Mas Adrian langsung berdiri. Matanya nyalang menatap Siska. Seakan hendak memakannya hidup-hidup. Hidungnya kembang-kempis, wajahnya pun merah padam. Namun, yang ditatap tampak biasa saja.
"Benar-benar kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak bisa mikir dulu sebelum ngomong, hah?"
"Yan! Sudah, jangan begitu! Malu banyak orang!" tegur ibu mertua.
Dahiku mengernyit menatap ibu mertua. Entah mengapa, aku jadi merasa ibu mertua seperti tidak memihakku.
"Enggak, Bu! Aku enggak terima ada yang ngata-ngatain Nana seperti itu," bantah Mas Adrian. Kemudian kembali menatap tajam pada Siska. "Aku benar-benar enggak habis pikir, ada manusia seperti kamu, ya!" hardik Mas Adrian. "Apa kamu enggak takut, ucapanmu itu akan berbalik pada keluargamu?"
"Ya, jelas enggak, lah, Mas," jawab Siska dengan santai. "Kan, udah jelas, aku udah punya anak."
"Hah?" Mas Adrian tertawa getir. "Kamu enggak mikir itu bisa berbalik ke anakmu?" cecar Mas Adrian.
Siska membuka mulutnya, kemudian mengatup kembali.
"Yan! sudah, sudah!" tegur ibu mertua lagi.
"Iya. lagian aku, kan, cuma tanya," kilah Siska. "Kalau emang enggak mandul, ya, tinggal jawab aja, enggak!" ketus Siska sembari melirikku sinis.
"Rasa-rasanya aku mandul atau enggak bukan urusanmu, deh, Mbak!" sinisku. "Aku aja enggak peduli pas lihat kamu jalan sama suami orang, kok!"
"Apa?" Mata Siska seketika melebar mendengar ucapanku. Ia mungkin tak menyangka sama sekali aku akan berkata seperti itu. "Pintar sekali kamu mengalihkan pembicaraan, ya?" tuduh Siska. "Sampai tega fitnah aku seperti itu! Pantas aja kamu mandul!"
"Mau aku tunjukkin buktinya?" tantangku. Walaupun sebenarnya aku tak ingin mengungkapnya karena kasihan pada Bu Mirna.
"Sudah, Na!" tegur ibu mertua. "Enggak sopan sama tamu begitu! Sebentar lagi acara juga mau dimulai. Malah ribut-ribut enggak penting gitu!"
"Iya itu menantu Ibu, masa aku diperlakukan gitu!" adu Siska.
Aku memilih diam. Karena memang lebih baik menghindari perdebatan, walaupun aku ada dalam posisi yang benar. Apalagi berdebat dengan manusia seperti Siska, hanya mencoreng nama baikku saja.
"Tapi, kamu emang enggak seharusnya bilang seperti itu, Sis!" tegur Bu Pur. "Apalagi sama orang baru seperti Mbak Nana. Sama keluargamu sendiri aja enggak baik ngomong begitu!"
"Ah, Bu Pur mah dari dulu mana pernah belain aku!" sungut Siska.
Benar-benar manusia minus attitude memang.
"Bukannya gitu, Sis!" Kali ini Bu Mirna yang bicara. "Masalah anak itu urusan Allah. Allah Maha Tahu mana yang terbaik untuk hambaNya. Menurut Allah yang terbaik untuk Mbak Nana dan Mas Adrian saat ini belum dikaruniai momongan. Jadi, siapa kamu berani mengolok seperti itu!"
Siska hanya mencebik. Kemudian melirik Pak Abas yang hanya diam. Tak membelanya ataupun membenarkan istrinya.
Kami semua akhirnya terdiam cukup lama. Sampai azan isya berkumandang. Para laki-laki bergegas ke masjid, sedang para wanita solat di rumahku. Siska bilang sedang berhalangan makanya tidak solat.
Selesai solat, Mbak Rani datang bersama anak bungsunya, Amira. Disusul bapak-bapak yang akan mengikuti acara tasyakuran. Termasuk suami Siska. Begitu tasyakuran dimulai, Siska pulang. Katanya, anaknya mengantuk. Padahal anak itu masih terlihat cukup aktif bermain. Aku tak ambil pusing soal itu.
"Mbak Nana, coba dihitung berapa jumlah yang hadir!" titah Bu Pur yang sedang menyiapkan minuman.
Aku mengangguk, kemudian menuju ruang tamu menghitung jumlah orang yang hadir. Dahiku mengernyit saat tak melihat wajah Pak Abas. Padahal tadi dia duduk di samping pintu masuk.
Pikiranku jadi mengembara kemana-mana. Apalagi kebetulan Siska pamit pulang. Jangan-jangan ....
Ah, gila saja mereka kalau nekat seperti itu. Rumah Siska, kan, tak jauh dari rumahku.
Kemudian aku kembali ke dapur, menyampaikan total orang yang hadir pada Bu Pur yang sedang berbincang dengan ibu mertua.
"Bu, ada 33 orang. Tapi, Pak Abas enggak kelihatan," ucapku sengaja ingin melihat reaksi Bu Mirna. Apa sebenarnya wanita ini sudah tahu kalau suaminya main gila?
