Share

Anak

Bara api di dapur, seolah kini pindah di dadaku. Darahku bahkan seperti mendidih melihat tingkah Siska pada Mas Adrian. Namun, aku masih menahan diri. Aku ingin tahu bagaimana respon Mas Adrian. Secara, dia tidak tahu kalau aku sudah pulang.

Mas Adrian tampak menoleh setengah terkejut ke arah Siska. Lalu, lelaki itu menggaruk tengkuknya.

"Emh, maaf, Bu, saya nanti makan bareng istri saya saja," tolak Mas Adrian.

Ternyata Mas Adrian jujur, dia benar-benar panggil Siska Bu.

"Aduh, Mas, panggil Siska aja!" pinta Siska dengan suara manja. "Kita juga kayaknya seumuran," ucapnya.

Mas Adrian terlihat tersenyum kaku. Lucu sekali suamiku itu.

"Iya, kan, Mas?" ucap Siska lagi.

"Mungkin," jawab Mas Adrian.

"Mbak Nana pulangnya masih lama, kan?" tanya Siska lagi.

"Enggak, kok, paling sebentar lagi pulang," jawab Mas Adrian.

"Ah, masa, sih? Biasanya sampai rumah sore, kan? Mending Mas makan dulu aja! Siapa tahu Mbak Nana sampai sore."

"Maaf, ya, Bu, saya makan nanti aja!" tolak Mas Adrian.

Tampak suamiku itu hendak meninggalkan Siska. Bergegas aku menghampirinya, berpura-pura baru tiba.

"Mas!" panggilku sembari mendekat padanya. Kini aku berdiri di samping Mas Adrian menatap Siska penuh kemenangan.

"Kamu udah pulang, Mbem?" tanya Mas Adrian sembari menghentikan langkahnya.

"Baru aja," dustaku.

Sementara Siska terlihat kesal melihatku.

Langsung saja aku menyapanya pura-pura ramah, "Mbak Siska makasih, ya, udah ikut bantu-bantu."

"Iya, Mbak. Kebetulan pas enggak ada acara," jawabnya.

"Ya udah, Mbak, aku masuk dulu, ya!" pamitku.

Tetangga penggoda itu mengangguk dengan mimik wajah masih tak ramah. Terkesan memusuhiku, atau membenciku. Kurang lebih begitu.

"Ya udah, yuk, Mbem!" ajak Mas Adrian.

Aku mengangguk. "Yuk!"

Mas Adrian berjalan mendahuluiku. Kemudian aku mengekor melewati Siska. Sengaja lengan kiriku menabrak mangkuk soto di tangan Siska. Sampai tumpah ke bajunya.

"Aduh!" pekiknya.

Aku pura-pura terkejut juga. "Aduh, Mbak, maaf!" seruku.

Sementara hatiku berkata, "Maaf, aku sengaja!" Sambil tertawa membahana di dalam dada.

"Iya, enggak apa-apa!" ucapnya kesal.

"Ya udah, aku ke kamar dulu, ya!" pamitku lagi.

Sementara ia tampak kesal mengibas-ngibas bajunya yang terkena tumpahan soto. Walaupun mangkuknya tak sampai jatuh, tetapi kuahnya tumpah juga.

Saat aku sudah di ruang keluarga, terdengar Siska memanggilku.

"Mbak Nana!" panggilnya.

Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.

"Aku pinjam bajunya, ya!" pintanya sambil berjalan mendekatiku.

Aduh, alasan apa, ya?

Aku tak mau wanita ini sampai meminjam bajuku. Karena aku pernah dengar, kalau meminjamkan baju pada orang lain itu pamali. Katanya bisa jadi suamiku bakal dipinjam juga.

Ih, amit-amit!

"Mbak!" panggil Siska sambil mengibaskan tangan di depanku. "Kok, malah bengong?"

"Ehm, itu, Mbak. Bajuku belum sempat aku bongkar," dustaku. "Baru ambil beberapa aja, itu juga udah pada kotor belum kucuci."

"Kotor juga enggak apa-apa, kok, Mbak!" paksanya.

"Aduh, jangan, lah! Mending Mbak pulang dulu aja, enggak apa-apa. Bukannya enggak mau kasih pinjam, tapi emang belum aku bongkar," kilahku.

"Hm, ya udah, deh!" ketusnya. Kemudian menghentakkan kaki meninggalkanku.

Huh! Enak aja mau pinjam-pinjam baju!

"Kenapa? Kok lama?" tanya Mas Adrian saat aku memasuki kamar.

"Itu, si keong racun mau pinjam bajuku."

"Jiah! Keong racun!" seru Mas Adrian sembari terbahak.

"Hus! Jangan keras-keras! Banyak orang di luar!" tegurku.

Mas Adrian masih tak bisa menahan tawanya.

"Terus mau kamu pinjami?" tanyanya setelah berhenti tertawa.

"Enggak, lah! Enak aja!"

"Benar-benar, deh, istriku ini. Galaknya tak tertandingi!" kelakarnya.

"Biarin! Salah sendiri berani goda suamiku. Belum tahu dia siapa aku!"

