Share

Baju Tidur Seksi

Sambungan telepon Bu Mirna dan Pak Abas terputus begitu saja. Aku melihat ada sorot kesedihan di mata Bu Mirna. Apa sebenarnya dia tahu yang dilakukan suaminya?

"Dimatiin, Mbak," ucapnya.

Aku mengelus lengan Bu Mirna. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya tak tega melihat wanita seusia dia terluka.

"Em, apa Ibu mau cek ke rumah?" tawarku.

Kebetulan kalau dari rumahku ke rumah Bu Mirna, melewati rumah Siska. Feelingku Pak Abas di rumah Siska.

Bu Mirna menatapku ragu. Mungkinkah dia takut memergoki suaminya bermain gila? Atau ingin menutupi aib suaminya dari orang lain sepertiku?

Ah, lelaki, kenapa tak kau pikirkan perasaan istrimu saat bermain gila? Tahukah kamu jika istrimu begitu takut aibmu akan terbongkar?

"Ya udah, yuk, Mbak temani aku!" ajak Bu Mirna.

Kami pun segera berpamitan kepada Bu Pur dan ibu mertua.

Baru saja kami tiba di halaman rumahku, Pak Abas tergopoh-gopoh datang.

"Loh, Ibu mau kemana?" tanyanya pada Bu Mirna.

"Mau cari Bapak," jawab Bu Mirna. Kemudian menoleh kepadaku memberi kode ingin bicara empat mata dengan suaminya. Tak ingin mencampuri privasi mereka, aku pamit masuk kembali.

Begitu memasuki dapur, Bu Pur dan yang lainnya sedang membagikan makanan kepada orang-orang yang ikut pengajian.

"Gimana, Mbak?" tanya Mbak Rani saat kembali ke dapur.

"Itu, mereka di depan," jawabku.

"Kasihan, ya, Bu Mirna," ucap Mbak Rani membuatku kaget.

"Kenapa?"

"Aduh, kok, aku malah keceplosan!" ucapnya sambil menepuk keningnya sendiri.

Aku tertawa kecil melihat tingkah Mbak Rani. "Kenapa, Mbak? Cerita aja!"

Mbak Rani menoleh ke arah pintu masuk. Mungkin dia takut Bu Mirna datang.

"Denger-denger, kan, Pak Abas ada main sama Siska," bisiknya.

"Oh, ya?"

Rani mengangguk mantap. "Katanya sih, gitu. Tapi, enggak tahu juga, sih, benar apa enggak."

"Terus Bu Mirna udah tahu?" tanyaku.

"Mungkin, tapi aku enggak tahu pasti, sih, Mbak. Keluarga mereka, kan, tertutup untuk masalah pribadi. Jadi cuma dengar-dengar aja katanya gitu."

"Terus suami Siska?" korekku.

"Aku enggak tahu juga, Mba. Secara Siska, kan, pinter banget ngomong. Paling dia enggak ngaku sama suaminya."

"Suaminya kerja apa, sih, Mbak?" Aku jadi penasaran.

"Di bank setahuku, Mbak. Tapi, enggak tahu bagian apa. Suaminya, kan, jarang bergaul. Enggak kaya Siska yang gampang ngobrol sama orang."

"Aneh, ya? Suami Siska masih muda gitu, kok mau selingkuh sama kakek-kakek," ucapku sambil menutup mulut.

"Duitnya, dong, Mbak, pasti. Pak Abas, kan, kaya raya. Toko bangunannya aja ada beberapa. Kalau ngandelin gaji suaminya, mana bisa Siska hidup semewah itu."

"Emh, ngeri, ya? Terus selama ini, dia ada dekat dengan laki-laki lain apa enggak, sih?" Sekalian aku mencari banyak informasi dari Mbak Rani.

"Kayaknya, sih, enggak, ya. Cuma Pak Abas aja."

"Oh." Bibirku membulat sempurna.

Tapi, kenapa deketin Mas Adrian, ya?

"Mbak Nana, itu udah pada mau pamit pulang," ucap Bu Pur menemuiku di dapur.

"Oh, iya, Bu."

Aku bergegas ke ruang tamu. Mendampingi Mas Adrian yang sedang dipamiti para tetangga yang mengikuti pengajian.

Setelah semua pulang, aku beres-beres masih dibantuin Bu Pur, Mbak Rani, dan ibu mertua. Sementara Bu Mirna tak kembali ke rumahku lagi.

Mas Adrian dan ayah mertua membereskan ruang tamu. Setelah semua beres dan Bu Pur serta Mbak Rani pulang, kami langsung istirahat karena kecapaian.

Pagi hari, seperti biasa seperti minggu pagi sebelumnya, aku berbelanja sayur di tukang sayur keliling. Biasanya aku akan menyetok untuk beberapa hari ke depan. Soalnya repot kalau harus berbelanja setiap hari.

Tampak sudah ada Bu Tejo, Mbak Rani, Mbak Sonia, dan Bu Pur sedang memilih-milih sayuran. Aku datang dan menyapa mereka.

Tak berselang lama, Siska datang masih mengenakan pakaian tidur seksinya.

Astaga!

Mataku melebar melihat pemandangan itu. Apa memang kebiasaannya begitu?

Mana tukang sayur ini mangkal persis di depan rumahku lagi. Kalau Mas Adrian keluar bisa ternoda matanya.

Aduh! Punya tetangga gini amat, sih?

Wanita berpakaian tidur seksi itu masih bersikap ketus padaku. Mungkin, dia masih marah karena perdebatan kami semalam. Harusnya, kan, aku yang marah. Orang dia yang mengolokku mandul.

Dasar, tetangga enggak ada akhlak!

Kami memilih sayur sembari mengobrol ringan seperti biasa. Meski mata-mata kami sesekali melirik penampilan Siska. Aku juga tak lupa melirik tukang sayur yang tampak terpesona.

Bagaimana tidak, ada ibu muda berbelanja mengenakan pakaian tidur yang cukup seksi. Meskipun tak sampai menerawang. Namun, pakaian tanpa lengan itu mengeksplor pundaknya, dadanya, dan juga pahanya. Lelaki mana yang sanggup tak meneguk air liur saat memandanginya.

Bahkan mungkin tukang sayur itu dalam hati berkata, "Mimpi apa aku semalam? Kok, pagi-pagi dapat rejeki nomplok. Bisa cuci mata gratis sepuas-puasnya."

Aku tersenyum sendiri memikirkannya. Apalagi melihat wajah tukang sayur itu sampai seperti lupa bernafas.

"Mbem!"

Waduh, itu, kan, suara Mas Adrian. Ngapain dia ke sini?

Segera aku menoleh dan berlari ke arahnya yang sedang berjalan menuju tukang sayur. Sengaja aku berdiri persis di depannya agar dia tak melihat Siska.

"Ada apa? Ngapain kamu ke sini, Mas?" tanyaku panik.

"Itu, ibu minta ...."

"Udah, udah! Ayo, masuk, masuk!" titahku sembari membalikkan badan Mas Adrian.

"Eh, Mas Adrian!" Manusia yang aku hindari malah menyapa. "Mau beli apa, Mas?" tanyanya dengan suara mendayu.

Sementara aku dan Mas Adrian masih mematung. Aku memegangi kedua lengan Mas Adrian dari belakang dengan erat. Aku tak mau lelakiku berbalik dan melihat nyiur hijau yang melambai-lambai.

"Mas," panggil Siska lagi dengan suara manja.

Mas Adrian menggaruk tengkuknya, kemudian berbalik.

Aduh, mata suamiku ternoda.

Lelaki tampanku tersenyum simpul kemudian menjawab, "Ada apa?"

"Mau ikutan belanja, ya?" tanyanya sambil tersenyum genit.

"Enggak, kok, Bu. Cuma mau nyuruh pulang istri. Mau aku ajak bikin baby," jawabnya sambil merengkuh bahuku.

Mata Siska melotot mendengar jawaban Mas Adrian.

Keren juga kamu, Mas!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status