"Loh, kemana, ya? Tadi ada," sahut Bu Pur.
"Apa pulang, ya?" tebak Bu Mirna. "Tapi, ngapain?"
"Coba Ibu lihat di rumah dulu! Takut gimana-gimana," usul ibu mertua.
"Oh, ya, aku telepon si bungsu aja," tolak Bu Mirna.
Sementara Bu Pur dan Mbak Rani menyeduh teh panas, aku memperhatikan Bu Mirna. Sepertinya wanita ini tidak tahu kelakuan suaminya bersama tetangganya.
"Suamiku enggak di rumah," ucap Bu Mirna. "Coba aku intip ke depan. Tadi duduk di samping pintu, kan?"
"Iya, Bu," jawabku.
Aku pun menemani Bu Mirna yang mengecek keberadaan suaminya. Namun, hasilnya masih sama. Tak ada Pak Abas di antara bapak-bapak yang sedang melantunkan doa-doa.
"Kemana, ya?" Bu Mirna terlihat bingung.
"Bawa hp apa enggak, Bu?" tanyaku sembari berjalan berdampingan ke dapur.
"Oh, iya. Aku telepon dulu, Mbak. Heh! Orang-orang lagi pada pengajian malah ngilang!" gerutunya.
Kemudian Bu Mirna mengambil ponsel di saku gamisnya dan menelepon suaminya.
"Enggak diangkat," ucapnya. Kemudian menelepon lagi. Sampai entah berapa kali baru kemudian diangkat.
"Halo, Pak. Bapak dimana?" tanya Bu Mirna sembari menempelkan ponsel di telinganya.
Aku yang berdiri persis di sebelah Bu Mirna, samar-samar bisa mendengar jawaban Pak Abas. Lelaki itu bilang, habis pulang karena perutnya mulas.
"Tapi, Andin bilang bapak enggak di rumah?" kejar Bu Mirna.
Pak Abas bilang, Andin ada di kamar makanya tidak tahu dia pulang.
Semoga saja memang begitu.
"Oh," sahut Bu Mirna. Namun, saat Bu Mirna hendak mengakhiri sambungan teleponnya, terdengar jelas sekali ada suara anak kecil menangis.
"Loh, Pak, Bapak dimana? Itu suara anak siapa?"
Dadaku langsung berdebar hebat. Apakah akhirnya Bu Mirna akan tahu pengkhianatan suaminya?
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?"Dimatiin, Mbak," ucapnya.Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka."Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang."Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna."Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadak
"Emang sebagus apa akhlak Mbak Nana sampai disandingin sama Aisyah?" ketus Siska.Ya Allah, masih jawab juga!"Walaupun istriku enggak semulia Aisyah, seenggaknya dia enggak pernah ngurusin urusan orang lain. Apalagi sampai nyakitin perasaannya!" ketus Mas Adrian. "Kamu pikir Nana enggak sakit hati kamu ungkit-ungkit masalah dia belun hamil?" geram Mas Adrian."Ya aku, kan, cuma ngomong biasa aja," kilah Siska."Udah, udah, Yan! Enggak baik sama tetangga begitu!" lerai ibu mertua."Mbak Siska, maaf, kami mau keluar sekarang." Aku mengusirnya dengan halus. Karena orang baru di sini, aku tak mau bersikap terlalu frontal. Aku juga belum tahu watak orang-orang di sini seperti apa. Salah langkah, malah bisa-bisa aku yang dimusuhi semua orang."Iya, deh, silahkan! Yang bawa-bawa anakku ke sini juga bukan aku!" ketus Siska kemudian pergi dengan wajah kesal sembari menggendong anaknya.Aku menghela napas panjang setelah mendengar suara pintu depan ditutup. Kemudian duduk di sofa."Bu, besok-b
Kuminta sopir taksi online yang kupesan untuk mengebut. Aku tak mau sampai terlambat tiba di rumah. Bisa panjang urusannya kalau sampai Mas Adrian tidak kuat iman.Mas Adrian lelaki normal, tentu tak mudah menghindari penggoda nekat macam Siska. Beli sayur saja berani memakai baju tidur seksi, apalagi ini di rumahnya sendiri.Aduh, aku enggak bisa bayangin!"Pak, bisa lebih cepat lagi enggak?" tanyaku pada sopir taksiku."Jalanan padat, Mbak. Aku enggak berani terlalu ngebut," jawabnya.Memang hari minggu begini jalanan padat merayap. Orang-orang pasti banyak yang jalan menghabiskan waktu bersama keluarganya."Aduh, tapi aku buru-buru banget, Pak!""Iya, Mbak. Sabar dulu, ya!"Aduh, harusnya aku pakai ojek saja. Kenapa malah pesannya taksi? Aduh!"Pak, maaf, nih," ucapku tak enak."Iya, Mbak, gimana?" tanya sopir tersebut."Kalau aku pesan ojek aja, gimana? Bapak tetap antar belanjaanku sampai titik, kok," ucapku dengan perasaan tidak enak. "Soalnya aku buru-buru.""Oh, iya, enggak ap
