Setibanya di ruangannya, Sunrise membuka laci. Tangannya gemetar saat meraih dokumen, ponsel, dan kunci mobil. Ia menjejalkan semuanya ke dalam tas, lalu menyambar mantel hitam dari sandaran kursi.
Jantungnya masih berdentum keras. Bukan karena takut. Tapi karena kesakitan. Emosinya tak lagi terbendung, ia butuh pergi. Sekarang juga.Matanya masih merah, dadanya sesak oleh gejolak yang belum reda. Ia keluar dari ruangannya dengan langkah cepat, menyambar setiap napas yang tertinggal di lorong lantai CNC.Basement kantor hampir kosong ketika Sunrise membuka mobil putih miliknya. Malam Zurich masih berselimut kabut tipis, menyelimuti kota seperti selimut dingin yang menusuk hingga tulang.Mesin mobil meraung saat ia menekan pedal gas. Ia ingin pergi sejauh mungkin dari kantor, dari Khairen, dari kontrak yang menyeret harga dirinya ke dasar.Ia mengemudi menuruni jalanan berliku menuju pegunungan kecil di pinggiran kota. Langit di atasnya kelabu. Lampu jalan temaram“Nick, berikan kuncinya!” perintah Khairen tegas.Tanpa banyak bicara, Nick mengangguk dan menyerahkan kunci mobil berwarna hitam, lengkap dengan seluruh dokumen kendaraan kepada Sunrise.“Semuanya sudah atas nama Nyonya,” ucapnya sopan.Sunrise menatap buku kecil kepemilikan kendaraan itu. Namanya tertera jelas di halaman pertama. Meski hatinya berat, ia akhirnya menerima pemberian itu dengan sorot mata tak percaya.“Aku akan menerimanya, tapi aku tetap ingin mengangsurnya. Setiap bulan, setelah menerima gaji, aku akan membayar,” ucap Sunrise mantap, menyampaikan syaratnya.Tawa ringan lolos dari bibir Khairen. “Mengangsurnya?” Ia nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Sunrise.Sunrise mengangguk. “Ya. Aku tidak ingin menerimanya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga kurang fokus saat mengemudi. Jadi, aku akan terima mobil ini, jika kau setuju aku mencicilnya. Jika tidak, maka maaf, aku tak bisa menerimanya.”Ia hendak menyerahkan
Di ruangannya, Sunrise membuka laptop dan mulai merapikan berkas presentasi untuk rapat Kepala Divisi pagi ini. Tangannya cekatan menyusun laporan kinerja tim teknologi bulan ini, lengkap dengan grafik progres, kendala teknis, dan rekomendasi pengembangan berikutnya.Tak lupa ia menyelipkan juga berkas-berkas penting yang harus ditandatangani CEO. Semua ia persiapkan dengan teliti.Ia menatap bayangan dirinya di layar laptop yang memantul samar. Wajah itu masih menyimpan rona kemerahan dari kejadian semalam. Tidur bersama CEO-nya, dalam satu ranjang. Dalam pelukan di bawah selimut yang sama.Ia mendesah. “Fokus, Sunrise. Fokus!”Sepuluh menit kemudian, ia sudah duduk di ruang rapat Divisi. Semua Kepala Divisi sudah hadir, menyapanya ramah.“Pagi, Sunrise. Aku datang lebih dulu darimu" canda Kepala Divisi Keuangan yang tak pernah datang tepat waktu.“Pagi,” ia membalas pelan, mencoba tersenyum walau gugupnya tak kunjung reda.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Langkah sepatu hitam yang
Pagi masih petang, menyisakan jejak salju tipis di atas jendela apartemen Sunrise. Di dalam kamar yang hangat, detik-detik pagi mengalir pelan di antara napas sepasang suami istri kontrak yang tertidur dalam satu ranjang, dalam satu dekap sunyi yang tak pernah direncanakan.Khairen perlahan membuka mata. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Bau lavender yang samar, hembusan napas hangat di dada kirinya. Berat tubuh mungil yang masih bersandar erat padanya."Sunrise." Khairen menunduk sedikit, dan mendapati wajah Sunrise terlelap dengan tenang di pelukannya."Kukira hanya mimpi." lirihnya, rambut pirang gadis itu menjuntai menutupi sebagian pipi, membuat Khairen terdiam sejenak. Dadanya berdesir pelan, ia ingin lebih lama seperti ini.Pelan-pelan, ia menyibakkan rambut Sunrise, menyentuh dahi gadis itu dengan ujung jarinya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega.Sekali lagi ia menatap wajah itu lama, wajah yang keras kepala, berani, dan terlalu sering me
"Sunrise, aku pulang duluan. Hari ini, aku ada janji makan malam bersama keluarga." pamit Carmen yang sudah menenteng tasnya."Kau tidak masalah kan pulang sendiri? Jika, ada apa-apa hubungi aku." Carmen tetap khawatir."Aku bukan anak kecil, cepat pulanglah!" Sunrise tersenyum tipis."Bye..." Carmen meninggalkan ruang divisi.Senja menuruni langit Zurich dengan warna oranye keemasan, menelusup di balik kaca-kaca lantai tempat Sunrise bekerja, suasana mulai lengang. Satu per satu meja ditinggalkan, komputer dimatikan, dan lampu-lampu kantor mulai meredup pelan. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, mengejar tenggat.Sunrise menghela napas panjang sambil mengemasi dokumen. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan semacam kedamaian aneh.Perlakuan Khairen tadi pagi, sup, minuman herbal, dan sepatu hitam yang tiba-tiba ada di mejanya, semua masih membekas hangat.Ia berdiri dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sepatu flat yang terletak rapi di bawah mejanya. Saat kulit kakinya men
Pagi datang dengan tenang di tepi Danau Oeschinen. Kabut tipis masih menggantung di permukaan air, sementara sinar matahari perlahan memantul di atas danau yang sebening cermin. Warnanya biru kehijauan, jernih hingga dasar bebatuan terlihat jelas. Dikelilingi pegunungan bersalju yang menjulang.Aroma pinus dan tanah basah menyatu dengan udara dingin yang segar. Lucas, sudah bangun lebih dulu, tengah sibuk menyiapkan sarapan di dekat sisa api unggun yang kini menyala lagi dengan lembut. Ia memanaskan roti, mengaduk telur dalam panci kecil, dan meletakkan termos berisi kopi hangat di atas batu datar.“Bisa bantu ambilkan keju?” tanya Lucas tanpa menoleh."Tentu saja." Sunrise, yang baru keluar dari tenda dengan sweater tebal dan syal abu-abu melilit lehernya. Meski wajahnya menyimpan letih, ia tetap tersenyum kecil dan berjalan perlahan menghampiri kakaknya."Perlu bantuanku?" tanya Sunrise kemudian duduk di samping Lucas. Ia memijat pelan kakinya. Ada sedikit bengkak di pergelangan kak
Di dalam tenda yang mulai senyap, Summer menatap layar ponselnya dengan ragu. Angin malam mendesir dari celah-celah tenda, di antara kain tebal yang sedikit bergoyang, namun tak sedingin kegelisahan yang kini menggelayut kuat di dadanya.Cahaya redup dari lampu kecil di langit-langit tenda hanya menambah perasaan sesak di dalam ruang sempit itu. Hening, namun penuh tekanan.Jari-jarinya yang membeku oleh udara pegunungan bergetar saat ia mengetik pesan singkat, sebelum akhirnya menambahkan satu lampiran sebuah foto diam-diam."Maafkan aku, Kak!" bisiknya sedih.To: Nick"Dia baik-baik saja. Kami camping di Oeschinen. Sunrise tidak mengeluhkan apapun. Ia nampak sehat. Foto terlampir."Summer menggigit bibir bawahnya, pelan tapi dalam, hingga nyaris terasa logam darah di lidahnya. Hatinya tak tenang. Ia tidak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi begitulah perjanjian itu dibuat Khairen ingin tahu segalanya tentang Sunrise. Dan Summer menyanggupi.Pesan itu terkirim. Notifikasi delivere