Share

Makan Siang

"Mas, kalau istrimu enggak masak, makan malam di rumahku, ya!" ucap Mas Ardian sambil menirukan gaya bicara Siska.

"Kamu jawab gimana?"

"Ya aku jawab, maaf, Bu, istriku selalu masak."

"Kamu panggil dia Bu?" pekikku.

"Iya. Emang dia ibu-ibu, kan?" jawab Mas Adrian dengan wajah tanpa dosa.

Aku terbahak mendengarnya. Wanita seusia Siska, tentu keberatan dipanggil Bu. "Hahahahaha. Benar, benar! Terus dia gimana?"

"Aku disuruh panggil dia Siska aja. Aku bilang, itu enggak sopan. Apalagi kita, kan, pendatang baru."

"Terus, dia bilang gimana lagi?"

"Terus, terus!" sungut Mas Ardian. "Entar ujung-ujungnya kamu cemburu! Ngambek!"

"Tuh, kan, menghindar! Enggak mau jujur?" tuduhku.

"Heh! Dasar, Nyonyah! Awas, loh, kalau sampai akhirnya cemburu!"

"Ya, tergantung kamu, bikin aku cemburu apa enggak!" Aku tak mau kalah.

"Iya, deh, iya. Perempuan emang enggak pernah salah dan enggak mau kalah!"

"Udah! Enggak usah mengalihkan pembicaraan, deh! Dia ngomong apalagi?" tanyaku.

"Dia enggak percaya kalau kamu beneran masak."

"Kenapa?"

"Kamu, kan, bekerja. Biasanya perempuan bekerja, kan, jarang masak, kata dia."

"Terus kamu jawab gimana?"

"Hhm, rahasia!"

"Ih, Mas Ardiaan!" seruku sambil memukul lengannya. "Awas, ya!"

Mas Ardian terbahak-bahak. Dia terlihat puas sekali membuatku kesal seperti ini.

"Udah, ah, Mbem! Aku mau makan, lapar, nih!" keluhnya.

"Enggak boleh!" ketusku.

"Jahat banget, deh, Mbem!" Mas Ardian pura-pura merajuk.

"Habisnya ditanya serius malah gitu!" sungutku.

"Ya udah, deh, aku makan di rumah Siska aja."

"Mas!" teriakku panjang. "Awas kamu, ya!" Kucubit pinggangnya dengan keras.

"Auw! Sakit, Mbem! Kejam banget, deh!"

"Mas nyebelin!" Akhirnya aku merajuk meninggalkan Mas Ardian di meja makan.

Kuabaikan Mas Ardian yang memanggilku berkali-kali. Bagaimanapun ada perasaan galau mengetahui ada perempuan yang berusaha menggoda Mas Ardian.

Terlebih itu tetanggaku sendiri. Walaupun perempuan itu sudah punya anak, tetapi badannya masih bagus. Wajahnya juga cantik, mirip Zaakia Gotik.

Tiba-tiba perasaan minder datang begitu saja. Sebagai wanita aku merasa tidak sempurna. Karena sudah lima tahun menikah, belum dipercaya mengandung juga. Sedang Siska, dia sudah terbukti bisa punya anak.

"Mbem! Kok malah ngambek beneran, sih?" Mas Ardian mengekoriku ke kamar.

Aku masih diam berusaha mengatasi kegalauan yang datang tiba-tiba ini.

"Mbem!" Mas Ardian mambalik tubuhku yang sudah berdiri di depan ranjang. "Kok, malah ngambek, sih? Jelek, deh! Aku, kan, cuma bercanda!"

Bibirku masih terkunci. Tiba-tiba saja aku jadi merasa lemas.

"Mbem, maaf!" rengek Mas Ardian. "Aku, loh, cuma bercanda. Mana mungkin aku mau makan di rumah Siska. Udah, dong, Mbem, ngambeknya! Aku lapar, nih!"

"Udah, ah! Aku mau tidur." Aku menyingkirkan tangan Mas Adrian yang memegangi bahuku. Kemudian menuju ranjang. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku.

Mas Ardian ikut naik ke ranjang. Kemudian memelukku dari belakang. "Mbem, kamu tega, deh!" rengeknya.

"Ya udah, sana kalau kamu mau makan. Kan, udah aku siapin juga di meja." Akhirnya aku berbicara juga.

"Aku maunya makan sama kamu, Mbem. Enggak enak makan sendiri," rengeknya lagi.

