Share

4 Aku Tidak Bisa Hamil

Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya.

Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu?

Leandra tidak akan sanggup menjawabnya.

“Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....”

Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga.

“Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya.

“Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak.

“Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?”

Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra.

“Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?” ralat Leandra cepat-cepat. “Siapa tahu ada keajaiban buat aku!”

Rendra mengangguk saja meskipun pikirannya melayang ke hasil tes Leandra yang menyatakan bahwa sang istri tidak akan bisa punya keturunan.

Menyadari kebisuan Rendra, Leandra semakin yakin bahwa dirinya seakan sudah tidak punya harapan sekecil apa pun untuk mendapatkan keajaiban itu.

“Soal tinggal sendiri itu gampang,” ujar Rendra sambil menyibak selimutnya. “Yang penting sekarang kamu tenangkan hati kamu dulu, aku tahu apa yang kamu rasakan.”

Dia mengusap kepala Leandra dan mendahului turun dari tempat tidur.

Tidak ingin dianggap sebagai menantu pemalas, Leandra buru-buru menyusul turun dan segera mencuci wajahnya di kamar mandi.

“Sudah lebih baik?” tanya Rendra ketika Leandra menyiapkan satu setel baju kerja untuknya seperti biasa.

Namun, Leandra diam saja. Mendadak dia merasa perhatian sekecil apa pun dari Rendra mulai membuatnya sedikit muak.

Pernyataan mandul dari dokter memang cukup menjadi beban di hati Leandra, tapi pengkhianatan yang Rendra lakukan seharusnya juga jadi beban tersendiri oleh pelakunya.

Namun, kenapa Rendra terlibat biasa-biasa saja?

“Siapkan juga untuk Silvi, ini banyak makanan bergizi yang bermanfaat untuk kandungan dia.” Ibu mertua menyuruh Leandra yang muncul bersama Rendra untuk sarapan pagi.

“Silvi kan bisa mengurus dirinya sendiri,” sela ayah mertua, tapi Leandra tidak terkesan sama sekali. Dia yakin bahwa ayah Rendra juga mengetahui soal pernikahan diam-diam itu.

“Silvi sedang hamil, jadi harus mengonsumsi makanan yang bergizi.” Ibu mertua menyahut.

Selera makan Leandra rasanya sudah menguap hilang ketika ibu mertua mulai terang-terangan menyebut nama Silvi di bawah atap rumahnya tanpa sungkan.

Dia terus diam sambil meraih piring yang masih bersih meskipun tak berselera. Dia menyendok sedikit nasi dan baru akan mengambil sepotong ikan goreng ketika mertuanya berkata,

“Lea, mana makanan untuk Silvi?”

“Nanti aku siapkan, Bu.” Leandra menyahut, baginya sudah bagus karena mertuanya tidak menanyakan hasil tes kesuburan itu.

“Ya ampun ...” Ibu Rendra akhirnya mengambil kotak makanan itu dan mengisinya sendiri dengan nasi, ikan goreng beberapa potong, dan tumis brokoli hingga lauk yang tersisa di meja hanya tinggal sedikit saja.

“Maafkan sikap ibu aku tadi, ya?” ucap Rendra ketika Leandra mengantarnya ke mobil sebelum berangkat kerja. “Aku akan tetap mencintai kamu apa pun yang terjadi.”

Namun, anehnya tidak ada lagi getaran di hati Leandra saat Rendra mengucapkan kalimat sakti itu.

Kalimat yang dulunya sanggup membuat hati Leandra melayang hingga langit ke tujuh. “Kalau kamu mencintai aku, kamu nggak akan setega ini.”

Rendra bungkam, tapi Leandra telanjur berbalik pergi bahkan sebelum dia sempat mengulurkan tangannya untuk dicium seperti rutinitas mereka sehari-hari.

“Lea!” panggil ibu Rendra dari arah dapur.

“Ya, Bu?” Leandra buru-buru mendatangi ibu mertuanya.

“Bereskan ini dulu,” tunjuk sang mertua ke meja makan.

Leandra mengangguk saja. Apa pun akan dia lakukan selama itu bisa mengalihkan perhatian ibu Rendra supaya tidak menanyakan hasil tes kesuburannya.

