Share

3

The Coven

Kaliga (Bagian Tiga)

Pada episode kali ini aku tak akan banyak berbasa-basi. Aku yakin kalian sudah tidak sabar mengikuti episode kali ini. Sekilas kuingatkan tentang episode lalu. Helyna mendatangi kediaman keluarga Dannies setelah membereskan keluarganya sendiri. Helyna mengajak Dannies untuk pergi dari kediamannya, pulang ke panti asuhan. Sepertinya Bunda Alam memang menghendaki mereka pulang ke panti asuhan.

Mereka sampai di panti asuhan pukul tiga pagi. Siapa yang akan membukakan mereka pintu di waktu seperti itu? Padahal mereka berdua sangat kelelahan karena menempuh perjalanan cukup jauh dengan berjalan kaki dan berlari. Sesekali mereka beristirahat di trotoar jalan yang sepi. Sialnya, tidak ada kendaraan umum yang melintas di sepanjang perjalanan.

“Please Lyn, siapa yang sudah bangun pukul tiga pagi begini?” ucap Dannies yang kemudian duduk bersandar di pagar panti asuhan.

“Pasti ada. Kau tunggu di sini, aku coba hubungi Helea dengan drone hewanku.” Helyna bergerak menjauhi Dannies. Dia mencari serangga atau hewan apa saja yang sekiranya bisa dia kendalikan untuk menyusup masuk ke dalam panti lalu memberi kabar pada kakaknya.

“Drone hewan?” tanya Dannies. Posisinya cukup jauh dari Helyna, namun Helyna masih  bisa mendengarnya.

Helyna kembali membawa seekor serangga di tangan kanannya. Dia duduk di samping Dannies lalu memejamkan matanya. Bibir mungilnya bergrak-gerak, merapalkan mantra yang tak bisa didengar oleh Dannies. Seketika serangga di tangannya terbang naik ke langit lalu melesat memasuki pagar panti asuhan. “Yes, menggunakan hewan sebagai drone,” ucap Helyna setelahnya.

“Kereen!”

“Tentu saja, akan banyak sihir yang bisa kutunjukan padamu, Dannies. Perjalanan ajaib kita belum berakhir, kan?” ucap Helyna diakhiri dengan tawa kecil.

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, seseorang membukakan pagar untuk mereka. Di hadapan mereka berdiri sosok gadis dengan rambut panjang terurai berkulit sawo matang, Helea.

“Demi Bunda Alam, bagaimana bisa kalian kemari? Apa yang terjadi? Oh ya ampun, lihat diri kalian.” Helea langsung mengamati dua sosok di hadapannya. Helyna yang mengenakan pakaian pelayan toko yang kusam akibat duduk di tanah. Dannies dengan baju tidur yang ditutup dengan jaket cukup tebal. Dalam sekali lihat, Helea bisa menebak kalau kedatangan mereka ke panti asuhan adalah sesuatu yang di luar rencana.

“Bisa kita bicara di dalam saja? Dannies kelelahan by the way.” Helyna melirik Dannies yang kakinya bergetar.

Helea hanya menghela napas sebelum mengajak kedua adiknya untuk masuk.

***

“Baik, kuharap kalian bisa jelaskan apa yang terjadi.” Helea melipat kedua tangannya. Dia menatap Helyna dan Dannies secara bergantian. Gadis itu mendadak berubah menjadi tukang introgasi, tatapannya menjadi menyeramkan.

Mereka bertiga kini berada di ruang baca. Mengobrol di kamar bukan ide bagus, takutnya akan ada yang terbangun dan mendengar yang seharusnya tidak didengar. Akhirnya mereka memutuskan untuk bicara di sini, di ruang baca.

“Pria berkumis yang mengadopsiku, dia hanya berniat menjualku kepada pimilik klub malam di kota. Jadi untuk rasa terima kasihku, kuberi kedua pria itu hadiah,” ucap Helyna diakhiri dengan senyum tak berdosa khasnya.

“Hadiah? Apa?” tanya Dannies kepo.

“Kau sungguh ingin tahu?” Helyna balik bertanya.