Mas Adrian terperangah melihatku dan Mas Guntur. Ia sampai mematung cukup lama."Ya ampun, Mas! Kamu!" seruku.Mas Adrian malah tersenyum lebar ke arahku. Sembari melambaikan tangannya yang memegang pipa dan pemotongnya."Kamu mau bantuin aku, Mbem?" tanyanya masih sambil tersenyum lebar."Ish!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh pekikan Siska. "Loh, kalian ngapain di sini?"Kontan aku langsung menoleh ke asal suara. Istri Mas Guntur tersebut berdiri di belakangku dan Mas Guntur. Ia membawa segelas besar teh panas dengan asap masih mengepul.Namun, yang membuat kedua bola mataku hendak keluar dari tempatnya, ia mengenakan kaos lengan pendek cukup tipis dalam kondisi basah kuyup. Sehingga memperlihatkan apa yang tak seharusnya ia tunjukkan pada orang lain. Apalagi sepertinya ia tidak mengenakan pakaian dalam. Jadi terlihat jelas bagian yang seharusnya ditutupinya.Celananya pun tak kalah luar biasa. Ia mengenakan hot pants sangat pendek dan basah juga. Sehingga paha basahnya terekspos mema
Aku menatap rendang yang seharusnya menggugah selera itu dengan perasaan ngeri. Aku benar-benar jadi parno sendiri.Apalagi selain perkataan Lisa, aku juga pernah menonton acara talk show yang membahas seorang artis yang berhasil merebut suami orang. Konon, ia menggunakan bantuan paranormal untuk memikat lelaki idamannya itu.Ih, mengerikan!"Kenapa, Mbem?" tanya Mas Adrian.Aku terkejut karena sejak tadi pikiranku melayang-layang membayangkan yang bukan-bukan."Oh, enggak apa-apa, Mas," jawabku."Kamu mau makan sekarang, Yan?" tanya ibu mertua pada Mas Adrian setelah selesai menyiapkan makanan dari Siska tersebut.Jantungku jadi berdegup tak karuan mendengar pertanyaan ibu mertua. Aku takut Mas Adrian mau makan makanan dari Siska itu. Pikiran buruk semakin penuh di kepalaku. Aku benar-benar takut.Lelaki yang ditanya ibunya itu malah menoleh kepadaku dengan tatapan meminta pendapat. Mungkin Mas Adrian ingat kue yang sampai aku hancurkan gara-gara takut diguna-guna Siska."Yan!" pangg
"Mbak, maaf, aku enggak tahu-menahu sama masalahmu!" ucapku tegas. "Kalau kamu punya masalah dengan suamimu, selesaikan baik-baik! Enggak mungkin Mas Guntur sampai pergi kalau kamu enggak keterlaluan!""Sok tahu sekali kamu Na!" seru Siska tampak tak terima. Ia bahkan langsung memanggilku dengan nama. "Kami bertengkar gara-gara mulutmu yang ember!""Oh, ya? Emang Mas Guntur bilang apa?" tantangku.Siska tampak gelagapan beberapa saat kemudian ia kembali berkata, "Kalau kamu enggak bilang apa-apa sama dia, kenapa kalian datang sama-sama?""Kamu tahu enggak kalau di luar jam kerja suamimu jadi ojol?" tanyaku.Siska tampak tercengang. Entah ia tidak tahu atau dia malu suaminya diketahui orang lain kalau melakukan pekerjaan sambilan."Aku pesan ojol dan yang terima orderanku suamimu," lanjutku.Siska seperti kaget. Ia bahkan sampai terdiam beberapa saat."Terus dia bilang apa?" tanya Siska lagi. Kini nada bicaranya melemah. Tak ketus seperti tadi."Dia bilang kamu pelakor dalam rumah tang
Apa Siska benar-benar berniat mengambil hati Mas Adrian? Sampai dia bela-belain minta dimasukkan ke perusahaan tempat Mas Adrian kerja? Tak cukupkah ia dengan Mas Guntur dan Pak Abas? Aku benar-bear geram memikirkannya."Terus bakal diterima?" tanyaku penasaran."Belum tahu. Pak Robert belum bilang gimana-gimana. Cuma tadi pas aku ke ruangannya kebetulan ketemu Pak Abas yang baru aja keluar dari ruangan Pak Robert. Terus aku tanya sama Pak Robert, katanya Pak Abas mau nitipin kerabatnya kerja di sini. Pas aku lihat berkasnya ternyata Siska," jelas Mas Adrian."Kamu bisa, kan, bilang sama Pak Robert buat enggak nerima dia?""Alasannya apa, ya, Mbem?" Mas Adrian tampak berpikir. Aku pun melakukan hal yang sama. Sembari mengambil baju ganti Mas Adrian, aku memikirkan alasan yang tepat untuk menolak permintaan Pak Abas."Emang Pak Abas sama Pak Robert ada hubungan apa, Mas?" tanyaku penasaran."Kata Pak Robert, sih, sepupuan.""Dia tahu kelakuan saudaranya itu?""Entah. Kami kaum lelaki i