LOGIN“Cepat kemari sekarang, Serina. Ibu tutup teleponnya.”
Telepon yang ia dapatkan dari sang ibu, membuat Serina sedikit bisa bernapas lega. Serina mengusap air matanya dengan kasar lalu menerobos hujan deras. Ia abaikan tubuhnya sendiri karena yang utama sekarang adalah keselamatan dari Surya. Dengan tubuh yang basah kuyup, Serina berlari menuju ke IGD. Dari kejauhan, Serina masih bisa melihat Farah yang masih terduduk di ruang tunggu. “Ibu!” panggil Serina. Farah yang semula menunduk langsung mendongak ketika mendengar suara putrinya. Ada sebersit senyum dan juga kesedihan yang tergambar di wajah Farah. “Ibu sudah mendapatkannya?” Farah mengangguk. “Benar.” “Ibu meminjam uang itu kepada siapa?” Farah mendadak panik. Ia usap wajah sang putri yang masih basah dengan telapak tangannya. Bibir Serina membiru dan tubuh putrinya itu menggigil. Farah kemudian lepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Serina. “Nanti ibu beri tahu. Sekarang, kita harus masuk ke dalam karena sebentar lagi Bapak akan di operasi.” “Secepat itu? Semua biayanya sudah selesai?” tanya Serina penasaran. “Sudah. Dan sekarang, dokter sedang mempersiapkan operasi Bapak.” Ada semburat senyum yang terpancar dari wajah Serina. Tangisan kebahagiaan pun terluap sekarang. Entah orang baik mana yang bersedia meminjamkan uang sebesar itu kepada mereka. “Katakan siapa, Bu? Aku ingin bertemu dengan orang itu dan mengucapkan terimakasih.” “Nanti saja. Sekarang, kita harus masuk dulu.” Meski rasa penasaran Serina masih tinggi, tapi ia tak mau memaksa sang ibu untuk memberitahukannya sekarang. Karena yang terpenting baginya saat ini adalah keselamatan Surya. Mereka akan pikirkan nanti cara untuk membayar hutang itu. Mungkin, Serina akan mengambil cuti kuliah demi membantu ibu membayar hutang. Atau Serina akan mengambil kerja part time sebanyak-banyaknya dan tetap berkuliah. “Doa Serina akan selalu menyertai Bapak.” Serina dan Farah tak berhenti berdoa ketika Surya tengah menjalani prosedur operasi. Dokter berkata, ini adalah operasi bersar yang pastinya akan memakan waktu lama. Ibu dan anak ini saling menguatkan sekarang. “Bang Beni...” Serina dikejutkan dengan kemunculan Beni yang berjalan menghampirinya dan Farah. “Dimana Bapak?” tanya Beni dengan sangat panik. Melihat putranya datang, amarah Farah langsung naik ke ubun-ubun. Dan tanpa berkata apapun, Farah langsung layangkan tamparannya ke wajah Beni dengan sangat keras. “Ibu!” Serina memekik spontan. “Mau apa kamu kemari? Masih ingat dengan kami rupanya kamu.” Beni terdiam dan memegang pipinya yang teras panas akibat tamparan dari Farah. “Ibu boleh marah sama Beni. Tapi, aku datang kesini untuk melihat kondisi Bapak.” Farah mendorong dada Beni, “Bapak seperti ini juga karena dirimu. Dia rela ambil pekerjaan berat karena ingin membayar cicilan motor kamu. Sedangkan kamu...” Farah menjeda ucapannya. Amarahnya yang meledak ini seolah tak terkendali lagi. “Kamu selalu menyusahkan Bapak dan Ibu. Kamu bisanya hanya senang-senang saja tanpa memikirkan kami dan juga adikmu. Kami pontang-panting bayar hutangmu kepada renternir dan juga bayar cicilan ini dan itu. Tapi, kamu malah kabur dari tanggungjawab dan melimpahkan semuanya kepada