Dannies mengangguk, walaupun sedikit ragu. Firasatnya mengatakan Helyna tidak membicarakan “hadiah” yang sebenarnya, bisa saja hadiah itu adalah mimpi buruk atau malapetaka. Mungkin saja.

“Kumasukan poti lapar di kopi mereka berdua. Yah, kurasa itu hadiah yang bagus untuk mereka berdua.” Helyna tertawa kecil setelah menjelaskan.

Kening Dannies mengertut. “Poti lapar? Demi Tuhan, apa itu? Salah satu ramuan ajaib anemu lagi?”

Helea menepuk keningnya. “Itu poti yang akan memaksa tubuhmu memakan semua material karena rasa lapar yang ekstrim yang kau rasakan setelah meminumnya,” jelas Helea.

Dannies menggeleng pelan. “Tidak terdengar seperti hadiah bagiku.”

“Memang!” seru Helyna lalu cekikikan tak jelas.

“Dan kau Dannies, apa yang membuatmu kabur dari rumah?” kini Helea menatap Dannies, meminta penjelasan dari adiknya itu. Helea bisa melihat atmosfer di sekitar Dannies yang tidak bagus. Dia juga bisa membaca kalau mood Dannies tidak baik.

“Mungkin malam kemarin memang mimpi buruk. Ayahku, dia mengonsumsi alkohol secara berlebihan. Dia bahkan sampai kehilangan akalnya. He try to kill his wife, my mother. Sialnya, dia berhasil. Kebetulan ada wanita muda yang dekat dengan ayahku. Dia juga menjadi sasaran tidak kekerasan ayahku. Wanita itu berhasil membuat ayahku tumbang ke lantai. Akhirnya Nona Rose mengejarku karena aku menjadi saksi mata seluruh kejadian itu,” jelas Dannies. Dia berusaha keras agar tidak terlihat tegang, takut, dan cemas. Tapi semua itu tiada guna di hadapan Helea yang sensitif terhadap perasaan seseorang.

“Lalu kenapa bisa kau bertemu dengan Lyn?”

Dannies tidak langsung menjawab. Dia melirik Helyna yang duduk di sampingnya, berharap si penyihir yang angkat bicara. Jujur saja Dannies sendiri juga tidak mengerti kenapa Helyna bisa berada di kediaman keluarganya saat itu.

“Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Aku yakin sesuatu yang buruk sedang terjadi pada saudariku ini. Jadi setelah aku membereskan dua pria itu, aku bergegas pergi ke kediaman Mr. Vaughan. Seperti yang Dannies katakan, wanita muda itu mengejar Dannies. Jadi ..” Helyna tak melanjutkan, melaikan memasang senyum misterius.

“Apa? Jangan dipotong seenak jidatmu, Lyn,” ucap Helyna kesal. Perempatan siku-siku muncul di keningnya.

“Kugunakan akarku untuk membuat wanita itu jatuh dari tangga. Oh, tidak lupa aku menjatuhkan lampu gantung mewah di rumah itu hingga menghantam kepalanya. Aw, mayatnya sungguh tidak enak dilihat.”

Bibir Helea bergerak membentuk huruf o bundar. “Lyn, yang benar saja. Bukannya Bunda Alam melarang menggunakan sihir untuk menyakiti orang lain? Bunda Alam bisa marah, kau siap menerima karmanya?”

Helyna mengangguk cepat. “Siap, aku siap, aku siap, aku siap.” Nada bicaranya sengaja dia miripkan dengan tokoh kartun di tv yang berbentuk spons itu. Kalian pasti tahu kan? Kartun terkenal yang berjudul spongebob.

“Halaah ... kenapa aku jadi tambah pusing.” Helea memijat keningnya yang sepertinya nyeri. Kalian tahu bagian terbaiknya? Kalau Helea begini terus, bisa-bisa dia akan lebih cepat menua karena stres.

Setelah hening beberapa menit, akhirnya Helea kembali tenang. Dia menatap dua adiknya itu bergantian sebelum bicara. “Fine, biar aku yang jelaskan situasinya pada Ms. Veronica. Kalian tunggu di meja makan untuk sarapan.” Helea bangkit dari tempat duduknya.

“Kau tidak meminta kami membantumu?” tanya Helyna heran.

“Kali ini tidak, kalian sudah berjalan jauh, sebaiknya istirahat setelah ini. Mengerti?”

