Share

Tawaran Makan Malam

"Awas Mas Adrian! Berani dia menipuku!" geramku.

"Mbem!" panggil Mas Adrian sembari membenahi ikat pinggangnya.

Kontan aku langsung menatapnya tajam. Dadaku terasa terbakar saat ini.

"Ada apa?" tanyanya bingung sembari mendekatiku.

"Kamu bilang enggak kenal Siska?" tanyaku dengan nada tinggi. Rasanya dadaku akan meledak.

"Iya, benar," jawab Mas Adrian. "Kenapa?"

"Nih!" Kuserahkan ponsel di tanganku padanya. "Baca pesannya!"

Mas Adrian menurut. Ia membaca pesan dari Siska.

Lelaki berkemeja biru itu tampak mengingat-ingat sesuatu. Kemudian ia mengeklik foto profil kontak Siska.

"Oooh," ucapnya panjang. "Jadi dia namanya Siska?"

"Enggak usah sok polos kamu, Mas!" geramku.

"Loh, serius aku, Mbem! Aku baru tahu kalau dia namanya Siska."

"Baru tahu tapi udah bantuin dia?" pekikku.

"Loh, emang kalau bantuin orang harus tahu namanya?" Dia balik bertanya. "Mbem, Mbem! Kamu itu parno banget, deh! Cinta banget, ya, kamu sama aku? Sampai segitunya kamu cemburu!" godanya.

"Enggak lucu!" bentakku.

"Sini, Sayang! Duduk sini!"

Mas Ardian menarik lenganku untuk duduk di bibir ranjang.

"Dengerin ceritaku!" pintanya. "Beberapa hari lalu, pas mobilku di bengkel, pulang kerja aku ketemu dia di jalan masuk komplek," jelasnya. "Dia jalan kaki nuntun motor sambil gendong anaknya. Terus aku tanya, kenapa? Dia jawab, katanya kehabisan bensin. Ya, udah, karena kasihan ada ibu-ibu kehabisan bensin, nuntun motor plus gendong anak, aku spontan aja nawarin bantuan buat beliin dia bensin. Kalau kamu jadi aku, bakal gitu juga, kan, Mbem?"

"Iya, sih," jawabku terpaksa. "Tapi, kenapa kemarin kamu bilangnya enggak tahu Siska?"

"Ya, emang aku enggak tahu kalau nama dia Siska. Aku cuma beliin bensin di warung depan. Terus kasihkan ke dia, dia berterima kasih, udah! Gitu doang!"

"Kok, dia tahu kamu?" Aku masih belum puas.

"Yaelah, Mbem! Satu komplek juga pasti tahu aku, lah. Secara suamimu ini tampan kayak artis gini, semua orang pasti tahu, lah!"

"Ish! Pede!" sungutku, tetapi dalam hati aku lega mendengar penjelasan Mas Ardian.

Berarti Siska aja yang keganjenan. Baru aja dibantuin gitu udah baper. Sok mau ngedekatin suamiku. Ish! Kampungan!

"Emang iya, kan? Kalau aku jelek, mana mau kamu sama aku. Udah, akui aja kalau suamimu itu tampan, Mbem!" godanya.

"Iya, iya. Tapi awas aja kalau berani macam-macam! Aku kupas kulit wajahmu!"

"Ih, horor, deh, kamu, Mbem!"

"Hahahahaha. Biarin!"

"Eh, kok kamu belum siap, Mbem? Udah jam setengah tujuh, tuh!"

"Ah, iya. Siska, sih! Pagi-pagi bikin orang naik darah aja!"

"Kamunya aja, tuh, yang parnoan! Curigaan! Suami setia gini dituduh macam-macam!" sungutnya.

"Yee, coba posisinya dibalik! Kamu pasti lebih parah marahnya dari aku!"

"Iya, deh, iya. Makasih, ya, Mbem, udah cemburu gitu sama aku." Mas Adrian tersenyum lebar.

"Yee, males!"

"Awas kamu, Mbem!"

Mas Ardian menggelitik pinggangku. Aku sampai berteriak-teriak minta ampun.

Setelah siap dan tentu saja sudah memblokir nomor tetangga penggoda dari ponsel Mas Ardian, kami berangkat kerja. Kebetulan tempat kerja kami searah. Jadi, seringnya berangkat bersama.

