Luna berhasil membawaku ke depan singgasana pengantin. Wanita yang masih belum istikamah menutup auratnya itu melambaikan tangannya kepada Ratu. Sahabat kami itu hanya tersenyum dan mengacungkan jempol. Firasatku mulai tidak enak mengingat di antara kami hanya aku yang masih single.
“Inget, kamu harus dapetin buketnya!” bisik Luna dengan semangat.
“Kalo nggak dapet?”
“Nggak bakalan dapet jodoh.”
“Ih, Luna jahat. Aku tuh, cinta berat,” jawabku konyol.
“Aelah, malah Tik-Tok-kan.”
Aku berusaha ceria agar tak terlihat gerogi.
Seorang MC mulai memberikan aba-aba. Pada hitungan ketiga, buket akan dilayangkan dengan posisi pengantin membelakangi hadirin semua. Namun, pada hitungan terakhir, Ratu dan Wisnu–sang suami–tidak jadi melempar ikatan bunga yang terangkai apik itu. Ia tampak berbisik di telinga sang suami dan ditanggapi anggukan oleh kapten militer tersebut.
Hadirin tampak bingung, pun denganku. Bagaimana tidak? Ratu menuruni tangga yang hanya berjumlah tiga tingkat dan menuju ke arahku. Buket bunga yang terangkai cantik dengan tipe nosegay itu ia berikan langsung untuk sahabatnya yang masih betah menyendiri ini. Sorak meriah membuatku terharu dengan menutup mulut.
“Nona Kalila Izzatun Nazeem, semoga secepatnya menyusul menjadi pengantin,” ucap Ratu.
Aku mengangguk dengan iringan air mata yang lolos tanpa perintah. Kami berpelukan erat. Disusul Luna yang ikut memeluk kami. Ah, rupanya ini taktik kedua sahabatku. Tepuk tangan semakin riuh terdengar. Dalam hati aku mengaminkan harapan Ratu, Luna, pun harapan Papa dan Mama agar putri tunggalnya ini segera naik pelaminan.
Saat ingin mengurai pelukan, tiba-tiba lampu di ballroom mati seketika. Semua tamu undangan terdengar berseloroh dan mulai menyalakan ponsel pintar mereka satu persatu.
“Kenapa bisa mati lampu, Bu Dirut?” tanya Luna bingung.
“Mungkin sebentar lagi juga hidup,” jawabku santai.
Wisnu tampak turun menghampiri istrinya. Menyambut kembali sang permaisuri untuk menuju singgasana. Ratu mengelus pelan lenganku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum mempersilakan. Luna pun ikut menyalakan senter ponselnya.
“Kal, aku cari ayangku dulu, ya. Takut salah ambil tangan orang buat digandeng.”
Aku hanya tersenyum seraya menggeleng-geleng saat wanita dengan kebaya brokat tanpa hijab itu melenggang pergi. Kenapa lampu belum juga menyala? Kugeser layar ponsel untuk menghubungi engineering staff hotel.
“Ada sedikit gangguan distribusi, Bu. Sudah ditangani,” ujar suara di seberang sana.
“Segera dikondisikan, Pak.”
“Siap, Bu.”
Aku mematikan sambungan. Ruangan tidak begitu gelap karena cahaya dari ponsel tamu undangan menyala rata. Namun, beberapa ada yang mulai gerah karena AC juga ikut berhenti menyejukkan ruangan. Aku mulai gusar, segera keluar dari balai riung untuk kembali menghubungi pihak teknisi. Namun, Salma–asistenku–terlihat menghampiri dengan berlari-lari kecil.
“Pak Adi bilang, sepertinya harus pakai genset dulu, Bu. Pemakaian listrik juga harus dikurangi untuk menstabilkan energi.”
Aku mengangguk. “Bilang Pak Adi, gimana baiknya aja! Acara di ballroom sedang berlangsung. Jangan kecewakan pelanggan,” ucapku tegas.
“Siap, Bu.”
Sedikit tidak enak hati karena ini acara penting dari sahabat sendiri. Namun, gangguan seperti ini sering terjadi dan tidak butuh waktu lama bisa selesai ditangani. Ponsel di tangan bergetar. Nama cinta pertamaku terpampang melakukan sebuah panggilan.
“Ya, Pa?”
“Sudah hubungi bagian teknisi?”
“Sudah.”
“Ok. Mungkin sebentar lagi tertangani.”
“Wait! Papa sama Mama udah di sini? Kok, tahu kalau mati lampu?”
“Iya, Papa sama Mama ada di lobi office. Baru mau turun, eh, ketemu tamu tak diduga. Akhirnya ngobrol dulu kita,” jelas Papa di ujung telepon.
Aku hanya mengangguk walau Papa tidak akan melihat ekspresiku ini.