Mas Adrian kembali terbahak. "Salut, lah, sama si Embem ini. Makin cinta deh aku!"

"Kenapa tadi enggak mau makan soto dari dia?" tanyaku.

Mas Adrian tampak terkejut. "Kamu lihat?"

"Iya, lah. Makanya aku tumpahin itu sotonya."

Mas Adrian lagi-lagi terbahak-bahak. "Aduh, Mbem, kamu ada-ada aja, ya!"

"Siapa suruh rayu-rayu suami orang! Untung aja enggak aku siramin itu soto ke wajahnya. Cantik, sih, cantik, tapi kalau kelakuan minus, bikin jijik!"

"Aduh, duh duh duh! Istriku ini emang, ya! Keren kamu, Mbem!" Mas Adrian masih belum bisa berhenti tertawa.

Setelah berganti baju, aku mengajak Mas Ardian untuk makan. Tadi di kantor aku belum makan siang, karena ingin pekerjaanku cepat selesai.

"Aku juga emang belum makan siang, loh, Mbem. Sengaja nungguin kamu," ucap Mas Ardian saat kami berjalan ke dapur.

"Kalau aku sampai sore?"

"Ya, kalau enggak tahan makan, lah. Daripada aku pingsan."

Tiba di dapur aku menyapa Bu Pur, Bu Mirna, dan Mbak Rani. Mereka tampak sibuk meracik isian soto di mangkuk.

Mereka menghentikan aktivitasnya sebentar saat kami mengobrol. Kemudian aku ajak makan sama-sama.

Ternyata mereka semua sudah makan siang. Bu Pur yang mengkoordinir. Aku jadi tenang. Bu Pur benar-benar bisa dipercaya.

Saat aku makan bersama Mas Adrian, Mbak Rani membacakan status WA Siska.

"Tetangga baru pelitnya minta ampun! Dibantuin dari pagi, cuma mau pinjam baju aja enggak dikasih!"

Kontan kami semua berpandangan. Kemudian aku jelaskan pada mereka kalau bajuku belum dibkngkar. Ya, aku tak sepenuhnya berdusta. Karena memang aku baru bongkar baju yang akan kupakai saja.

"Enggak usah dilayanin, Mbak!" pesan Mbak Rani. "Dia emang gitu orangnya. Mbak Nana pasti kaget, ya?"

"Hehehe, iya, sih, Mbak."

Melihat Bu Mirna, aku jadi teringat Pak Abas. Apa dia tahu kalau suaminya main curang dengan Siska?

Ah, sepertinya tidak. Wanita inj terlihat sangat bersahaja dengan wibawanya.

Menjelang Mahrib, kedua orang tua Mas Adrian datang. Sedang orang tuaku tak bisa datang karena tinggal di luar kota. Aku memang tak memaksa mereka datang karena usianya sudah cukup senja. Kasihan capai di perjalanan.

Semua persiapan untuk acara sudah beres. Setelah solat maghrib, aku, Mas Adrian, Bapak, Ibu, Bu Pur, Pak Pur, Bu Mirna, dan Pak Abas, duduk bersama di ruang keluarga. Kami berbincang-bincang ringan.

Tak berselang lama Siska datang menuntun anaknya yang berusia sekitar dua tahunan kira-kira. Wanita itu menyalami kami semua. Aku mengamati bagaimana saat dia bertemu Pak Abas yang sedang bersama Bu Mirna. Rupanya penggoda itu cukup pintar bersandiwara. Kedua manusia pengkhianat itu bisa bersikap sewajarnya.

Kami masih mengobrol panjang lebar. Anak Siska berjalan ke sana kemari memainkan bola plastik kecil yang dibawanya dari rumah. Bola itu dilemparnya kemudian diambil kembali. Tak sengaja bola itu dilempar ke pangkuan ibu mertuaku.

Kontan begitu anak itu mendekat, ibu mertua langsung meraihnya. Apalagi anak Siska memang cukup menggemaskan. Putih mirip ibunya.

"Siapa namanya?" tanya ibu mertuaku.

"Diva, Bu," jawab Siska dengan logat kemayu.

Begitu tahu namanya, ibu mertua langsung mengajak ngobrol ala bayi pada anak itu. Ibu terlihat sangat senang.

"Oh, iya. Mbak Nana udah berapa lama, nih, menikah?" tanya Siska. "Udah lama kan, ya, pastinya? Kok belum punya anak juga?"

"Belum dikasih, Mbak," jawabku berusaha santai. Karena jujur, pertanyaan itu salah satu pertanyaan yang sangat mengganggu. Karena urusan rezeki seperti anak itu diluar kendali manusia.

"Kasihan itu ibunya. Udah ingin sekali nimang cucu, loh, Mbak," ucapnya sok tahu.

"Nimang anak kamu dulu, lah, Mbak. Boleh, kan?" gurauku.

"Boleh, aja, sih. Tapi, apa Mbak Nana enggak ingin punya anak kayak aku?"

Aku tak menjawab. Kalimatnya sudah mulai terdengar tidak enak.

"Apa jangan-jangan ... Mbak Nana mandul?" lanjut Siska membuat kami semua menoleh ke arahnya.

Hah! Keterlaluan Siska!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status