kami. Dan sekarang kamu lihat sendiri akibat perbuatanmu itu.” Serina hanya bisa menangis melihat luapan amarah sang ibu. Kemarahan yang terus di pendam oleh Farah nyatanya kini berada di puncaknya. Farah tak lagi bisa menahannya dan mengeluarkan semuanya kepada Beni. “Bu, sudah. Jangan bertengkar di rumah sakit. Ini bukan waktunya kita untuk membahas hal ini. Kita harus berdoa demi keselamatan Bapak.” ucap Serina mencoba menenangkan Farah. Farah meluruhkan tubuhnya kembal ke kursi. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan lalu menangis. Serina ikut menangis lalu mendekap sang ibu. Melalui matanya, Serina seolah melemparkan isyarat agar Beni memaklumi sikap Farah. Beni hanya mengangguk dan kemudian menyenderkan punggungnya ke tembok. Sedangkan Serina memilih memeluk Farah yang masih terisak. Saat ini, mereka harus saling menguatkan satu sama lain. Pertengkaran tak akan menyelesaikan semuanya dan malah akan memperparah masalah. Beni memang salah, tapi ini bukan waktunya untuk menghakimi Beni. Karena Serina tahu, Beni pasti akan sadar setelah kejadian ini. Meski Beni sangat keras kepala, tapi Beni masih memiliki sisi lembut yang selama ini kakaknya itu sembunyikan. Setelah operasi besar yang berlangsung selama enam jam, akhirnya dokter Roy yang merupakan dokter kepala yang memimpin operasi ini keluar. Serina, Farah dan juga Beni langsung bangkit dan menghampiri dokter Roy. “Bagaimana kondisi suami saya, Dokter?” tanya Farah tanpa basa-basi. Enam jam bukan waktu yang singkat. Selama itu, mereka bertiga bahkan tidak bisa bernapas dengan tenang hanya untuk mendengar kabar mengenai operasi Surya. “Operasinya berjalan lancar.” “Itu artinya suami saya selamat, Dok?” Dokter Roy tersenyum. Wajah kelelahan jelas tergambar di wajah tampan dokter itu. Namun, Roy tetap menjaga senyumnya karena memang ini adalah kabar baik untuk keluarga pasien. “Iya. Pasien berhasil selamat. Dan setelah ini, kami akan pindahkan pasien ke ruang ICU.” Serina menangis bahagia. Ini adalah kabar yang ia tunggu sejak tadi. Akhirnya, doa-doa mereka di jabah oleh Tuhan. Begitupun dengan Farah dan Beni yang akhirnya bisa bernapas sedikit tenang sekarang. “Terimakasih banyak, Dokter. Terimakasih banyak.” “Saya hanya perantara saja, Bu. Ini juga berkat doa-doa kalian yang tidak pernah putus. Kalau begitu, saya kembali dulu.” “Iya.” Setelah operasi itu, akhirnya Surya di pindahkan ke ruang ICU. Serina dan Farah menunggu di depan ruang ICU karena memang belum diijinkan untuk masuk. Sedangkan, Beni pulang untuk mengambilkan baju ganti untuk ibu dan adiknya. “Sekarang beritahu aku, siapa yang sudah membayar biaya operasi Bapak.” Farah menatap putrinya. Farah tak lagi bisa menghindar karena dia sudah berjanji kepada Serina akan memberitahu mengenai hal ini. “Bu...” “Sebenarnya, yang membantu ibu adalah Pak Damar.” Wajah Serina berubah tegang. Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “P-pak Damar?” “Maaf, jika ibu tidak memberitahukanmu mengenai ini. Tapi, ibu sudah putus asa. Apalagi, kamu tidak bisa mendapatkan pinjaman. Alhasil, ibu meminta bantuan beliau.” “Tapi, kita saja masih memiliki hutang pada Pak Damar. Bagaimana bisa...” “Ibu tidak memikirkan itu. Yang ibu pikirkan hanya keselamatan Bapak kamu. Memangnya kamu mau, Bapak kamu meninggal jika tidak ditangani secepatnya?” “Katakan pada Pak Damar, jika kita akan mengembalikan uang itu secepatnya. Aku tidak mau terus-terusan berhutang budi padanya.” “Itu tidak perlu.” Kedua alis Serina beradu, “Maksud ibu?” “Ibu sudah serahkan kamu menjadi jaminannya.” “Apa yang ibu katakan? Jaminan apa yang ibu maksud?” “Kamu harus menikah dengan Pak Damar, Serina.”“Cepat kemari sekarang, Serina. Ibu tutup teleponnya.” Telepon yang ia dapatkan dari sang ibu, membuat Serina sedikit bisa bernapas lega. Serina mengusap air matanya dengan kasar lalu menerobos hujan deras. Ia abaikan tubuhnya sendiri karena yang utama sekarang adalah keselamatan dari Surya. Dengan tubuh yang basah kuyup, Serina berlari menuju ke IGD. Dari kejauhan, Serina masih bisa melihat Farah yang masih terduduk di ruang tunggu. “Ibu!” panggil Serina. Farah yang semula menunduk langsung mendongak ketika mendengar suara putrinya. Ada sebersit senyum dan juga kesedihan yang tergambar di wajah Farah.“Ibu sudah mendapatkannya?”Farah mengangguk. “Benar.”“Ibu meminjam uang itu kepada siapa?”Farah mendadak panik. Ia usap wajah sang putri yang masih basah dengan telapak tangannya. Bibir Serina membiru dan tubuh putrinya itu menggigil. Farah kemudian lepaskan jaketnya dan memakaikannya kepada Serina.“Nanti ibu beri tahu. Sekarang, kita harus masuk ke dalam karena sebentar lagi Ba
Tanpa berpikir panjang, Damar menarik Serina untuk pergi dari sana. Mereka tak mungkin membuang waktu lagi dan harus segera sampai ke rumah sakit. Serina yakin sekali jika sang ibu tengah ketakutan sekarang.Selama perjalanan, Serina tak berhenti berdoa. Air matanya terus mengalir tiada henti. Seolah, kerisauan hati yang Serina rasakan sejak tadi telah menemukan jawabannya. Ini adalah firasat dari seorang anak yang tak pernah salah.Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung menuju ke IGD dimana Surya masih mendapatkan penanganan. Serina berlari dan menghampiri Farah yang terduduk di ruang tunggu.“Ibu...” Farah yang semula menunduk pun seketika menoleh ketika mendengar suara putrinya. ”Serina!”Serina menghambur memeluk Farah. Tangisan kedua wanita ini pecah. Mereka sama-sama ketakutan sekarang.“Bapak kamu, Serin.”Pelukan mereka terurai. Serina genggam tangan Farah yang terasa dingin. Sedangkan, Damar yang juga ada disana, hanya menatap kedua wanita itu saja tanpa bersuara. “
“Bapak kemana, Bu?”Serina yang sudah siap berangkat ke kampus, menghampiri sang ibu yang terduduk di teras. Farah terlihat menunggu jualan nasi uduknya yang ia dasar di teras. “Bapak kamu barusan berangkat.”Serina cukup terkejut dengan jawaban Farah, “Berangkat kemana?” Farah mulai mengambilkan nasi dan lauk pauk sebagai bekal putrinya. Setiap harinya, Serina memang membawa bekalnya sendiri dari rumah untuk menghemat uangnya.“Bapak kamu diminta Pak Soleh untuk mengirim pasir ke rumah pembelinya.” “Naik apa?”“Naik mobil pick up.”Raut wajah Serina seketika berubah. “Kenapa ibu izinkan Bapak pergi?”Farah terdiam sejenak ketika hendak menutup kotak bekal milik Serina. “Bapakmu memaksa. Ibu sudah melarang, tapi dia tetap bersikeras untuk pergi.”“Ibu tahu kan, sejak kecelakaan itu, penglihatan Bapak sedikit terganggu. Bapak juga tidak mungkin menyetir jika sesak nafasnya kumat. Itulah kenapa, dokter melarang Bapak untuk berkendara di jalan raya. Kalaupun naik sepeda pun, Bapak ha
