“Apa yang harus kulakukan?” bisik Angelina yang sedang tertegun di depan lemari pendingin sekarang.
Pikiran Angelina kembali membawanya mengenang tentang hari-hari yang dia lalui bersama Adam. Dia benci mengakuinya, tetapi dia memang merindukan pria itu. Makhluk arogan yang sukses memorak-porandakan dunianya. Andai saja sang CEO itu...
“Sudahlah. Lupakan manusia sombong itu,” gerutu Angelina lagi.
Angelina mulai menyibukkan diri pada barang-barang yang baru dibelinya tadi—memisahkan dan menyusun bahan makanan—ke dalam rak pantri, lantas duduk di dekat jendela yang langsung mengarah ke halaman belakang. Ada taman mini yang dilengkapi oleh kolam air mancur serta sejumlah tanaman pionir berukuran sedang berordo
“Kau lagi?” sungut Angelina yang terkejut dengan kehadiran Adam di depan pintu rumahnya siang itu.“Apa maksudmu aku lagi?” balas Adam yang menukikkan satu alisnya ke atas.Angelina melipat kedua tangannya di dada dan memalingkan wajahnya ke samping, “Sungguh, kau orang yang tidak tahu malu. Bukankah kau benci padaku? Bukankah aku wanita gagal? Kau juga yang mengusirku tempo hari.”“Temani aku makan siang di luar,” pinta Adam tanpa memedulikan ucapan Angelina sebelumnya.“Bermimpilah, Tuan Ford.”“Temani aku makan siang di luar sekarang,” ulang Adam dengan nada ketus.&nbs
Suara entakkan pintu yang terbuka dengan kasar terdengar menyeruak di antara suasana hening yang membungkus Adam. Dia menoleh ke asal bunyi dan mendapati Kate yang sedang disulut emosi berjalan menuju ke arahnya. Wanita itu terlihat marah—kedua alisnya berkumpul di tengah-tengah dan bibirnya mengerucut seperti buah plum kering—siap meledak kapan saja.“Apa yang kau lakukan, Adam? Mengapa kau membekukan kartu kreditku?” hardik Kate yang memprotes sambil menunjuk-nunjuk wajah Adam.Kening Adam spontan berkerut bingung. Dia mengalihkan pandangannya kembali dan menenggak minuman keras yang dipegangnya sejak tadi, lantas tersenyum lebar pada Kate. Pria itu tengah berada di bawah pengaruh alkohol—mabuk berat—dalam beberapa hari belakangan.&ldqu
KRING!Bunyi pesan masuk itu berdering satu kali—pendek dengan getaran yang juga singkat—di atas ranjang Angelina. Dia terbangun sebab suara yang baru saja masuk tadi langsung membuatnya tersentak dari lelap panjangnya. Wanita itu mengucek-ngucek mata, lantas mengecek layar telepon selulernya.Angelina memandang nomor asing itu dengan tatapan heran. Dia menekan tombol sentuh yang diprogram khusus untuk terbuka secara otomatis ke dalam bagian aplikasi. Kerutan di keningnya bertambah lebih banyak sekarang.[Pagi yang mendung. Sebentar lagi iklim akan berganti menjadi musim dingin, bukan?]“Siapa yang membahas cuaca di pukul lima pagi?” sungut Angelina yang merasa kesal karena waktu tidurnya terganggu.
Adam tertegun di depan pintu kediaman Angelina sekarang. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Lampu-lampunya mati bersama jejak kekosongan yang kian lama kian tinggi memanjati atmosfer di sekelilingnya.“Angelina?” panggil Adam yang kembali mengetuk untuk kelima kalinya, lantas menekan tombol bel dengan kasar.Adam yang merasa kesal sebab Angelina masih belum menyahut, apalagi membukakan pintu untuknya pun menendang kosen hingga aksi itu mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan kedua telinganya sendiri. Dia seketika mengumpat pada kenop yang kondisinya sudah rusak tersebut.“Sial! Mengapa masih belum terbuka juga? Angelina? Angelina?” pekik Adam yang berkacak pinggang sambil menunggu wanita yang ingin dia temui keluar mengomelinya.
“Jadi, apa kau suka apartemenku?” tanya Saga setelah mereka baru saja tiba di kediaman miliknya.Angelina masuk dan mulai melihat-lihat situasi di sekelilingnya dengan tatapan takjub. Dia pun mengangguk, lantas duduk di atas sofa bergaya country yang diletakkan di dekat jendela untuk mengistirahatkan diri. Wanita itu melakukan aksi peregangan karena punggungnya terasa penat.“Apa kau lelah? Kau boleh tidur di kamarku.”“Kamarmu? Apa kau tidak punya kamar lain?”“Ada, tetapi masih belum dibersihkan. Aku akan menyewa jasa pembersih nanti sore. Kau boleh menempatinya untuk sementara.”
“Apa kau masih merasa mual?” tanya Saga lewat panggilan yang terhubung ke Angelina malam itu.“Hanya dua atau tiga kali, tetapi aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.”“Aku akan pulang dua jam lagi. Kondisi di klinik memang cukup sibuk tadi dan ada operasi kecil untuk seekor anjing yang menjadi korban tabrak lari. Jadi, aku baru punya waktu untuk meneleponmu.”“Apa anjingnya selamat?” balas Angelina yang terkejut setelah mendengar kabar itu.“Ya. Aku akan memastikan dia tetap stabil dalam beberapa hari ke depan.”“Kau sangat sibuk, hm?”
“Angelina?” panggil Saga yang baru saja kembali dan menyusun sepatunya ke dalam rak di dekat pintu.“Angelina? Apa kau di kamar?” tanyanya lagi setelah tak kunjung mendengar jawaban.Saga kemudian beranjak melangkah ke kamar tamu yang ditempati oleh Angelina sekarang. Dia ingin mengecek dan memastikan kondisi wanita itu selepas seharian penuh berkutat dengan pekerjaannya—membuat dirinya otomatis terabai sendirian—dalam gejala morning sickness yang dia alami.Sorot mata Saga menangkap bayangan Angelina yang sedang mendengkur halus di bawah gumpalan selimut—meringkuk seperti huruf ketiga dari alfabet Latin—dengan kelopak mata sembap. Dia
“A-apa? Apa yang kau katakan?”“Biarkan aku yang menjadi Ayah dari bayi yang ada di dalam perutmu, Angelina. Aku akan bertanggung jawab pada kalian,” tekan Saga sekali lagi.“Itu mustahil!” sergah Angelina dengan intonasi yang lantang.“Mustahil? Bukankah kau—”“Tidak, Saga. Itu tidak akan pernah terjadi karena dia masih punya Ayah.”“Apa?” sahut Saga yang spontan bangkit dan berdiri ke hadapan Angelina.“Ya. Dia punya Ayah,” balas Angelina yang merasa kepalanya mendadak pening.