Helyna dan Dannies bertos ria sambil berseru “YES!”

***

“Oh ayolah Lyn, kau pasti bercanda?” Dannies menggelengkan kepala seraya menatap Helyna yang berada di hadapannya. Jarak mereka dipisahkan oleh sebuah meja kayu yang di atasnya terdapat barang-barang aneh. Seperti kaki katak, kaki kadal, kecebong yang masih hidup, beberapa bunga dari kebun, dan tak lupa wand ajaib milik Helyna.

“Pasti akan seru, kau tidak penasaran ramuan apa yang sedang aku coba buat?” tanya Helyna.

Dannies menggeleng. “Ramuan apapun itu, pasti menjijikkan.”

“Oh ayolah, ini pasti asyik.”

“Asyik gundulmu, kalau Kak Lea sampai tahu ini, mati kita.” Dannies menepuk jidatnya seraya menghela napas panjang.

Sudah seminggu semenjak dua saudari itu kembali ke panti asuhan. Kehidupan mereka berjalan normal kembali seperti sedia kala. Helyna yang sibuk dengan praktik ramuan ajaibnya dan Dannies sebagai penonton. Helea yang sibuk membantu pengasuh panti mengurus anak-anak. Dannies sebenarnya sangat tertarik dengan praktik Helyna. Tapi tetap saja, rasa jijik, heran, kaget, itu tak bisa dia sembunyikan.

“Hei, mau melihat sesuatu yang lebih seru dari ramuan ajaib?” tawar Helyna.

Mendadak perasaan Dannies tidak enak. Tapi rasa penasaran yang jauh lebih beras mendorong perasaan tidak enak itu. Dannies tak bisa menolaknya, dia jelas tertarik. “Apa?”

Helyna tidak langsung menjawab. Dia malah berjalan mendekati cermin ajaibnya yang tertempel di dinding. Helyna memberi isyarat pada Dannies untuk mengikutinya. Gadis berkacamata itu lantas mengangkat bokongnya dan berdiri di samping Helyna.

“Ada apa dengan cerminmu?”

Helyna mengusap cermin itu beberapa kali. Bibirnya bergerak-gerak, merapalkan spell yang menurutku rumit dibaca. Dengan kecepatan gerakan bibir itu, siapa yang bisa menebak spell apa yang dia baca. Detik berikutnya, sesuatu muncul di cermin itu. Sebuah gambaran kejadian yang sepertinya bukan gambaran yang bagus.

***

Seusai membereskan pakaian yang dijemur di halaman belakang, Helea menemui Ms. Chamila di ruangannya. Wanita itu tak kalah sibuk dengan Ms. Veronica. Hanya saja, dia lebih sering menghabiskan waktunya di luar ruangan dan mengurus keperluan anak-anak. Sedangkan Ms. Veronica berkutat dengan berkas-berkas penting di ruangannya.

“Ah Helea, akhirnya kau datang. Tolong kau antarkan ini ke ruangan Ms. Veronica, ya? Aku harus menyelesaikan beberapa berkas lalu memasak makan siang,” pinta Ms. Chamila diakhiri dengan senyum lembut.

Helea segera menerima berkas yang disodorkan kepadanya. “Baik Ms.” Helea pamit meinggalkan ruangan setelahnya.

“Nyona, aku mohon padamu. Tidak adakah anak di panti asuhan yang bisa kuasuh? Aku benar-benar kesepian, aku hanya ingin memiliki seorang anak untuk kusayangi.”

Seorang pria muda yang tampaknya berusia dua puluhan memohon di hadapan Ms.Veronica. Tubuhnya jangkung tapi tidak kelihatan kurang gizi. Mungkin karena pria itu kurang merawat diri, sehingga postur tubuhnya menjadi seperti itu. Selain itu, pakaian yang dia kenakan juga lusuh. Rambutnya hitam rapi.

Dalam sekali lihat, mungkin seseorang akan ragu untuk mempercayai laki-laki itu. Dengan perawakannya yang seperti ini, siapa yang percaya dia dapat mengasuh seorang anak? Sepertinya Ms. Veronica berpikir demikian, bukan hanya aku.

