Share

Tertawan Pesona Mantan
Tertawan Pesona Mantan
Author: Wildatuz Zaqiyyah

1. Undangan Pernikahan

“Telat lamaran, siap-siap jadi tamu undangan. Makan sendirian di meja prasmanan tanpa gandengan. Duh… kasihan.”

Ah, sial. Kalimat candaan yang dilontarkan Luna benar-benar membuatku ingin memijat pelipis. Pusing. Segera kupacu mobil agar cepat sampai rumah.

Kutaruh undangan jenis fortic yang terdiri dari beberapa lembar tema rustic dengan sentuhan ornamen kain goni dan tali jerami. Di dalamnya ada foto calon mempelai yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya. Ratu, salah satu sahabatku dari zaman seragam biru putih akan segera menikah di usia dua puluh empat tahun.

Tadi di kantor, sempat kubuka undangan itu. Mempelai wanita tampak tersenyum bahagia menatap calon suami yang berprofesi sebagai abdi negara. Duh, iri sekali melihatnya.

“Baru pulang, Kal?” Mama melangkah dari arah dapur sambil membawakanku segelas air.

"Iya, Ma," jawabku singkat.

Aku sedikit mengubah posisi saat wanita terkasih itu menyodorkan air minum yang dibawanya. Segera kuteguk air putih itu hingga tandas.

“Haus apa haus?” ledek Mama.

Aku hanya tersenyum dengan kembali ke posisi semula. Meraih remot TV dan mengganti saluran. Ketika tangan ini memencet tombol remot, di saat yang bersamaan Mama meraih kertas yang tadi kutaruh asal.

“Undangan dari siapa?”

“Ratu, Bu.”

Wajah mamaku tampak antusias sembari membuka plastik yang membungkus kertas undangan itu.

 “Masya Allah, gagah banget calonnya Ratu, ganteng pula.”

Aku tak menjawab meski sempat melirik Mama yang tampak terpukau melihat foto pre wedding salah satu sahabatku itu.

“Kok, Mama malah ngomong sendiri, ya. Enggak ada tanggapan apa-apa.” Mama mulai menyindir.

“Iya, Ma. Kalila dengerin, kok,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari arah TV yang menyuguhkan salah satu kartun favoritku. Rainbow Ruby.

“Mama bilang apa, coba?”

“Mama bilang calon suami Ratu gagah dan ganteng.”

“Masih bagus ternyata.”

“Apanya?”

“Indra pendengaranmu.”

"Ish, Mama!" protesku.

Wanita yang sangat Papa cintai itu mencubit pipiku gemas. Aku mengubah posisi memutar kepala ke arah berlawanan, tidur di pangkuan Mama. Belaian tangan lembut di kepala yang tertutup hijab ini membuat rasa kantuk mulai datang. Namun, belum sempat terpejam, derap kaki terdengar menuruni tangga.

“Jangan terlalu asyik dielus-elus sama tangan Mama, Kal. Buruan cari suami!” Suara bariton Papa terasa menusuk kendang telinga.

Dikira cari suami kayak nangkap nyamuk apa ? Hap! Lalu ditangkap, batinku.

“Iya, Pa…,” jawabku malas.

“Iya apa?”

“Katanya suruh nyari suami.”

“Kapan?”

“Minggu depan kalau enggak hujan,” jawabku sekenanya.

Mama terkekeh dengan telapak tangan masih membelai kepala anak semata wayangnya ini.

Aamiin ,” ucap Papa.

“Kok,  aamiin , Pa?” tanyaku.

“Setiap ucapan adalah doa. Kamu bilang minggu depan kalau enggak hujan, kan? Semoga saja memang dikabulkan ketemu jodohnya tujuh hari lagi.”

Aku kembali memejamkan mata, karena belaian lembut dari tangan Mama memang mengundang kantuk datang.

“Nak, usiamu saat ini sudah matang. Coba deh, cari pria yang benar-benar mau diajak serius.” Nah, kan. Pasti panjang kalau sudah membahas jodoh.

“Kalila juga maunya cepat nikah kayak teman-teman, Pa, Ma. Tapi menikah bukan ajang perlombaan, kan? Semua harus dipikirkan  dengan matang. Enggak ujuk-ujuk kayak ngajak temen makan di pinggir jalan.” Aku menjawab santai dengan mata masih terpejam.

“Iya, Papa paham. Tapi, apa kamu enggak mau coba serius berkenalan dengan salah satu anak teman Papa? Kalau Papa sudah merekomendasikan, berarti dari segi bibit, bebet, dan bobot, semua sudah matang, Kal.”

Kuintip Papa dengan mata menyipit sambil berucap, “Merger, bukan?”

“Enggak juga. Ya, siapa tahu jodoh, kan?”