“Kotak ini jangan diapa-apakan,” imbuh mertuanya ketika Leandra sengaja memindahkan kotak makanan yang rencananya akan diberikan kepada Silvi.

“Iya, Bu.” Lagi-lagi Leandra hanya bisa mengangguk sambil terus beres-beres.

Tinggal seatap dengan mertua memang harus tahan banting, apalagi dia belum berhasil membujuk Rendra untuk membeli rumah sendiri sekalipun yang sederhana.

Rendra ibarat putra kesayangan ibu kandungnya. Selain anak tunggal, suaminya itu juga merupakan penerus perusahaan ayah mertua kelak.

***

Sejak Leandra tidak kunjung hamil, perubahan sikap ibu mertua kepadanya memang berubah drastis.

Namun, dia tidak pernah menyangka kalau Rendra akan dipaksa untuk menikah lagi.

“Ngomong-ngomong kamu tidak jadi tes kesuburan itu, Lea?” tanya ibu mertua ketika sarapan sudah usai dan ayah Rendra baru saja berangkat ke kantor.

Untuk sesaat Leandra saling pandang dengan suaminya.

“Memangnya Lea bilang sama Ibu kalau dia mau tes kesuburan?” tanya Rendra balik.

Leandra mengambil piring dan tidak ikut berkomentar.

“Ya, bukankah begitu, Lea?” Ibu mertua mengernyit heran. “Katanya kamu bersedia tes kesuburan untuk membuktikan kamu ini mandul atau tidak?”

Leandra tidak tahu harus menjawab apa, tapi untuk menghindari situasi ini juga jauh lebih sulit untuk dilakukan.

Sadar kalau diabaikan, Widi tetap menunggui anak dan menantunya hingga mereka selesai makan.

“Jadi bagaimana?” tanya ibu Rendra tegas. “Kapan kamu akan tes kesuburan itu, Lea?”

Rendra melirik Leandra yang sedang membereskan piring, dia balas meliriknya dan menganggukkan kepala.

“Sebenarnya ... aku sudah tes,” ucap Leandra dengan perasaan berkecamuk, bayang-bayang ibu mertua yang akan menghinanya sudah terasa efeknya di depan mata.

“Sudah tes?” ulang Widi tak percaya. “Kamu sudah tahu, Ren?”

“Ya, Bu.” Rendra mengangguk. “Aku sendiri yang mengantar Lea ke dokter untuk tes.”

Widi mengerucutkan bibirnya rapat-rapat dan berkata, “Keterlaluan kalian, kenapa tidak ada yang memberi tahu hasilnya ke ibu?”

Leandra bertukar pandang dengan Rendra lagi.

“Terus hasilnya apa?” tanya Widi ingin tahu. “Rahim kamu sehat-sehat saja, Lea?”

Sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Leandra terlebih dahulu menarik napas dalam-dalam.

“Aku ... aku tidak bisa hamil, Bu ...” ucap Leandra dengan tenggorokan tercekat.

Mata Widi melebar, kemudian sudut bibirnya naik sedikit.

“Jadi kamu dinyatakan tidak bisa punya anak?” tegas Widi memastikan. “Berarti betul firasat ibu kan kalau kamu ini tidak subur? Tidak ada salahnya juga kalau Rendra akhirnya menikah sama Silvi ....”

“Bu, sudah lah!” sela Rendra yang tidak ingin Leandra merasa disudutkan. “Aku tetap yakin kalau suatu saat nanti Lea bisa hamil.”

Leandra diam saja, tapi kedua matanya terasa panas.

“Nggak usah kamu masukkan ke hati kata-kata ibu,” pesan Rendra ketika Leandra mengantarnya ke mobil. “Aku kerja dulu, ya?”

Leandra mengangguk kaku.

“Saya harap kamu tidak lagi mempermasalahkan pernikahan Rendra,” cetus Widi ketika Leandra menumpuk piring-piring yang kotor menjadi satu. “Buktinya sudah jelas kan, kamu itu mandul—tidak bisa hamil.”

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status