"Ya udah, telpon Siska aja suruh nemenin!" ketusku.

"Yah, Mbem! Kok, kamu gitu, sih? Aku, kan, tadi cuma bercanda. Ayo, lah, Mbem!"

"Gah!"

"Ya udah, kamu tega, nih, ya, biarin suami tidur kelaparan?" rengek Mas Ardian.

"Tinggal makan, loh, ah! Ribet banget, sih!" sungutku.

"Aku maunya makan sama kamu, Mbem!"

Aku diam malas menanggapi. Karena aku tahu, Mas Ardian tidak akan menyerah sebelum aku luluh.

"Mbem, aku ambil makanan bawa ke sini, ya? Tapi kita makan sama-sama. Sepiring berdua, gimana?" rayunya.

"Hm."

"Asyik! Tunggu, ya?"

Mas Ardian langsung melesat mengambil makan malam kami. Maklum saja, begitu sampai rumah kami memang belum makan apa-apa. Karena kalau ngemil dulu, biasanya jadi malas makan.

Sejurus kemudian, Mas Ardian datang dengan sepiring penuh nasi, sepiring ayam goreng lengkap dengan lalapan, dan dua gelas besar air putih.

"Nah ...," ucapnya sembari menaruh nampan yang dibawanya ke kasur. "Aku suapi, ya, Mbem?"

Aku beringsut bangun dari posisi berbaring. Kemudian kami makan sepiring berdua sambil bercanda.

***

Pagi hari aku membuat roti bakar untuk sarapan. Kami menikmatinya dengan segelas susu.

"Mas, gimana besok, ya? Kira-kira siapa ya yang bisa bantu-bantu kita?"

Aku membahas soal persiapan buat acara tasyakuran menempati rumah ini. Walaupun sudah kami tempati satu mingguan ini, tetapi kami belum mengadakan acara tasyakuran, karena belakangan ini cukup sibuk. Jadi rencananya besok Sabtu malam Minggu kami akan adakan tasyakurannya.

Namun, ternyata Sabtu besok aku harus lembur karena akan ada pertemuan para pemegang saham hari seninnya. Padahal segala sesuatunya sudah kami pesan untuk hari itu.

"Emh, gimana kalau minta bantuan Bu Pur aja buat atur semuanya?" usul Mas Ardian.

"Boleh, deh. Nanti pulang kerja, kita langsung ke sana, ya!" ajakku.

"Siap!"

Seperti biasa, kami berangkat kerja bersama. Namun, pagi ini Siska tak ada di terasnya seperti sebelumnya.

Lucu, aku malah jadi ikut-ikutan memperhatikan wanita itu. Namun, memang harus, sih. Aku tak mau sampai kecolongan.

Begitu tiba di kantor, aku berkutat dengan pekerjaan seperti biasa. Lalu jam istirahat, Lisa mengajakku makan siang di resto seberang kantor.

Sebelum keluar kantor, seperti biasa kami ke toilet untuk merapikan diri. Kusapukan lagi lipstik warna nude ke bibir tipisku. Kemudian menempelkan tisu wajah, agar wajah glowingku tak berminyak.

Perpaduan blazer warna merah cabe dan celana panjang warna hitam serta pasmina hitam, membalut tubuh padatku. Kakiku terlihat semakin jenjang dengan sepatu runcing depan dengan hak 3 cm.

Sebenarnya secara berat badan aku tak gemuk. Berat 58 kg ideal saja kalau dibandingkan tinggiku yang sekitar 165 cm. Hanya saja memang pipiku agak cuby makanya Mas Ardian suka gemas dan memanggilku "Mbem" singkatan kata tembem versi Mas Ardian.

"Yuk, Lis!" ajakku setelah merasa penampilanku sempurna.

"Yuk!"

Kami berjalan kaki menuju resto tersebut. Begitu tiba langsung memesan makanan yang menjadi primadona resto tersebut, yaitu berbagai olahan seafood.

Aku mendengarkan cerita Lisa yang sedang membicarakan Pak Ganesha. Manager kami yang berstatus duda di usia yang cukup muda. Namun, suara Lisa seolah tak terdengar lagi saat aku melihat Siska memasuki resto bersama Pak Abas, suami dari Bu Mirna tetanggaku juga. Mereka tampak begitu mesra. Pak Abas tersenyum lebar sembari merangkul pundak Siska.

"Ya ampun, Siska!" Aku benar-benar tak menyangka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status