Pokoknya kamu harus dapat buket bunga yang nanti dilempar sama pengantin baru itu. Paham?”
Tuh, kan! Luna memang amazing.
Salah satu prosesi yang sering mencuri perhatian tamu undangan adalah tradisi lempar buket bunga. Terkhusus buat yang masih single, acara yang satu ini sangat ditunggu-tunggu. Entahlah, aku tidak terlalu yakin walau selalu ingin mendapatkannya. Namun, hal itu belum pernah terjadi. Apa kali ini aku harus ikuti arahan Luna? Coba aja kali, ya?
________
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru