Share

Tetangga Penggoda
Tetangga Penggoda
Author: Srirama Adafi

Pesan dari Siska

"Mbak Nana, aku minta nomor hp Mas Adrian, ya?" pinta Mbak Siska sambil mencolekku saat kami berbelanja di warung Bu Silvi.

"Nomor Mas Adrian?" tanyaku heran. "Mau buat apa, Mbak?"

"Eh, itu, anu, maksudku, suamiku yang minta, Mbak," jelasnya sambil menggaruk kepala. "Katanya mau ngajak main badminton besok minggu." 

"Oh," sahutku. 

Meski dalam hati aku masih merasa aneh dan instingku mengatakan ada yang janggal. Namun, demi menjaga hubungan baik dengan tetangga baru, kuberikan juga nomor Mas Adrian.

"Makasih, loh, Mbak. Mbak Nana emang baik, deh. Udah baik, cantik lagi," pujinya dengan wajah cengar-cengir.

"Ah, bisa aja, Mbak. Ya, sudah, aku duluan, ya!" pamitku.

"Iya, ati-ati, Mbak!" seru Mbak Siska saat aku sudah di atas motor.

Sepanjang perjalanan ke rumah, aku tetap merasa janggal. Ada perasaan tak suka pada Siska. 

Benarkah suaminya yang minta nomor Mas Adrian? Tapi, kenapa enggak minta sendiri saja?

Tiba di rumah, Mas Adrian tampak sedang membongkar kardus berukuran besar. Di sampingnya terdapat tumpukan buku.

"Udah pulang, Mbem?" tanyanya saat menyadari kedatanganku. "Kok, wajahnya ditekuk gitu? Kenapa, Sayang?"

Lelaki berkaos cokelat itu menatapku.

Aku langsung menaruh kantong belanja di samping meja, kemudian menghempaskan diri ke sofa.

Mas Adrian beranjak dan duduk di sampingku. "Kenapa? Ada yang gangguin kamu?"

Aku menghela napas kasar. Kemudian menoleh cepat pada Mas Adrian.

"Tadi ada perempuan yang minta nomor hp kamu," ucapku sebal.

"Siapa?" Mas Adrian mengernyitkan dahi.

"Siska. Emang kamu kenal dia?" tanyaku dengan nada curiga.

Mas Adrian menggeleng dengan raut bingung. "Yang mana, sih, orangnya?"

"Cantik. Mirip Zaskia Gotik," jawabku sewot.

Mas Adrian malah terbahak. "Masa, sih? Emang ada orang sini yang mirip artis?"

"Hhm, awas, ya, kalau sampai kamu macam-macam!" 

"Yaelah. Parno banget, deh, istri Mas ini," ucapnya sambil mencubit gemas pipiku. "Lagian, ngapain dikasih, kalau kamu enggak rela, sih, Mbem? Cari penyakit aja!"

"Nah, dia bilangnya suaminya yang minta."

"Terus ngapain kamu sewot? Orang yang minta suaminya? Aduh, sini, Sayang, sini!" Mas Adrian merengkuhku. Menaruh kepalaku di dada bidangnya. "Dengerin aku baik-baik!" 

Aku menghembuskan napas kasar dan masih bertahan dengan wajah kesal.

"Buat aku, aku itu udah bersyukur banget punya istri seperti kamu. Udah cantik, pinter masak, pinter nyenengin suami. Bodoh banget kalau aku sampai main gila sama wanita lain. Percaya sama aku, Mbem! Aku janji, kamu satu-satunya wanita yang aku cintai."

"Tapi, aku sering baca cerita rata-rata laki-laki mudah tergoda!" Aku masih saja kesal.

"Memang ada yang begitu, tapi enggak semua. Misal dalam satu keranjang ada lima apel busuk, itu bukan berarti semua apel di keranjang itu busuk, kan?"

"Tapi, kan, bisa ketular busuknya!" debatku.

"Iya, mungkin saja kalau dekat-dekat sama yang busuk. Itu sebabnya, agama kita mengajarkan agar kita memilih orang untuk dijadikan teman. Kalau berteman dengan orang baik, mau enggak mau pasti kita bakal ikutan baik. Begitu juga sebaliknya. Setuju, enggak?"

Aku mengangguk.

"Sekarang, kamu lihat teman-temanku, orangnya kayak gimana?" tanyanya.

"Baik-baik, sih."

"Nah, makanya kamu enggak usah parno gitu, ya! Insya Allah, suamimu ini bisa jaga diri. Karena aku juga enggak mau kalau kamu sampai macam-macam di belakangku."

Wajah kesalku perlahan memudar mendengar perkataan Mas Adrian.

"Aku pernah dengar ceramah salah satu ustaz, Mbem. Katanya gini, jagalah kesucian kehormatan kemaluan kalian, maka Allah akan jaga kesucian kehormatan kemaluan pasangan kalian. Paham, kan, maksudnya?"

Aku mengangguk dengan hati lega. 

"Makanya, Mbem, aku enggak akan macam-macam di belakangmu. Karena aku enggak mau kamu begitu juga."

"Makasih," ucapku sembari tersenyum menatapnya.

"Gitu doang?"

"Apaan lagi emangnya?" candaku.

"Ih, kamu mah enggak peka!" protes Mas Adrian.

"Apaan?" 

Akhirnya sore itu kami lalui dengan bercanda. 

Lima tahun menjadi istri Mas Ardian, aku benar-benar merasa begitu bahagia. Meskipun, sampai saat ini Allah belum mempercayakan kami buah hati, tetapi kami tak pernah mempermasalahkan itu. Keempat orang tua kami pun begitu.

Karena anak adalah rezeki dan itu hak prerogatif Allah. Sebagai hamba, kami hanya bisa berusaha. 

Aku melihat jam di dinding sudah menunjuk angka empat saat terdengar suara orang mandi. Tentu itu Mas Adrian, karena di sebelahku sudah tak ada dirinya.

Aku menyibak selimut, kemudian turun dari ranjang. Segera kurapikan tempat tidur kami.

"Buruan mandi, Mbem!" titah Mas Adrian begitu keluar dari kamar mandi.

Seperti biasa setelah mandi dan solat subuh, aku menyiapkan makanan untuk sarapan. Sementara Mas Adrian menyapu dan mengepel. Kami memang selalu kerjakan pekerjaan rumah bersama-sama.

Pagi ini kusiapkan nasi goreng ayam kesukaan Mas Adrian. Lelaki itu memakannya dengan lahap.

"Aku nambah, ya, Mbem?" pintanya.

"Nanti ngantuk, loh, Mas, kalau kekenyangan!" tegurku.

"Ya, udah. Jadiin bekalku aja, ya!" 

"Oke, deh."

Setelah sarapan dan menyiapkan bekal untuk Mas Adrian, aku ke kamar. Mengganti baju dengan seragam tempatku bekerja.

Saat aku mematut diri di depan cermin, ponsel Mas Adrian berdenting. Sepertinya ada pesan masuk.

"Siapa, ya, pagi-pagi begini?" Aku bicara sendiri. Karena Mas Adrian sedang melakukan ritual di toilet, aku membuka pesan tersebut.

[Met pagi, Mas Adrian.]

[Ini nomor Siska, disimpan, ya!]

[Makasih, ya, bantuannya kemarin.]

Bantuan? Bantuan apa?

Jadi, Mas Adrian sudah kenal sama Siska? Kenapa kemarin dia pura-pura enggak tahu?

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status