LOGINTanpa berpikir panjang, Damar menarik Serina untuk pergi dari sana. Mereka tak mungkin membuang waktu lagi dan harus segera sampai ke rumah sakit. Serina yakin sekali jika sang ibu tengah ketakutan sekarang.
Selama perjalanan, Serina tak berhenti berdoa. Air matanya terus mengalir tiada henti. Seolah, kerisauan hati yang Serina rasakan sejak tadi telah menemukan jawabannya. Ini adalah firasat dari seorang anak yang tak pernah salah. Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ke IGD dimana Surya masih mendapatkan penanganan. Serina berlari dan menghampiri Farah yang terduduk di ruang tunggu. “Ibu...” Farah yang semula menunduk pun seketika menoleh ketika mendengar suara putrinya. ”Serina!” Serina menghambur memeluk Farah. Tangisan kedua wanita ini pecah. Mereka sama-sama ketakutan sekarang. “Bapak kamu, Serin.” Pelukan mereka terurai. Serina genggam tangan Farah yang terasa dingin. Sedangkan, Damar yang juga ada disana, hanya menatap kedua wanita itu saja tanpa bersuara. “Bagaimana kondisi Bapak, Bu?” “Ibu juga enggak tahu. Tapi, menurut keterangan polisi, lukanya cukup parah.” Dada Serina semakin sesak. Membayangkannya saja sudah membuat Serina ingin pingsan sekarang. “Bagaimana bisa Bapak kecelakaan, Bu?” Belum juga Farah menjawab, seorang perawat keluar mendatangi mereka. “Keluarga Pak Surya?” “Iya, Sus. Kami keluarganya.” “Dokter ingin bertemu.” “Baik.” Farah sudah lebih dulu mengekor perawat itu. Namun, tidak dengan Serina yang malah tak kunjung beranjak dari sana. Serina menatap Damar yang masih berdiri disampingnya. “Bapak mau ikut?” “Jika kamu mengizinkan.” “Ayo, Pak.” Damar tersenyum sangat tipis lalu mengayunkan kakinya masuk ke dalam. Di sana, mereka sudah ditunggu oleh dokter yang menangani Surya. “Silahkan duduk.” Ketiganya langsung duduk dan berhadapan langsung dengan dokter Rio. “Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” “Kondisinya sangat parah. Pasien mengalami benturan di kepala sangat keras hingga mengakibatkan cedera kepala yang parah. Selain itu, kaki pasien juga hancur jadi terpaksa harus kami amputasi nanti. Jadi, kami butuh persetujuan dari pihak keluarga untuk melakukan tindakan operasi ini.” Air mata Serina dan Farah semakin mengalir deras. Berita yang disampaikan oleh dokter Rio bagaikan mimpi buruk yang sama sekali tak pernah mereka bayangkan akan terjadi. Ketakutan Serina terbukti benar. Masalah penglihatan Surya, nyatanya menjadi bencana besar untuk dirinya sendiri. “Pasien tidak memiliki jaminan kesehatan. Jadi, operasi ini harus dibayar secara mandiri. Untuk rincian biayanya, kalian bisa lihat sendiri.” Dengan tangan gemetar, Serina menerima rinciannya. Setelah melihat rincian yang terpampang jelas di kertas itu, Serina hanya bisa memejamkan matanya. “Bu, bagaimana ini?” lirih Serina yang sudah tak mampu lagi melihatnya. Damar yang ada disamping Serina, langsung menyambar kertas itu. Damar melihat nominal total yang tertera disana yaitu sebesar kurang lebih dua ratus juta rupiah. “Biarkan kami berunding dulu, Dokter.” sahut Damar. “Silahkan. Tapi, keputusan harus segera diambil mengingat kondisi pasien yang terus mengalami penurunan.” Damar mengangguk dan kemudian membawa Serina dan juga Farah untuk keluar dari sana. “Darimana kita dapat uang sebanyak itu, Bu?” Farah semakin terisak. Tubuhnya meluruh di kursi. Farah benar-benar sudah kehilangan akalnya sekarang. Hidup mereka yang serba pas-pasan bahkan cenderung kurang tentunya tak akan bisa membayar baiya operasi semahal itu. Tapi, jika tidak dilakukan maka nyawa Surya akan terancam. “Aku akan telepon Bang Beni.” “Untuk apa? Biarkan saja orang itu menghilang. Dia sudah tidak lagi menyayangi keluarga kita.” “Bu, kita juga butuh Bang Beni. Bagaimana bisa kita mencari uang sebanyak itu hanya berdua?” Serina sedikit meninggikan suaranya. Sebagai anak bungsu, Serina tentu saja merasa buntu dan tak bisa berpikir jernih sekarang. Mereka di kejar waktu dan harus segera mengambil keputusan. “Apa yang kamu harapkan dari dia? Abangmu saja terlilit hutang pada rentenir. Lalu, bagaimana bisa dia membantu kita?” sungut Farah. Beni sangat keterlaluan. Bahkan disaat keluarganya sedang kebingungan, dia sama sekali tidak muncul untuk membantu. “Aku akan cari pinjaman, Bu.” ucap Serina dengan tegas. “Kemana? Mana ada orang yang mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada kita?” “Kita gadaikan sertifikat rumah. Kita juga bisa jual motor bapak. Kalau perlu, aku akan jual diri.” Plak Satu tamparan keras, Serina dapatkan dari Farah. Jalan pikiran Serina begitu dangkal hingga memikirkan jalan pintas seperti itu. “Sedangkal itukah pikiranmu? Ibu tidak mungkin mengizinkanmu melakukan itu, bahkan sampai ibu mati sekalipun.” Tubuh Serina meluruh ke kursi. Ia jambak rambutnya sendiri karena pikirannya benar-benar carut marut sekarang. “Aku akan pergi sekarang, Bu. Ibu tetap disini, aku akan cari uang itu sekarang.” “Serina! Serina!” Teriakan Farah, sama sekali tak Serina gubris. Serina akan mencoba mencari uang itu bahkan jika ia harus mengemis ke saudara dari bapak dan ibunya. Sedangkan, Damar yang berdiri disana hanya menatap kepergian Serina dengan nanar. Sebagai orang asing, Damar tak ingin terlalu ikut campur. Dan ia akan lihat sejauh mana perjuangan Serina untuk mendapatkan uang itu. ** Serina pergi ke rumah saudara dari orang tuanya. Serina buang egonya jauh-jauh dan akan mengemis bantuan kepada mereka. “Kami tidak ada. Pergi kamu dari sini!” “Hidup kami saja susah. Untuk apa kamu minta uang pada kami. Pergi sana!” Kalimat-kalimat itu seolah menjadi ucapan yang menyakitkan bagi Serina. Lima kali Serina pergi ke saudara dari orang tuanya dan lima kali juga Serina mendapatkan penolakan. Padahal, saudara-saudara orang tuanya cukup berada. Tapi, mereka tak sedikitpun mau peduli ataupun membantu Surya yang tengah sekarat di rumah sakit. Serina tak menyerah. Penolakan dari saudara orang tuanya semakin membakar semangat Serian untuk mencari pinjaman. “Kamu masih mahasiswi dan belum bekerja, jadi kami tidak bisa memberikan pinjaman kepada kamu. Maaf ya...” “Tolong, Pak. Saya janji akan membayarnya rutin. Kalaupun tidak dua ratus juta, berikan sedapatnya saja. Berapapun itu, saya pasti akan terima.” Serina tak berhenti memohon kepada pihak bank yang terus menolak ajuan pinjamannya. “Maaf, kami tetap tidak bisa. Cari di tempat lain saja.” Serina berjalan gontai. Ini adalah bank terakhir yang ia datangi setelah ia terus di tolak oleh bank-bank lainnya. Serina berusaha untuk tegar tapi hatinya sangat rapuh. Dari pagi sampai menjelang petang, Serina sudah pergi kemana-mana demi mendapatkan uang itu. Tapi, sepeserpun Serina tak mendapatkannya. Serina dudukkan dirinya di sebuah kursi yang ada di teras bank. Tatapannya menerawang pada hujan yang turun sangat deras. “Kemana lagi aku harus mencari?” Serina begitu putus asa. Sedangkan, ibunya terus menghubungi jika Surya harus secepatnya di operasi. Serina kembali tumpahkan tangisnya disana. Ia ingin menyerah, tapi bagaimana dengan bapaknya? “Bapak, bertahanlah. Serina janji akan berusaha semampu Serina untuk mendapatkan uang itu. Tapi, Bapak harus bertahan sampai Serina kembali.” Hujan turun dengan deras. Kakinya sangat lelah sekarang. Dalam ketakutannya, Serina terus berpikir harus pergi kemana lagi sekarang. Serina tak punya tujuan. Hingga akhirnya, Serina mendapatkan telepon dari sang ibu. Tanpa membuang waktu, Serina langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Bu. Ada apa?” “Kamu dimana?” “Masih di jalan.” “Kembalilah sekarang. Ibu sudah mendapatkan uangnya dan Bapak akan segera di operasi.” “Apa?”“Cepat kemari sekarang, Serina. Ibu tutup teleponnya.” Telepon yang ia dapatkan dari sang ibu, membuat Serina sedikit bisa bernapas lega. Serina mengusap air matanya dengan kasar lalu menerobos hujan deras. Ia abaikan tubuhnya sendiri karena yang utama sekarang adalah keselamatan dari Surya. Dengan tubuh yang basah kuyup, Serina berlari menuju ke IGD. Dari kejauhan, Serina masih bisa melihat Farah yang masih terduduk di ruang tunggu. “Ibu!” panggil Serina. Farah yang semula menunduk langsung mendongak ketika mendengar suara putrinya. Ada sebersit senyum dan juga kesedihan yang tergambar di wajah Farah.“Ibu sudah mendapatkannya?”Farah mengangguk. “Benar.”“Ibu meminjam uang itu kepada siapa?”Farah mendadak panik. Ia usap wajah sang putri yang masih basah dengan telapak tangannya. Bibir Serina membiru dan tubuh putrinya itu menggigil. Farah kemudian lepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Serina.“Nanti ibu beri tahu. Sekarang, kita harus masuk ke dalam karena sebentar lagi Ba
Tanpa berpikir panjang, Damar menarik Serina untuk pergi dari sana. Mereka tak mungkin membuang waktu lagi dan harus segera sampai ke rumah sakit. Serina yakin sekali jika sang ibu tengah ketakutan sekarang.Selama perjalanan, Serina tak berhenti berdoa. Air matanya terus mengalir tiada henti. Seolah, kerisauan hati yang Serina rasakan sejak tadi telah menemukan jawabannya. Ini adalah firasat dari seorang anak yang tak pernah salah.Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ke IGD dimana Surya masih mendapatkan penanganan. Serina berlari dan menghampiri Farah yang terduduk di ruang tunggu.“Ibu...” Farah yang semula menunduk pun seketika menoleh ketika mendengar suara putrinya. ”Serina!”Serina menghambur memeluk Farah. Tangisan kedua wanita ini pecah. Mereka sama-sama ketakutan sekarang.“Bapak kamu, Serin.”Pelukan mereka terurai. Serina genggam tangan Farah yang terasa dingin. Sedangkan, Damar yang juga ada disana, hanya menatap kedua wanita itu saja tanpa bersuara. “
“Bapak kemana, Bu?”Serina yang sudah siap berangkat ke kampus, menghampiri sang ibu yang terduduk di teras. Farah terlihat menunggu jualan nasi uduknya yang ia dasar di teras. “Bapak kamu barusan berangkat.”Serina cukup terkejut dengan jawaban Farah, “Berangkat kemana?” Farah mulai mengambilkan nasi dan lauk pauk sebagai bekal putrinya. Setiap harinya, Serina memang membawa bekalnya sendiri dari rumah untuk menghemat uangnya.“Bapak kamu diminta Pak Soleh untuk mengirim pasir ke rumah pembelinya.” “Naik apa?”“Naik mobil pick up.”Raut wajah Serina seketika berubah. “Kenapa ibu izinkan Bapak pergi?”Farah terdiam sejenak ketika hendak menutup kotak bekal milik Serina. “Bapakmu memaksa. Ibu sudah melarang, tapi dia tetap bersikeras untuk pergi.”“Ibu tahu kan, sejak kecelakaan itu, penglihatan Bapak sedikit terganggu. Bapak juga tidak mungkin menyetir jika sesak nafasnya kumat. Itulah kenapa, dokter melarang Bapak untuk berkendara di jalan raya. Kalaupun naik sepeda pun, Bapak ha
"Saya sudah transfer uangnya. Jadi, sekarang pergi dari rumah ini." ucap Damar dengan tegas. Pria itu tersenyum. "Baiklah. Ingat, mulai bulan depan kalian tidak boleh menunggak lagi." pungkasnya yang kemudian berlalu pergi dari sana. Farah dan Surya akhir bisa bernapas lega setelah Damar membantu keluarganya. “Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak Damar. Kami berjanji akan mengembalikan uang Bapak secepatnya.” ucap Farah yang tak dapat membendung rasa bersyukurnya. Damar muncul bak pahlawan yang membantu keluarganya. Damar melunasi tunggakan tiga bulan hingga membuat petugas itu akhirnya tidak jadi merampas motor mereka. “Jangan pikirkan itu. Saya ikhlas membantu.” "Mari masuk dulu, Pak. Biarkan kami menjamu Bapak sebagai gantinya." Damar tak menolak dan akhirnya masuk ke dalam rumah milik keluarga Serina. Sebenarnya, Serina sedikit keberatan, tapi ia juga tak mau egois karena bagaimanapun Damar sudah membantu keluarganya. Ketika orang tuanya tengah berbincang dengan D
Serina berjalan gontai keluar dari ruangan Damar. Ucapan dari Damar cukup menampar Serina. Pria itu seolah ingin menunjukkan jika dirinya bukanlah pelakunya. Dari nada bicara Damar, tak sedikitpun menunjukkan keraguan. Serina hampir percaya dengan itu. Tapi, Serina juga tak bisa mengabaikan firasatnya. Jelas sekali, jika Damar yang berdiri di belakangnya. Jika bukan Damar, lalu siapa yang melakukannya? Apa benar pria tua itu? Entahlah, sampai saat ini, Serina masih meyakini jika Damar lah pelakunya. “Apa aku yang salah? Bagaimana jika Pak Damar bukan pelakunya? Lebih baik aku tidak mengusiknya lagi."Ketakutan Serina terhadap ancaman Damar tadi, jelas memunculkan rasa waspada dalam diri Serina. Bagaimana jika Damar serius dengan ancamannya?Sungguh, Serina tak mau menjadi penghuni sel di usianya yang masih sangat muda. Serina terus memikirkan hal ini hingga membuatnya tidak fokus mengikuti sisa perkuliahannya hari ini. Serina lebih banyak bengong di kelas karena bayangan wajah Dam
Damar melangkahkan kakinya dengan sangat yakin. Auranya yang sangat kuat mampu membuat siapa saja menjadi segan kepadanya. Bahkan, para wanita di kelas ini sampai dibuat tak berkedip ketika memperhatikan Damar. Ketampanan Damar benar-benar mampu menyihir para wanita. Namun, beda cerita dengan Serina. Dari tempatnya yang berada di tingkat kursi paling belakang, Serina hanya bisa terdiam dan melongo melihat sosok dosen yang baru saja memasuki ruang kelasnya itu. Jantung Serina berdegup sangat kencang. Serina bahkan mengerjap berkali-kali untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah. “Pria itu...“ Serina menutup mulutnya sendiri. Ia sama sekali tak menyangka jika pria yang terlibat insiden tadi pagi dengannya adalah dosen barunya. Dan detik itu juga, tatapan Serina bertabrakan dengan mata hazel milik Damar yang ternyata juga tengah menatap dirinya. “Tidak mungkin.” batinnya. Dengan penuh ketenangan, Damar berdiri di depan dan menghadap semua mahasiswanya. Dari tempatnya







