"Kamu ke mana sih, Anton. Kenapa nomornya tidak aktif?" pikir Yuliani masih berusaha untuk menghubungi Anton.
"Bagaimana? Apa sudah ada jawaban darinya?" tanya Dina tampak gelisah. Firasatnya sudah mengatakan yang tidak-tidak. Akan tetapi, dia masih terus berusaha untuk berpikir positif."Nomornya sudah tidak aktif, Bu." Yuliani berbicara terbata-bata."Ibu sudah menduga dari awal, pria itu pasti gak mau bertanggung jawab." Dina mulai meyakini firasatnya."Gak mungkin, Bu. Dia sendiri yang sudah berjanji untuk menikahi ku. Mungkin saja kehabisan baterai, atau kehilangan signal. Bisa saja seperti itu 'kan, Bu?" cetus Yuliani berusaha meyakinkan diri sendiri juga."Sudah, Yuliani. Jangan berharap lagi sama pria itu, dia mungkin tidak akan datang. Jangan buang-buang waktu lagi. Di luar para tamu sudah menunggu. Alasan apa yang akan kita katakan pada mereka? Ibu malu, Yuliani!" hardik Dina. Wanita yang semula selalu sabar, kini tidak tahan juga dengan permasalahan yang terjadi.Yuliani mondar-mandir tidak menentu, memikirkan sebuah alasan yang tepat. Meskipun hati kecilnya masih berharap Anton akan segera datang walaupun telat."Ibu akan mengatakan semua pada Ayahmu, siapa tahu saja Ayah memiliki ide," kata Dina lima menit kemudian.Yuliani tidak mencegah kepergian Dina, sebab dia juga sudah kehabisan ide. Yang dia bisa hanya berusaha untuk menghubungi Anton lagi. Siapa tahu saja panggilannya bisa terhubung."Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Lagi-lagi hanya suara itu yang terdengar. Harapannya sudah musnah, kini dia cuma bisa menunggu keputusan sang Ayah.Dina mempercepat langkahnya, sebab sudah terlalu lama para tamu menunggu. Pun keluarga yang sudah diundang. Wanita yang memakai kebaya berwarna abu-abu itu pun segera duduk di samping suaminya."Bagaimana? Apa sudah ada kabar pria itu dimana?" tanya Mark setengah berbisik."Dia gak mungkin datang, Ayah. Nomornya tidak aktif, dia sudah mengingkari janji." Dina menjawab dengan bisikan juga. Sesekali netranya melihat ke sekeliling. Memastikan ekspresi wajah setiap orang yang sudah datang dan menunggu."Apa!" seru Mark keceplosan. Nada suara yang lantang itu membuat para tamu semakin berbisik-bisik."Kayaknya acara pernikahan ini tidak akan terjadi deh, Jeng. Lihat saja wajah Pak Mark tegang gitu, Bu Dina juga sama." Mawar mulai menggosip. Wanita berpakaian kebaya putih itu tinggal bertetangga di samping rumah Dina."Sst! Jangan asal bicara dulu, Bu. Siapa tahu saja bukan perihal pernikahan ini. Bisa saja urusan bisnisnya 'kan?" Marni yang merupakan tetangga lain berusaha untuk berpikir positif."Kita lihat saja, Bu. Apa yang akan terjadi selanjutnya." Mawar masih tetap pada opini yang ada dibenaknya.Mark spontan meminta maaf ketika beberapa sorot mata tengah memperhatikannya karena terlalu lantang nada suaranya."Kalau memang pria tidak tahu diri itu tidak bisa datang, berarti ini adalah waktunya Ayah bertindak." Mark mengambil keputusan sesuai rencana yang sudah dipersiapkan sebelumnya."Apa maksudnya, Ayah? Apakah kita langsung bubarkan saja acara ini?" tanya Dina tidak mengerti dengan omongan suaminya."Acara ini akan tetap dilangsungkan, Yuliani akan tetap menikah dengan pria pilihan