“Maaf Tuan, bukan maksudku meragukan anda. Tapi apa anda yakin dapat merawat seorang anak?” Ms. Veronica menaikkan kacamatanya yang sedikit turun.

Ketika pria muda itu hendak menjawab, suaranya tertahan setelah mendengar seseorang mengetuk pintu yang terbuka. Ms. Veronica yang menyadari kehadiran Helea lantas meminta gadis itu untuk masuk.

“Ada apa Helea?” tanya wanita berkacaata bundar itu begitu Helea masuk ke ruangannya.

Helea menyerahkan berkas yang dititipkan padanya. Helea tidak terlalu fokus dengan berkas yang dibaca oleh Ms. Veronica. Perhatiannya tertuju pada sosok laki-laki yang duduk kursi di sampingnya. Dalam sekali lihat, Helea bisa menilai kalau pria di sampingnya itu tidaklah buruk. Kalian tentu ingat bahwa Helea adalah penyihir, kan? Mata seorang penyihir tidak bisa dibohongi dengan mudah.

Helea juga menagamti detak jantung, aura, serta pernapasan pria itu. Semuanya sangat normal. Kalaupun pria itu memiliki niat buruk, aura yang dilihatnya tidak akan seperti yang dia lihat sekarang. Apalagi jika niat buruk itu sampai terbaca, detak jantungnya serta pernapasannya pasti tidak teratur.

“Maaf, kalau aku boleh bertanya. Apa tujuan paman ini kemari, Ms?” tanya Helea yang kemudian memperhatikan pria di sampingnya.

“Oh, perkenalkan ini Paman Reigi Bram. Dia datang kemari berniat mengadopsi salah satu anak di panti ini, Lea,” jelas Ms. Veronica pada Helea.

Untuk beberapa detik, Helea mengamati pria itu dari atas hingga bawah. Kesan pertama terhadap pria itu, dia laki-laki yang baik. Tidak seperti orang yang mengambil kedua adiknya, keji. Tentu saja Ms. Veronica tak menyadari ini karena berbeda kacamata.

“Aku bersdia menjadi anak angkat paman ini, Ms.”

Ucapan Helea barusan berhasil membuat suasana ruangan menjadi hening. Ms. Veronica menatap Helea dalam. “Kau yakin, Lea?”

Helea mengangguk yakin.

***

Malam itu, ketiga saudari itu tidak berada di kamarnya. Mereka berada di ruang baca saat ini. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin mereka bicarakan.

“HAH?”

Helea sampai terlonjak kaget melihat respond Dannies yang di luar dugaan. Dia tidak menyangka respondnya akan seperti itu. Seperti yang kukatakan tadi, pasti ada hal penting yang mereka bicarakan saat ini.

“Kenapa Kak? Kita sudah dipersatukan lagi, kenapa kau memutuskan untuk pergi? Oh ayolah, aku tidak ingin kita dipisah lagi.” Dannies tampak menahan air matanya yang hendak tumpah.

Helea mengusap kepala Dannies. “kita tidak akan dipisah. Kita masih keluarga, hanya berbeda tempat. Lagipula kita tetap berada di bawah langit yang sama, aku tidak pindah dimensi atau pindah ke alam lain, bukan?”

Dannies menggeleng cepat. “Tidak bisakah kakak batalkan keputusan itu? Lagipula apa spesialnya Paman Reigi itu? Bagiku dia sama saja seperti manusia lain, sama seperti ayah angkatku!”

Kali ini giliran Helea yang menggeleng pelan. “Tidak ada kisah yang sama, Dannies. Tidak semua manusia itu sama, kau tidak bisa main pukul rata begitu. Awalnya aku juga berpikir demikian, laki-laki itu tidak ada bedanya dengan ayah angkatmu dan Helyna. Tapi aku bisa melihat jauh ke dalam hatinya. Dia lelah, rapuh, di hatinya penuh penyesalan dan kesedihan. Aku yakin dia mengadopsi anak untuk mencurahkan kasih sayang yang ada dalam dirinya.”

Helyna memiringkan kepalanya. “Wow, kemampuan melihat hati seseorang. Kau penyihir tua, pantas memiliki kemampuan itu,” ucap Helyna diakhiri dengan tawa kecil.