 "Atur aja deh, Pa. Tambah pusing kalau disuruh nyari jodoh cepet-cepet."

“Serius mau?”

Kini mataku terbuka sempurna. “Sebentar! Enggak dalam waktu dekat, kan, kenalannya?”

“Memangnya kenapa?”

Aku bingung. Kenapa jadi serumit ini jadi dewasa? Rasa-rasanya, aku sudah mulai  move on  dari si dia. Mencoba membuka hati untuk yang serius. Namun, hingga saat ini hilal jodoh belum juga terlihat.

“Kita lihat seminggu ke depan, ya, Pa. Siapa tahu Jungkook khilaf terus ngajak Lila nikah.”

Kini Papa dan Mama terlihat menahan tawa agar tak menyembur membahana. Ya, aku tahu itu. Sering dibilang halu karena mengaku-aku istri si Jungkook. Aku yang sedikit kesal selalu jadi bahan yang disudutkan tiap membahas jodoh, langsung bangun dan duduk.

“Mama sama Papa tuh, harusnya ngedoain, bukan malah ngetawain,” kritikku.

“Nggak harus ngehalu juga, Sayang,” ucap Mama.

“Lucu aja denger kalimatmu di awal tadi. Minggu depan kalau enggak hujan. Dan kamu minta waktu seminggu sebelum Papa bawa laki-laki untuk dikenalkan. Papa jadi enggak sabar, ada kejutan apa seminggu ke depan.”

Kulirik Mama. Beliau juga mengangguk-angguk seperti sependapat dengan pendapat suaminya. Aku hanya mengedikkan bahu dan berlalu ke kamar di lantai dua. Sepertinya berendam di  bathtup lumayan juga untuk menyegarkan badan yang lelah menghadapi persaingan bisnis dan otak yang mulai berasap memikirkan jodoh.

Segera kutunaikan salat Asar sambil menunggu bak terisi air. Berlama-lama takut waktu salat keburu habis. Usai menunaikan empat rakaat di waktu matahari sudah mulai rendah, aku bermunajat memohon terkabulnya semua hajat.

Papa pernah bilang, “Salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah bakda Asar di hari Jumat.”

Ya, ini sayyidul ayyam. Memiliki makna sebagai raja hari paling baik di antara hari-hari lainnya.

“Selain ada waktu mustajab untuk berdoa, sedekah pada hari Jumat juga lebih utama dibanding sedekah di hari-hari lainnya, Nak,” tambah Papa kala itu. 

Segera aku memasuki bathtub untuk melakukan relaksasi. Meski hanya sekitar lima belas menit memanjakan tubuh dengan sentuhan  foam  dan air hangat, rasanya badan ini lebih segar dan tenang.

Semburat mega-mega merah mulai datang meranum dalam buaian senja. Aku memejam, menghirup udara gratis yang Tuhan berikan dengan cuma-cuma tanpa meminta balasan. Kita hanya diperintah untuk bertakwa, dan semua akan kembali ke diri kita.

“Ingat, Kalila. Harta yang Tuhan titipkan ini hanya hak pakai, bukan hak milik. Semua akan Dia ambil tanpa persetujuan kita. Jangan sampai kita terbang dengan harta titipan. Kita ini kerdil di hadapan-Nya.” Petuah bijak Papa selalu membuatku merasa beruntung terlahir di keluarga ini.

“Dan jangan lupa baca Al-Kahfi, bisa di malam Jumat atau di hari Jumat itu sendiri,” lanjut Papa saat dulu aku masih SMP.

“Kenapa harus malam Jumat atau hari Jumat, Pa? Hari-hari lain enggak boleh?”

Lelaki yang sabar mengajariku tentang agama itu tersenyum sembari berucap, “Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka memancarlah cahayanya sejak mulai membaca sampai Jumat berikutnya.”

Aku tersenyum. Semoga aku bisa mendapatkan jodoh seperti Papa. Baik, saleh, tampan, dan mapan. Ah, Mama, beruntung sekali mendapatkan jodoh seperti Papa. Kembalikan aku teringat undangan pernikahan Ratu yang akan digelar hari Kamis mendatang.

“Datang sama siapa, ya?” gumamku.

Aku masih mematung di antara bingkai jendela kamar, menikmati pesona senja yang semakin cantik sebelum pamit undur diri dan akan berganti dengan selimut hitam dengan kerlip bintang-bintang.

Ting!

Ponsel berbunyi tanda ada pesan masuk. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka pesan dari WA Grup yang terdiri dari tiga orang. Aku, Ratu, dan Luna.

[Kal,  lo  harus bawa gandengan pas acara resepsi Ratu nanti.] Tulis Luna.

Foto dirinya sedang  selfie  dengan seseorang yang membuatku membulatkan mata. Eh, siapa, nih?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status