"Cinta datang tanpa peringatan, dari luka yang tak pernah sembuh dan dari musuh yang tak seharusnya disentuh." (Sunrise White)
--- Crown's Hotel and Suites, Zurich-Switzerland. Hampir tengah malam, pukul 23.35. Swiss telah memasuki musim dingin, udara di luar nyaris membeku. Seorang lelaki berpostur tinggi dan gagah berjalan lelah menyusuri lantai lorong hotel yang sunyi, sambil menahan dingin telapak tangannya di balik coat luxury hitamnya yang dilapisi bulu domba terbaik. Menunjukkan siapa pemiliknya tanpa perlu orang bertanya. Khairen Crown, seorang old money, pewaris tunggal Crown's Company yang artinya pemilik hotel mewah ini. Room 1101, Presidential Suites. Khairen, mengeluarkan Mastercard Privilege dari dalam sakunya. Menempelkannya pada ganggang pintu yang otomatis membuka segel pintu kamar yang jarang dihuni. Ia mendorong pintu dengan sedikit lelah karena jetlag. Perjalanan bisnis yang panjang membuatnya ingin segera merebahkan badan. Namun, tanpa ia sadari. Sejak tadi, ada seorang wanita misterius yang terus mengintainya dari kejauhan, membuntuti dengan langkah hampir tanpa suara. Khairen baru melangkahkan kaki ke dalam kamar, segera wanita misterius tadi berjalan cepat menuju kamar yang masih belum sempat tertutup. Ia mendorong kuat pintu tersebut dengan kakinya. Pintu kamar hotel terbuka dengan kasar, membentur punggung Khairen dengan sangat keras hingga membuatnya terkejut dan hampir tersungkur. Khairen berbalik, menegakkan kembali tubuhnya, ia memicing mencoba mengenali sosok yang telah lancang dan brutal masuk ke dalam kamarnya. Seorang wanita bertubuh tinggi berdiri di ambang pintu. Sorot matanya dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian yang mendalam, tersembunyi di balik masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Rambut pirangnya yang panjang dikuncir dengan rapi, memperlihatkan garis-garis wajahnya yang tegas. Dia mengenakan pakaian one set hitam yang ketat, menyembunyikan tubuhnya yang proporsional dan sexy. Belum sempat Khairen bicara, wanita itu langsung menyerang Khairen yang berdiri di depannya, tamparan keras menghantam pipi Khairen dengan suara yang nyaring. Menciptakan jiplakan jari merah di wajah tampannya. Rambutnya yang hitam dan tersisir rapi ke belakang pun berantakan, menutupi dahinya yang lebar. "Bajingan!" teriak wanita itu dengan penuh kebencian, suaranya menggema di ruangan hotel yang mewah. Tinjunya membabi buta, menghantam dada dan wajah tampan Khairen tanpa ampun, hingga membuat tubuh tegap Khairen tersungkur ke lantai. "Ini balasan untuk lelaki brengsek yang berani menyentuh dan mempermainkan adikku!" pekiknya yang kemudian menindih dada Khairen dengan lututnya. Khairen terkejut, tapi tidak melawan. Dia hanya menatap sang wanita dengan sorot mata tajamnya yang tenang, tanpa ekspresi di wajah tegasnya. Namun, ada sesuatu yang terlintas di pikirannya, sesuatu yang membuatnya penasaran tentang sosok wanita brutal yang menghajarnya tanpa ampun dan tanpa alasan. "Berani kau menyentuhnya lagi, aku tak segan menghabisimu!" ancamnya penuh tekanan dengan melayangkan satu pukulan lagi di hidung Khairen yang menjulang tinggi dan tegas. Setelah puas, wanita itu berhenti menghajarnya. Dia menatap Khairen dengan mata yang masih menyala, lalu berdiri dan berbalik. Berjalan pergi dengan langkah tegap, seolah-olah dia telah memenangkan pertarungan. "Dasar pengecut!" umpatnya dengan nada penuh kebencian, sebelum menghilang di balik pintu. Khairen hanya bisa menontonnya pergi dengan pikirannya yang masih kacau, ia pun tersenyum samar penuh arti. Khairen tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkannya pergi begitu saja. Dia mencoba untuk bangkit perlahan, meringis menahan perih di wajahnya. Darah segar pun menetes dari hidungnya yang mancung. Ia berjalan menuju cermin di kamarnya, mencoba untuk memeriksa wajahnya yang babak belur. "Dia sangat barbar!" umpat Khairen namun dengan senyum tipis. Sementara itu, di luar kamar, wanita tadi berhenti sejenak lalu melihat nomor kamar di pintu. Ia mengeluarkan ponselnya untuk membalas pesan singkat yang dikirimkan adiknya tadi. ("Aku baru saja selesai menghajarnya! Awas saja jika kau kembali berulah, kau yang akan kuhajar!") balasnya di pesan singkat. Seketika wajahnya berubah menjadi pucat pasi ketika dia menyadari bahwa dia telah salah masuk kamar. Di pesan terakhir adiknya tertulis nomer 1011. ("Kak, sekarang dia ada di Crown's Hotel and Suites, kamar 1011!") "1011?!" gumam wanita itu dengan mata birunya yang terbelalak. Dia merasa seperti telah melakukan kesalahan besar, kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Kembali menatap nomer kamar di depannya, 1101. Ia menelan ludahnya paksa. "Oh no..." bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. Tanpa banyak berpikir, ia langsung berlari menuju lift, wajahnya penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Dia tidak ingin bertemu lagi dengan lelaki yang sudah dibuatnya babak belur, dan tidak ingin menjelaskan apa-apa. Jarinya yang dingin menekan tombol lift berkali-kali dengan panik. Ketika lift tiba, ia langsung masuk dan kembali menekan tak sabaran tombol lantai dasar dengan jari yang bergetar. Dia tidak berani menoleh ke belakang, takut melihat lelaki tadi mengejarnya. Jantungnya benar-benar bertalu cepat, melihat angka di layar lift yang seperti bergerak lamban menuju lantai dasar. Sedangkan Khairen masih tersenyum di depan cermin, melihat kebodohannya sendiri yang justru terpesona pada wanita aneh yang baru saja menghajarnya. Wanita aneh berambut pirang bermata biru yang justru meninggalkan kesan istimewa pada dirinya. Dan dia tidak sabar untuk mengetahui siapa wanita itu sebenarnya. Setelah beberapa saat termenung di depan cermin, Khairen berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya. Dia menekan nomor yang tertera di layarnya. "Berikan aku rekaman CCTV sepuluh menit yang lalu dari waktu sekarang, di seluruh sudut hotel tanpa terkecuali!" perintahnya tegas dan dominan pada seseorang di seberang teleponnya. Dia tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit kepuasan. "Wanita yang menarik!" katanya pada dirinya sendiri, sebelum membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dia yakin bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan belaka. Dan malam yang beku itu telah menyalakan api yang tak akan mudah padam bagi keduanya.Langkah Khairen yang berat akhirnya menghilang di balik pintu sky lounge. Hening kembali menguasai ruangan luas itu. Sunrise berdiri terpaku, tubuhnya gemetar, seolah udara di sekeliling tiba-tiba menjadi hampa. Kata-kata Khairen barusan masih berputar di kepalanya, menghantam dada berkali-kali.Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah juga. Ia meremas pagar pembatas lebih erat, punggungnya sedikit membungkuk menahan sesak. Rasanya lebih sakit dari yang ia bayangkan ketika ucapan itu terlontar dari mulut Khairen. Ia ingin berteriak melampiaskan semuanya.Namun, ia sadar, ini kantor. CNC Tower, gedung yang selalu dipenuhi mata-mata, telinga-telinga tajam, serta politik yang kejam. Sunrise buru-buru menghapus air matanya, menarik napas panjang beberapa kali, lalu berdiri tegak. Ia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di tempat ini. Tidak di hadapan siapa pun.“Profesional, Sunrise. Ingat, profesional,” bisiknya pada diri sendiri.Ia membenarkan letak rambutnya, menyapu wajah dengan
Rapat dewan direksi bubar, tapi gemanya masih riuh di seluruh gedung CNC. Rumor tentang pergantian kursi direksi teknologi menyebar lebih cepat daripada email resmi perusahaan.Di lantai divisi teknologi, suasana riuh bukan main. Beberapa karyawan tampak bersorak kecil, berbisik sambil menahan senyum. Ada pula yang muram, khawatir akan perubahan yang terlalu drastis.“Tuan Steve benar-benar direksi baru kita?” bisik seorang analis data pada rekannya.“Ya. Katanya dia orang yang ahli di bidang teknologi. Pernah kerja sama dengan perusahaan besar di London.” sahut staf lainnya.“Kalau benar, ini bisa jadi peluang baru buat kita. Siapa tahu lebih modern dibanding gaya konservatif direksi selama ini.” timpal staf yang lain.Sunrise berjalan melewati kerumunan itu dengan langkah mantap, meski wajahnya dingin. "Jadi ini tujuan permainan Steve? Menduduki jabatan strategis di CNC. Mendapatkan dukungan para karyawan. Dan perlahan mulai meruntuhkan posisi Khairen?" Di dalam dadanya, badai berp