Helea cemberut mendengar ucapan tidak sopan barusan. “Tua? Oh ya, tentu saja aku tua. Jangan buat penyihir tua ini beruban lebih cepat, mengerti?”

Dannies masih tak terima dengan keputusan yang dibuat Helea. Seminggu ini mereka bertiga selalu bersama, tapi dipisah lagi. Bagaimana dia tidak kecewa. Apa memang dia sedang dipermainkan oleh pembuat skenario?

“Dannies, dengar, kau tidak boleh seperti ini. Kita hanya dipisahkan oleh jarak, bukan alam. Aku bisa berkunjung ke panti asuhan, how is that?”

Dannies tidak langsung menjawab. Dia masih sesunggukkan karena tangisnya. Wajahnya basah, penuh air mata. Helea sendiri susah payah menahan tangisnya.

“Kau sungguh akan berkunjung kemari kan, Lea? Aku merindukan sosok yang mengomeliku setiap saat,” ucap Helyna.

“Oh really? Harusnya kau senang karena terbebas dariku, betul?” tebak Helea yang langsung membuat Helyna tertawa lepas.

“Betul.”

Helea menggelengkan kepalanya. “Demi Bunda Alam.”

“Kapan kakak akan berangkat?” tanya Dannies.

“Besok pagi menjelang siang. Aku harus ke kamar, mempersiapkan pakaian yang hendak kuawa.” Helea bangkit dari kursinya. Kakinya melangkah keluar dari ruang baca.

Dannies dan Helyna masih berdiam diri di ruang baca. Entah apa yang mereka pikirkan sekarang. Mood Dannies masih kurang baik, Helyna bisa melihatnya dengan jelas. Untuk mengalihkan, si gadis penyihir mulai menceritakan kisah-kisah penyihir yang ada di kepalanya.

***

“Lea, maaf, tapi rumah paman tidak semewah rumah lainnya. Ini rumah lama paman yang paman tinggali bersama istri dan putri paman,” jelas Paman Reigi pada Helea begitu mereka memasuki rumah sederhana itu.

Helea menggeleng pelan. “Tidak masalah, Paman. Ini sudah cukup bagi Lea,” balas gadis itu.

“Kalau kau lelah, kau bisa beristirahat di kamar kosong itu. Dulunya kamar itu milik putri paman, sekarang menjadi milik Lea.” Paman Reigi menunjuk sebuah kamar kosong yang pintunya terbuka.

Helea membawa kopernya menuju kamar yang dimaksud. Begitu dia memasuki kamar itu, dia melihat sebuah foto yang menampakkan gadis berwajah oval dengan model rambut dikepang sedang tersenyum. Foto itu sedikit usang, mungkin karena jarang dibersihkan.

“Hai, aku Helea, salam kenal. Jangan khawatir, aku tidak akan merusak apapun di kamarmu, aku akan merawatnya,” ucap Helea pada foto itu. Mungkin beberapa orang menganggap Helea gila karena berbicara dengan foto orang yang sudah mati.

Helea mengambil mangkuk sagenya, meletakkan bunga-bunga yang dibawanya dari panti lalu membakarnya. Dia berdoa untuk putri Paman Reigi itu.

Siang itu, Helea sibuk membereskan kamar serta merapikan pakaiannya di lemari kayu tua itu. Helea bertekad akan mengobati luka dalam yang ada di hati pria yang kini menjadi ayahnya itu. Dia yakin Bunda Alam akan membantunya.

***

“Waw Lea, kau pandai memasak ya?” Paman Reigi menatap hidangan yang tersedia di atas meja makan. Aromanya mengguggah selera. Helea meminta pria itu beristirahat sementara dirinya menyiapkan makan siang.

“Tidak juga, Ms. Veronica yang mengajariku. Aku termasuk anak tertua, jadi sudah biasa mengurus dapur,” cerita Helea. “Biasanya kerjaanku akan bertambah kalau dua adikku itu membuat masalah. Lama kelamaan aku akan menua lebih cepat, Paman.”

Paman Reigi tertawa kecil mendnegar cerita Helea. “Kau memang gadis dewasa Lea, aku bisa melihat itu.”