Saat hendak melewati rumah Siska, sengaja kaca mobil aku buka penuh. Kepalaku bersandar di bahu Mas Adrian. Karena hampir setiap aku berangkat, Siska selalu ada di depan rumahnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Siska sedang duduk di kursi terasnya. Entah kebetulan atau bagaimana, saat mobil kami persis di depan rumahnya yang tak berpagar, ia berdiri terpaku memandangku.

Apalagi mobil nyaris berhenti karena ada polisi tidur. Jadi pemandangan aku bergelayut manja di bahu Mas Adrian, terlihat dengan jelas oleh Siska.

Heh! Jangan harap kamu bisa menyusup di antara aku dan Mas Adrian, Siska!

Sedikit pun aku enggak akan memberi celah!

"Sukses, ya, Buk, misinya?" goda Mas Adrian saat kami sudah melewati rumah Siska.

Aku terbahak mendengarnya. "Siapa suruh godain suamiku!"

"Hah! Aku benar-benar enggak salah pilih kamu jadi istri," ucapnya sembari menatapku beberapa saat. "Makasih, ya, Mbem! Love you!"

"I know."

Di kantor aku beraktivitas seperti biasa. Berkutat dengan angka karena posisiku staff acounting. Berbeda dengan Mas Adrian, setahun ini ia diangkat menjadi manager pemasaran.

Saat jam pulang tiba, biasanya kalau Mas Adrian tidak lembur, dia menjemputku. Namun, saat lembur aku pulang dengan taksi online.

Sore ini Mas Adrian bilang akan menjemputku. Jadi, sambil menunggunya, aku menyelesaikan tugas yang sebenarnya bisa dikerjakan besok.

"Belum pulang, Na?"

Aku menoleh saat mendengar Pak Ganesha bertanya.

"Eh, belum, Pak."

"Lembur?" tanyanya lagi.

"Enggak, kok. Sambil nunggu dijemput aja, Pak. Daripada bengong," jelasku pada atasanku itu.

"Oh, ya, sudah, aku duluan, ya!"

"Iya, Pak."

Tak berselang lama Mas Adrian sampai depan kantorku. Aku segera turun dan kami langsung pulang.

Tak lama setelah sampai rumah, terdengar suara orang mengetuk pintu.

"Mas, bisa minta tolong bukain pintu?" seruku sambil menggoreng ayam yang sebelumnya sudah aku rebus dengan bumbu dan kusimpan di kulkas.

"Ya," sahut Mas Adrian.

Sambil menunggu ayam matang, aku menata sambal dan lalapan di meja makan. Menu simpel untuk wanita bekerja sepertiku, tetapi Mas Adrian suka.

"Siapa, Mas?" tanyaku saat Mas Adrian datang.

"Siapa coba?"

"Mana aku tahu!"

"Nih!" Mas Adrian mengulurkan sekotak kue khas dari daerah yang ada di jawa barat.

"Dari siapa?"

"Coba tebak!"

Mas Adrian tersenyum jail.

Aku tahu. "Pasti Siska!"

Mas Adrian malah terbahak.

"Hih! Buang aja!" pekikku. "Jangan dimakan pokoknya! Siapa tahu udah diguna-guna!"

Aku langsung merebut kotak kue yang masih di tangan Mas Adrian. Kuambil kantong kresek kemudian memasukkan kotak itu ke dalamnya.

"Maaf, ya Allah. Aku enggak bermaksud membuang-buang rezekimu. Aku hanya ingin menjaga keluargaku," ucapku sambil memencet-mencet kue yang sudah berada dalam kantong. Kalau sudah tak berbentuk lagi, kan, tidak ada yang tahu kalau itu sebenarnya kue utuh.

"Harusnya kasihkan orang aja, loh, Mbem!" tegur Mas Ardian.

"Ah, iya, ya. Aku enggak kepikiran. Maaf."

"Ya udah, enggak apa-apa."

Aku jadi menatap kantong itu dengan sayang. Harusnya bisa jadi rezeki orang lain. Gara-gara emosi jadi aku hancurkan.

"Mbem, tahu enggak tadi Siska bilang apa?"

"Apa?"

"Mas, kalau istrimu enggak masak, makan malam di rumahku, ya!" ucap Mas Ardian sambil menirukan gaya bicara Siska.

"Kamu jawab gimana? Gila itu perempuan!"

Awas kamu, Siska! Benar-benar nantang perang kamu rupanya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status