"Saya sudah transfer uangnya. Jadi, sekarang pergi dari rumah ini." ucap Damar dengan tegas. Pria itu tersenyum. "Baiklah. Ingat, mulai bulan depan kalian tidak boleh menunggak lagi." pungkasnya yang kemudian berlalu pergi dari sana. Farah dan Surya akhir bisa bernapas lega setelah Damar membantu keluarganya. “Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak Damar. Kami berjanji akan mengembalikan uang Bapak secepatnya.” ucap Farah yang tak dapat membendung rasa bersyukurnya. Damar muncul bak pahlawan yang membantu keluarganya. Damar melunasi tunggakan tiga bulan hingga membuat petugas itu akhirnya tidak jadi merampas motor mereka. “Jangan pikirkan itu. Saya ikhlas membantu.” "Mari masuk dulu, Pak. Biarkan kami menjamu Bapak sebagai gantinya." Damar tak menolak dan akhirnya masuk ke dalam rumah milik keluarga Serina. Sebenarnya, Serina sedikit keberatan, tapi ia juga tak mau egois karena bagaimanapun Damar sudah membantu keluarganya. Ketika orang tuanya tengah berbincang dengan D
Serina berjalan gontai keluar dari ruangan Damar. Ucapan dari Damar cukup menampar Serina. Pria itu seolah ingin menunjukkan jika dirinya bukanlah pelakunya. Dari nada bicara Damar, tak sedikitpun menunjukkan keraguan. Serina hampir percaya dengan itu. Tapi, Serina juga tak bisa mengabaikan firasatnya. Jelas sekali, jika Damar yang berdiri di belakangnya. Jika bukan Damar, lalu siapa yang melakukannya? Apa benar pria tua itu? Entahlah, sampai saat ini, Serina masih meyakini jika Damar lah pelakunya. “Apa aku yang salah? Bagaimana jika Pak Damar bukan pelakunya? Lebih baik aku tidak mengusiknya lagi."Ketakutan Serina terhadap ancaman Damar tadi, jelas memunculkan rasa waspada dalam diri Serina. Bagaimana jika Damar serius dengan ancamannya?Sungguh, Serina tak mau menjadi penghuni sel di usianya yang masih sangat muda. Serina terus memikirkan hal ini hingga membuatnya tidak fokus mengikuti sisa perkuliahannya hari ini. Serina lebih banyak bengong di kelas karena bayangan wajah Dam
Damar melangkahkan kakinya dengan sangat yakin. Auranya yang sangat kuat mampu membuat siapa saja menjadi segan kepadanya. Bahkan, para wanita di kelas ini sampai dibuat tak berkedip ketika memperhatikan Damar. Ketampanan Damar benar-benar mampu menyihir para wanita. Namun, beda cerita dengan Serina. Dari tempatnya yang berada di tingkat kursi paling belakang, Serina hanya bisa terdiam dan melongo melihat sosok dosen yang baru saja memasuki ruang kelasnya itu. Jantung Serina berdegup sangat kencang. Serina bahkan mengerjap berkali-kali untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah. “Pria itu...“ Serina menutup mulutnya sendiri. Ia sama sekali tak menyangka jika pria yang terlibat insiden tadi pagi dengannya adalah dosen barunya. Dan detik itu juga, tatapan Serina bertabrakan dengan mata hazel milik Damar yang ternyata juga tengah menatap dirinya. “Tidak mungkin.” batinnya. Dengan penuh ketenangan, Damar berdiri di depan dan menghadap semua mahasiswanya. Dari tempatnya