“Paman dulu bekerja sebagai apa kalau boleh tahhu?” Helea penasaran dengan latar belakang ayah angkatnya ini. Dirinya masih sungkan untuk memanggil “ayah” memutuskan untuk memanggilnya paman untuk sementara waktu.

Pria bermata sipit serta berkulit putih itu menghela napas sebelum memulai ceriatnya. “Aku dulu bekerja sebagai bodyguard. Aku setia pada satu keluarga yang merekrutku. Sampai suatu hari, sebuah kejadian memilukan menyebabkan tewasnya putriku. Tak sampai di situ, istriku pun jatuh sakit. Kondisinya tak kunjung membaik, hingga akhirnya dia pun pergi untuk selamanya.”

Helea menahan air mata yang hampir tumpah di pelupuk matanya. Di antara Helyna, dirinya, dan Dannies, dialah yang paling mudah menangis dengan kisah sedih semacam ini. Helea mengatur pernapasannya agar tetap tenang, tidak terbawa suasana.

“Tadi kau bilang kau memiliki dua adik di panti asuhan, benar? Boleh kau ceritakan sedikit tentang mereka?” tanya pria itu.

Helea menopang dagunya dengan kedua tangan. “Yang satu Helyna, dia adikku yang paling bandel, susah diatur, selalu membuatku repot. Terkadang  dia kabur ke waduk ketika aku memintanya melakukan sesuatu, membantuku mencuci pakaian misalnya. Atau dia akan menyibukkan diri di ruang baca, agar aku tidak menyuruhnya sesuatu.”

“Yang satunya lagi, Dannies. Adikku yang ini lebih kalem dan pendiam. Sebenarnya dia tidak banyak tingkah. Tapi karena pengaruh Helyna, dia ikutan menjadi bandel. Adikku satu itu sama cengengnya denganku, mudah tersinggung pula. Yang paling khas dari dia, dia menyukai novel bertemakan sihir.” Helea bercerita dengan penuh semangat. Sesekali raut wajahnya berubah ketika bercerita.

Paman Reigi mendengarkan dengan serius cerita Helea. “Kau tampaknya sangat menyayangi dua saudarimu itu, ya?” tebaknya.

Helea terdiam, dia menahan napasnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

“Sungguh beruntung mereka memilikimu sebagai kakak mereka,” ucap pria dua puluh tahunan tersebut. Sepertinya terlalu banyak emosi dan drama di meja makan ini.

***

Malamnya, Helea tidak langsung tidur. Dia menyiapkan mangkuk sage dan bunga-bunga di dalamnya. Dia selalu menyempatkan diri untuk melakukan doa di malam hari. Ini sudah menjadi kebiasaannya.

“Buda, jagalah dua adikku yang jauh di sana. Pertemukan kami jika ada kesempatan. Semoga engkau selalu mempersatukan hati kami.” Doa itu dia tutup dengan “Bless be.” Dia membersihkan sagenya dan bergegas meninggalkan halaman belakang.

Tanpa Helea sdari, seseorang menagamtinya dari balik jendela. Orang itu mengusap dagunya sambil berpikir, “Tampaknya aku memisahkan dirinya dari kedua saudarinya.”

Orang itu akhirnya duduk di atas ranjang. Dia memejamkan matanya, berusaha tenang dan mencari solusi terbaik.

Helea masuk ke dalam kamarnya. Matanya berpapasan dengan foto gadis pemilik kamar ini sebelumnya. “Hai, selamat malam. Aku baru selesai sembayang, aku tak lupa mendoakanmu juga, kok. Bunda Alam memberkatimu,” ucap Helea pada foto itu.

Gadis itu naik ke ranjang lalu menarik selimut menutupi tubuhnya.

Bunda Alam memiliki rencananya sendiri. Dia tidak mungkin mebiarkan anak perempuannya dikelilingi kesedihan, Bunda Alam punya solusi di setiap doa yang dipanjatkan kepadanya. Aku yakin itu.

***

Sudah beberapa hari, semenjak Helea tinggal bersama Paman Reigi. Helea berusaha menyembunyikan kerinduannya pada dua saudarinya di depan pria muda itu. Helea pikir semuanya berhasil dia tutupi dengan sempurna, nyatanya tidak demikian. Sedikit banyak, Paman Reigi mengerti apa yang disembunyikan anak gadisnya itu. Dia berpengalaman karena memiliki seorang putri sebelumnya.