Ayah. Sebenarnya dari kemarin Ayah punya firasat ini semua akan terjadi. Jadi Ayah sudah memutuskan sebuah rencana tanpa berdiskusi dengan Ibu." Mark menjelaskan semua dengan pelan sehingga tidak terdengar para tamu dan juga penghulu."Kenapa Ayah melakukan semua tanpa berbicara dengan Ibu sih!" protes Dina. Akan tetapi, protesnya tidak digubris oleh Mark karena tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Justru suaminya meminta Dina untuk memanggil Yuliani secepatnya."Sebelum Ibu memanggil Yuliani, Ayah harus beritahu Ibu dulu. Siapa pria pilihan Ayah itu? Apakah Ibu mengenalnya?" tanya Dina tidak ingin Mark salah pilih."Itu semua tidak penting, Bu. Yang terpenting sekarang, Ibu panggil saja Yuliani. Pria yang Ayah maksud sebentar lagi akan sampai. Ayah sudah menghubungi tadi ketika Ibu ke kamar Yuliani. Sudah tidak ada waktu lagi Ayah menjelaskan semuanya, kasihan para tamu yang sudah menunggu." Mark masih bersikeras tidak ingin memberitahu siapa pria yang akan menikahi Yuliani.Dina akhirnya pasrah, mengikuti kemauan Mark. Dalam benaknya berpikir bahwa dia akan tahu siapa pria yang dipilih suaminya ketika pria itu datang. Kepergian Dina membuat sang Suami tersenyum puas. Dia kembali mengambil handphonenya dan segera membalas pesan yang sudah diterima."Gak sia-sia aku membuat rencana kedua, dengan begitu Yuliani bisa menikah dengan pria yang aku tahu bibit, bebet dan bobotnya. Bukan seperti pria yang bernama Anton itu." Mark bergumam. Jempolnya masih asik membalas pesan, hingga handphonenya harus terjatuh ketika mendengar sebuah teriakan Dina.Dengan langkah sempoyongan Mark berlari menemui Dina, sedangkan para tamu dan juga keluarga mulai kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ada apa, Bu?" tanya Mark memegang pundak Dina."Yuliani, Ayah. Dia tdiak ada di dalam kamarnya." Dina menyahut sembari menunjuk kamar Yuliani yang sudah kosong. Jendela kamarnya juga terbuka, wanita itu sudah pergi melarikan diri lewat sana.Mark langsung masuk untuk mengecek keadaan lebih lanjut, ternyata memang benar puteri kesayangannya tidak ada. "Ibu tenang dulu di sini ya, Ayah coba mengejarnya. Mungkin saja dia tidak jauh dari sini." Mark membantu Dina untuk duduk di tepi ranjang kamar Yuliani. Pria itu tidak peduli dengan sorot mata semua orang, yang ada dalam benaknya saat ini hanya satu. Yuliani harus segera ditemukan sebelum calon mempelai pria pilihan Mark kecewa dengan peristiwa ini."Apa aku bilang, Jeng. Calon mempelai pria tidak datang, makanya sekarang Yuliani tidak ada di kamarnya." Mawar dengan bangga berpendapat setel
"Ayah gak salah memilih calon suami untukku?" tanya Yuliani melihat pria yang ada di hadapannya. Wajah yang dimiliki sudah tidak lagi muda, bagaimana mungkin Mark tega memilihkan calon suami seperti itu?"Kamu gak punya pilihan lain, Yuliani. Sudah beruntung Pak Bandit mau menerimamu dengan kondisimu saat ini." Mark berbicara tegas agar Yuliani menyadari dengan kondisinya sekarang yang bukan lagi seorang wanita perawan."Sampai kapan pun, Yuliani tidak mau menikah dengan pria yang sudah tua seperti dia, Ayah." Yuliani tetap pada pendiriannya. Meskipun Mark sudah mengingatkan akan aib yang saat ini sedang ditanggungnya.Wanita mana yang akan mau menikah dengan pria yang memiliki umur terpaut jauh, bisa dibilang pria itu lebih pantas menjadi kakek Yuliani. Jika dibandingkan dengan Anton, lebih baik pria yang sudah menghamilinya dibandingkan dengan pria yang tulus menerima apa adanya. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, wanita yang masih mengenakan gaun pengantin itu harus tahu diri juga
Tak hanya Yuliani saja yang diusir, seluruh anggota keluarga juga diusir agar pulang ke rumah masing-masing. Mark benar-benar marah dan berlalu pergi ke kamar setelah keadaan rumah benar-benar sepi. Dina menyusul ke kamar dan melampiaskan seluruh amarah pada suaminya."Ayah tega! Kenapa Yuliani diusir, Ayah. Selain kita, siapa lagi yang mau membantu masalahnya? Lagian dia tidak salah, Ibu juga tidak akan mau jika dijodohkan dengan pria yang sudah tua," kata Dina menggebu-gebu. Wanita itu tidak tega melihat anaknya dimarahi, terlebih kondisinya saat ini tengah mengandung cucunya. Di saat terpuruk begini, Yuliani pasti membutuhkan dukungan dari keluarga. Mark duduk di ujung ranjang, menundukkan kepala tanpa berbicara apa pun. Hanya mendengarkan setiap omelan yang dilontarkan oleh Dina."Ayah lihat sekarang, kita sudah kehilangan puteri kita satu-satunya. Bahkan Ibu sudah berusaha untuk mencegahnya pergi, tapi Yuliani sudah tidak peduli. Bicara, Ayah! Kenapa diam saja!" hardik Dina kesa
Rumah sederhana akan menjadi tempat tinggal Yuliani untuk sementara waktu. Anita yang bukan termasuk orang kaya, tapi sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal pada ponakan yang terbilang memiliki keluarga mapan."Maaf, Yuliani. Tante cuma bisa memberikan tempat tinggal seperti ini. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang ditinggali olehmu," kata Anita gak enak hati."Justru Yuliani senang, Bi. Karena Bibi masih ingat sama aku, dan mau membantu." Yuliani sedikit sungkan, sebab Bibi yang selama ini tidak begitu dihiraukan ternyata dia yang paling peduli padanya. Bahkan saudara yang lain boro-boro membantu, pura-pura bertanya justru tidak ada. Diberikan tempat tinggal saja wanita itu sudah bersyukur, gratis pula. Anita menunjukkan kamar yang akan ditempati Yuliani."Kamarnya kecil, karena di rumah ini cuma bisa membuat dua kamar dengan ukuran 3x4. Rencananya kamar ini nanti untuk anak Bibi." Anita menjelaskan dengan netra berkaca-kaca. Sudah lama sekali wanita itu menginginkan anak ya
Dia berjalan mengikuti Anita dari belakang, hingga sampai di ruang makan yang terlihat sederhana. Ruangan yang dibagi dua dengan ruang tamu. Jadi tidak heran kalau tempatnya sempit.Yuliani duduk dengan ragu, pandangannya terus awas pada Farhan. Ternyata pria itu tetap asik makan tanpa menghiraukan kedatangannya bersama Anita."Kenapa paman diam saja? Aku pikir akan bertengkar dengan Bibi. Syukurlah kalau begini," gumam Yuliani. Ada perasaan lega dalam hatinya, ternyata apa yang dikhawatirkan tidak terjadi dan tidak sesuai ekspektasinya."Kamu makan yang banyak ya, jangan sampai nutrisinya kurang," kata Anita menuangkan nasi dan ayam goreng yang sudah dimasak. Tidak lupa juga dengan sayuran bergizi khusus untuk Yuliani."Terima kasih, Bi. Seharusnya Bibi gak usah repot-repot," kata Yuliani memberikan senyuman."Bibi gak repot kok. Ayo, makan!" Anita mempersilakan.Tidak ada lagi obrolan di ruang makan, hanya ada bunyi sendok. Yuliani tampak menikmati makanan yang sudah disediakan oleh
Yuliani tidur nyenyak semalam ditemani Anita. Beruntung sekali sang Bibi mau menemani karena tidak ingin ponakannya pergi.Usai subuh, wanita yang sedang hamil itu membantu Anita memasak di dapur. "Sarapan pagi ini cuma ada tahu, tempe dan sayur kelor. Apakah kamu mau?" tanya Anita memastikan. Dia tahu betul kalau ponakannya manja serta pilih-pilih soal makanan."Iya, Bi. Yuliani akan tetap makan apa pun yang ada. Aku bukan Yuliani yang dulu lagi, Bi." Yuliani menjawab karena tahu maksud Anita.Dengan lahap Yuliani menyantap semua makanan yang sudah dihidangkan oleh sang Bibi. Sudah bukan waktunya lagi wanita itu manja, atau memilih makanan enak. Perutnya tidak lapar saja harus dia syukuri. Dari pada kosong karena tidak ada satu pun makanan masuk. Apalagi di dalam ada janin yang harus dijaga sepenuh hati."Kamu jadi pergi hari ini?" tanya Anita memastikan lagi, berharap Yuliani mengurungkan niatnya serta bisa tinggal lebih lama."Iya, Bi. Aku harus mencari Anton secepatnya, Bi." Yuli
Di saat Yuliani mulai berputus asa, sebuah tangan memegang pundaknya."Kamu baik-baik saja?" Suara yang tidak asing terdengar di telinga Yuliani.Wanita berpakaian warna hitam dengan motif bunga-bunga melihat ke arah sumber suara. Tatapan mata yang semula bersedih, kini terlihat bahagia. Yuliani langsung memeluk pria yang saat ini ada di hadapannya."Ternyata kamu datang, Anton. Aku kira kamu akan meninggalkanku selamanya karena telat datang," ujar Yuliani dengan tangis sesenggukan.Anton membelai rambut panjang Yuliani, berusaha menenangkan hati wanita yang tengah hamil anaknya."Tenangkan dirimu, Sayang. Aku tidak mungkin meninggalkanmu, apalagi dalam janin mu ada darah dagingku." Anton berbicara sangat manis, hingga membuat hati Yuliani tenang."Hapus air matamu, tidak enak sama orang yang melihat kita. Aku tidak ingin mereka mengira yang tidak-tidak tentang kita," lanjut pria yang memakai pakaian warna biru itu. Kulit putihnya membuat Anton pantas mengenakan baju warna apa pun.Yul
Yuliani berontak, tetap pada pendiriannya."Aku sudah bilang dari awal, Anton. Aku tidak mau, kenapa kamu masih bersikeras membawaku ke tukang aborsi?" cetus Yuliani kesal. "Please, Yuliani! Kamu harus mengerti keadaanku." Anton menuntut dimengerti."Dari awal, aku selalu mengerti kamu. Tapi kamu gak pernah mau mengerti perasaanku. Bahkan aku diusir dari rumah gara-gara kamu!" pekik Yuliani kesal. Tatapannya nanar dengan wajah sedikit memerah."Kalau memang kamu gak mau menggugurkan kandunganmu itu, aku juga tidak akan bertanggung jawab. Kamu urus saja dirimu sendiri, jangan ganggu aku lagi!" Anton berlalu pergi. Niatnya dari awal bertemu dengan kekasihnya memang untuk meninggalkan."Anton! Jangan tinggalkan aku," teriak Yuliani mengejar kekasihnya yang mempercepat langkah kaki.Wanita itu berlari, hingga mampu menghentikan langkah kaki Anton. "Kalau kamu tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu perbuat. Akan aku laporkan kamu ke polisi." Yuliani berani mengancam. "Lapor