Tower Pusat CNC dipenuhi suasana tegang. Langkah-langkah kaki para direksi terburu-buru, sekretaris berlarian membawa map-map tebal, dan aroma kopi kuat menyeruak dari pantry lantai eksekutif. Jam besar di lobi berdentang pelan, menandai pukul delapan kurang lima menit.Di ruang kerjanya, Khairen berdiri menatap kaca besar yang memperlihatkan jalan masuk khusus VIP tower CNC. Refleksi wajahnya di permukaan kaca dingin, wajah seorang lelaki yang dipaksa untuk selalu tenang, meski hatinya sedang berperang. Menunggu gelisah kedatangan mobil Steve yang membawa Sunrise.Nick menatap jam tangannya. “Tuan, rapat dewan direksi dimulai lima menit lagi.”Khairen mengangguk tanpa menoleh. Tatapannya tetap terpaku pada pintu masuk. Setelan jas hitamnya sempurna, tapi ada ketegangan di bahunya. Ia menarik napas panjang, menahan denyut sakit di dadanya. Dan akhirnya memilih untuk beranjak pergi.Namun, sebelum langkahnya diayunkan, sebuah laporan lain muncul dari perangkat komunikasi Nick.“Tuan, m
Tower Pusat CNC, di ruang kerjanya, Khairen duduk di kursinya dengan mata tajam menatap layar tabletnya. Titik GPS dan rekaman CCTV di dalam mobil Sunrise terpampang jelas. Napasnya dalam, ritme stabil tapi dingin.Nick berdiri tegak di sampingnya, memberi laporan. “Tuan, kami mendapat rekaman tambahan. Nyonya terlihat bersama Steve menuju kemari.”Kata itu membuat udara di ruangan seakan membeku.Khairen menoleh pelan. Tatapannya tajam, menusuk seperti belati.Nick menelan ludah. “Nyonya tidak dipaksa. Ia keluar dari mobilnya sendiri dan masuk ke mobil Steve. Sopir Steve yang membawa mobil Nyonya, sementara Steve mengemudi sendiri.”Gigi Khairen terkatup rapat, urat rahangnya menegang. Ia menggeser kursinya mendekat ke layar, memutar ulang rekaman yang ditangkap tim pengintainya. Benar. Sosok Sunrise keluar dari mobilnya, wajahnya tenang tapi tegas, lalu melangkah masuk ke mobil Steve tanpa paksaan.Ada detik kecil ketika Sunrise menoleh sekilas, seakan ragu. Tapi setelah itu, pintu
Udara pagi yang harusnya menenangkan justru berubah menjadi pengap saat sosok Steve muncul dari mobil hitamnya.Sunrise membeku di balik setir, jemarinya mencengkeram kuat lingkar kemudi. Detak jantungnya memacu cepat, bercampur antara marah, takut, dan bingung."Steve? Untuk apa kau di sini?" geram Sunrise sambil menurunkan sedikit kaca mobilnya.“Keluar, Sunrise.” Suara Steve tenang, tapi penuh tekanan. “Mulai hari ini, kita akan menjalankan peran sesuai kesepakatan.”Mata Sunrise membelalak. “Kesepakatan?!” suaranya bergetar penuh amarah.Steve tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat Sunrise ingin menamparnya. “Kau tidak sedang berpura-pura lupa kan? Kau tahu betul permainan ini sudah dimulai sejak kau menyetujuinya kemarin. Hari ini, babak pertamanya dimulai.”Sunrise menegakkan tubuhnya, sorot matanya tajam. “Jangan kira aku tidak tahu! Kau yang masuk ke apartemenku semalam, kan? Kau yang mengacak-acak semua barangku dan mengambil dokumen kontrak itu!”Mendengar itu, Steve te
Khairen menutup pintu mobil, tubuhnya bersandar lelah di kursi. Sorot matanya yang tadi hangat kini memudar menjadi gelap. “Siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.Nick menoleh sekilas sebelum mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Ia melesatkan mobilnya meninggalkan apartemen Sunrise.“Kami harus memastikan lewat hasil lab. Tapi, pola sidik jari ini cocok dengan data lama dari salah satu database internal Crown Group.”Khairen menyipitkan mata. “Internal? Maksudmu—”“Ya,” potong Nick pelan, nadanya hati-hati. Nick menahan napas sejenak. “Kemungkinan besar, orang dalam.” sambung Nick yakin. Karena hanya orang dari internal yang bisa menembus sistem keamanan seluruh properti milik Crown's.Keheningan menggantung di udara mobil. Khairen memejamkan mata sebentar, mencoba menahan denyut sakit di pelipisnya, tapi bayangan wajah Sunrise yang pucat di apartemen tadi terus menghantui.“Cari tahu siapa pelakunya,” perintah Khairen akhirnya. “Dan pastikan dia tidak bisa menyentuh Sunrise lagi.”Nick