“Sampai kapan kau akan menutupi hal itu dariku, Lea?”

Pertanyaan Paman Reigi barusan membuat Helea tersedak oleh kopi yang diminumnya. Gadis itu buru-buru meletakkan gelasnya lalu mengatur napasnya. “Apa maksud paman?”

Paman Reigi mengibaskan tangannya. “Kau tahu maksudku, kan? Kau merindukan dua saudarimu yang berada di panti, iya atau iya?”

Helea menelan ludahnya. Dia pikir dia berhasil menyembunyikannya dengan baik. Entah dengan cara apa pria di hadapannya ini dapat membacanya bagai buku. Sudah kubilang kalau pamanmu itu berpengalaman, Helea.

“Tida perlu disembunyikan lebih lama, Nak. Aku paham perasaanmu.”

Pernyataan barusan sukses membuat air mata Helea tumpah seketika. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. Dia sendiri malu karena dirinya berhasil dibaca dengan mudahnya. Padahal biasanya dirinyalah yang pandai membaca orang lain, bukan sebaliknya.

“Helea ....”

Helea tak menghiraukan suara yang memanggilnya. Dia sendiri berusaha keras menahan tangisnya agar tidak banjir air mata.

“Helea dengar.”

Dia masih tidak menggubrisnya.

“Nak, aku punya solusi. Dan kuharap ini adalah solusi terbaik.”

Helea mulai bisa mengatur napasnya. Dengan pelan, dia mengangkat wajahnya, menatap wajah pria di hadapannya.

“Aku akan mengirimmu kembali ke panti asuhan, di sanalah tempatmu untuk pulang. Aku tak ingin menjadi karakter jahat yang berusaha memisahkanmu dengan dua saudarimu yang lain. Merekalah keluargamu yang sesunguuhnya, panti asuhan itu adalah rumahmu. Pulanglah, aku akan merindukanmu.”

Air mata kembali tumpah membasahi pipi Helea. “Jika paman melepasku, kenapa paman mengadopsiku waktu itu?”

Pria itu menggeleng pelan. “Aku tak bisa memaksakan pada siapa kau merasa nyaman, Nak. Pulanglah, aku tahu kau merindukan mereka.”

Helea mengatur napasnya yang pendek itu lalu membersihkan air mata di pipinya dengan tissue di atas meja. “Terima kasih Paman, aku tidak akan melupakanmu.”

“Aku pun demikian, Nak.”

***

Helyna duduk mematung di depan cemin ajaib miliknya. Matanya mengamati setiap detail gambaran yang ada di depannya. Sesekali bibirnya bergerak, memerintahkan cerminnya untuk melihat ke sisi lain. Tampaknya dia sedang mengawasi sesuatu.

“Kau sedang apa sih, Lyn. Ini sudah hampir tengah malam by the way,” Dannies memperhatikan Helyna yang sudah meletakkan bokongnya di kursi selama kurang lebih dua jam.

“Kurasa ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi, Dann. Sebaiknya aku mengawasi keadaan sekitar.” Helyna tak bergeming dari posisinya.

“Buruk? Apa yang buruk?” Dannies menghampiri Helyna, berniat melihat cermin itu juga.

Cermin itu memperlihatkan tiga sosok pria mengenakan pakaian serba putih. Di pinggang mereka terdapat cambuk yang sama. Di pakaian mereka terdapat simbol aneh yang menandakan bahwa mereka adalah anggota dari sebuah organisasi. Mungkin karena pengetahuan Dannies dangkal, dia tidak tahu organisasi apa yang memiliki simbol seperti itu. Berbeda dengan Helyna, wajahnya langsung berubah seketika.

“Gawat!”

“Kenapa Lyn?” Dannies tampak kebingungan.

Helyna menunjuk tiga sosok di cerminnya. “Mereka, mereka sedang bergerak kemari, ke panti asuhan ini!”

“Memangnya siapa mereka?”

“Mereka paladin, aku yakin mereka melacak sihirku hingga mereka bisa menemukan lokasi panti asuhan ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status