“Bisa naik temui kami di lantai dua, Nak? Sambil nunggu lampu nyala, kenalan dan ngobrol dulu sama anak teman Papa. Ternyata dia juga tamu undangan pihak mempelai pria.”
“Oh, ya? Bisa kebetulan gitu, ya, Pa?”
“Jodoh kali,” ucap Papa sedikit terkekeh.
“Ish, kenal aja belum,” jawabku. “Ya udah, Pa, Lila coba naik.” Sambungan segera diputus oleh beliau.
Kenapa mendadak deg-degan, ya? Kok, tanganku keringatan, sih? Duh ... jadi kebelet pipis pula, mana lampu belum nyala. Aku segera menuju toilet dengan senter ponsel masih menyala.
Setelah selesai, kuatur napas sebelum menaiki tangga. Tiba-tiba kulitku meremang. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Lampu belum juga ada tanda-tanda untuk menyala. Segera aku berlari kecil menaiki tangga menuju atas. Seseorang tampak menunduk dengan memandangi ponselnya. Melihat arah langkahnya, sepertinya ia mau turun. Tanpa sengaja, aku menyenggol lengannya.
“Eh, maaf, Mas!” ujarku.
Seseorang yang terlihat berpenampilan memakai tuksedo itu hanya merespons dengan anggukan, sepertinya ia terburu-buru. Namun, tiba-tiba sebelah tangannya memegang lenganku. Besar kemungkinan, salah satu kakinya terpeleset karena lokasi yang sedikit gelap dan pandangannya tertuju ke ponsel.
Aku yang tak tahu lelaki itu siapa refleks menepis tangannya agar lepas dari lenganku. Dia terpelanting dan jatuh berguling-guling di antara anak tangga yang keras. Aku menjerit.
“Astagfirullahal’azim!” pekikku dengan menutup mulut.
Lelaki itu tampak mengaduh kesakitan. Bagaimana ini? Aku segera turun dengan terlebih dahulu meneriakkan nama Mama dan Papa.
“Ya ampun, Pak. Maaf, saya enggak sengaja,” ujarku dengan sedikit bergetar, sebab takut.
“Pak, Pak. Aku bukan bapak-bapak!” jawabnya, lalu suaranya terdengar kembali meringis menahan sakit.
Sebentar! Kok, suaranya sedikit familiar, ya? Tidak berselang lama, derap langkah kaki tampak menuruni tangga.
“Kalila? Ada apa?”
“Ada yang jatuh, Pa,” jawabku sedikit takut.
“Loh, Excel? Kok, bisa?”
Degup jantung semakin tak karuan saat kutahu lelaki yang jatuh berguling-guling tadi adalah anak teman Papa yang mau dikenalkan denganku. Aku semakin tak berani menatap wajahnya saat Papa mengarahkan penerangan dari ponselnya.
“Pa, sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit. Soalnya tadi ....” Aku menggantung kalimat yang akan terucap.
“Ya sudah.” Papa langsung memapah lelaki itu menuju mobil.
Listrik belum juga menyala. Tak apalah. Setidaknya, tidak banyak mata yang mengetahui ada korban jatuh sebab ketidaksengajaan yang aku lakukan tadi. Salah siapa pegang-pegang? Aku ikut masuk ke mobil Papa. Mama pun ikut serta.
“Pa, Papa di belakang aja nemenin dia. Aku yang nyetir. Mama di sebelah aku.”
Suami mamaku tampak mengangguk. Beliau pasti paham maksud putrinya ini. Saat selesai memakai sabuk pengaman, bangunan megah bertaraf internasional itu kembali terang. Alhamdulillah, listrik sudah kembali menyala. Satu masalah selesai, kenapa masalah baru muncul lagi? Entahlah.
Aku menatap kaca tengah di atas dasbor mobil. Lelaki di sebelah Papa yang masih tampak mengaduh tertangkap pantulan kaca. Wait! Kok, seperti tidak asing, ya? Aku menoleh ke belakang, ingin memastikan.
“V-Vino? Kak Vino?” pekikku, sedikit tercekat.
Lelaki itu terkesiap. “Ka-lila?” ucapnya. Sama, seperti memastikan. Namun, ia kembali mengaduh dengan memegang kepalanya, seperti ada nyeri yang menusuk.
“Vino?” Papa pun tak kalah kaget, “Loh, kalian sudah saling kenal?” selanya.
Aku baru ingat satu nama. Excel Vino Wijaya. Ya, Papa menyebutnya Excel, sementara aku ... akrab memanggilnya Vino. Kenapa dunia ini begitu sempit, Ya Robb?
Yogyakarta-Semarang memang tidak terlalu jauh, tetapi kenapa aku harus bertemu mantan di situasi seperti ini? Dengan sebuah insiden pula. Apa kejadian ini bisa dikatakan aku sedang balas dendam dengan tidak disengaja? Atau ... lelaki bergelar ‘alumni hati’ itu yang hanya pura-pura?
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru