Aku melihat dengan lekat pria yang saat ini tengah berdiri di sampingku.
Dia seperti pria yang kutemui di pasar waktu itu?
"Kamu tidak mengenaliku?" tanya pria itu seraya membuka topi dan maskernya.
"Daffa?" kataku.
"Ya, ini aku. Daffa."
Aku tersenyum hambar pada pria itu. Dia adalah sahabat Yusuf, juga orang yang telah membeli tanahku dulu.
"Maaf, mungkin kedatanganku tidak tepat. Aku ingin bicara denganmu, Rin."
"Em ... di sini saja, ya? Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa," kataku menunjuk kursi kayu jati yang berada di teras rumah.
"Silahkan duduk," lanjutku lagi.
Daffa duduk dengan menyilangkan kaki, juga jari yang saling bertautan.
"Apa ada yang penting?" tanya
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak