"Mar, itu kan mobil elu. Bos elu masih di sini brarti!" Divia menunjuk mobil yang terparkir di depan rumah Kania.Damar mengangguk, ia melihat mobilnya masih di depan rumah Kania. "Kita turun, yuk! Semoga Kania baik-baik saja."Damar dan Divia berjalan beriringan menuju rumah Kania."Permisi!" seru Divia dari luar, ia mengetuk pintu beberapa kali.Tak lama berselang pintu dibuka, Kania muncul dari balik pintu."Kania .... ""Eh, elu, Vi, Damar juga. Ayo, masuklah," Kania memimpin mereka masuk menuju ruang tengah.Divia merasa curiga, tidak ada tanda-tanda Kania merasa sedih berlebihan seperti kondisinya tadi siang. Divia dan Damar saling pandang ketika mereka mendengar suara gelak tawa dari ruang tengah.Pemandangan di depan mata mereka sungguh tidak dapat dipercaya. Damar sampai menganga melihat Marlo sedang asyik bercanda tawa dengan Nadin
"Besok pagi aku berangkat pagi, tolong siapkan perlengkapanku pagi-pagi sekali, Berto."Marlo sedang menikmati teh cammomile dari cangkir keramik putih polos ketika Berto kembali masuk untuk membereskan baju kotor Tuan Mudanya."Baik, Tuan Muda." Berto sudah hampir melangkah ke luar kamar, ketika akhirnya ia berbalik menatap tuannya."Tuan Muda, saya sungguh senang sekali melihat Tuan Muda begitu terlihat bahagia, setelah sekian tahun."Marlo menyesap kembali tehnya. Lelaki berjubah kamar warna kelabu itu menyunggingkan senyum. "Ada seseorang yang sudah merubah hidupku," ucapnya lirih.Berto menegakkan tubuh. "Siapa pun orang itu, saya sungguh ingin berterima kasih dari lubuk hati yang paling dalam karena telah mengembalikan senyum Tuan Muda."Marlo kembali tersenyum memperlihatkan gigi geliginya yang putih rapi. "Ide bagus. Kapan-kapan saya akan bawa dia ke rumah. Kamu pasti akan suka, apalagi ada
Barry memasuki rumah dengan muka kusut. Ia sengaja membanting pintu kamarnya hingga menutup, mengingat kembali netranya menangkap pemandangan keluarga Kania bersama Marlo. Rasa cemburu membara di dadanya. Posisi yang selama ini begitu ia inginkan. Kenapa ia baru sadar bahwa Marlo juga memberi perhatian khusus kepada Kania?"Sial!" serunya sambil memukul udara kosong.Pintu kamarnya membuka. Clarissa yang tampak segar dengan gaun siang warna biru langit masuk dengan langkah anggun."Kenapa kamu?"Barry bergeming, duduk menatap lantai marmer."Dari mana kamu semalaman? Mama enggak mau melihat kamu mabuk mabukan lagi, ya! Jangan jadi orang tolol dengan membawa masalahmu ke minuman keras!"Barry masih bergeming."Yah, awalnya memang berat. Lihat saja nanti, Lama-lama kamu juga terbiasa," ujar wanita dengan pemulas bibir warna marun itu."Tolong keluar
Barry terus melirik ke meja di ujung balkon. Terlihat seperti keluarga bahagia. Benarkah Kania bersama Marlo? Cepat sekali wanita itu membalikkan perasaan."Aku sudah pesenin steak favorit aku. Nanti kamu cobain, ya." Jesslyn tersenyum mengamati Barry yang terlihat tampan mengenakan setelan jas warna biru. "Pasti kamu suka.""Aku permisi sebentar, ke kamar kecil, boleh?" Barry menatap Jesslyn dengan senyum palsu.Wanita cantik itu mengangguk. "Okey, jangan lama-lama, ya."Barry segera beranjak. Ia buru-buru ingin ke toilet begitu melihat Kania beranjak dari tempat duduk. Dari gelagatnya wanita itu akan pergi ke toilet. Kesempatan bagus.***Kania baru saja buang air kecil. Ia merapikan diri di depan kaca wastafel. Seharusnya tadi Marlo bilang kepadanya akan mampir ke restoran, setidaknya ia bisa sedikit berdandan. Setelah dirasa cukup, gegas wanita itu keluar dari toilet.
Kania baru saja selesai beberes, mengunci semua pintu, lalu siap-siap tidur. Kakinya menyusup pelan ke selimut di samping Nadin yang sudah terlebih dahulu pulas. Saat matanya sudah hampir terpejam, Samar-samar ia mendengar suara ketukan pintu dari luar. Semula Kania mengira itu hanya halusinasinya. Namun, ketukan itu berlanjut, bahkan semakin keras.Kania segera bangun dari tempat tidur, ia melirik Nadin yang masih tertidur pulas, berharap gadis kecil itu tetap tertidur. Jam di dinding kamar menunjuk angka sebelas lebih."Siapa malam-malam ketok pintu?" tanyanya sambil menyeret langkah keluar kamar, tak lupa ia membawa ponsel pintar bersamanya, sekedar untuk berjaga-jaga."Apa jangan-jangan Marlo kembali?"Gegas Kania menuju pintu depan. Tak lupa ia menyalakan semua lampu.Tangan rampingnya menggeser gorden tepat di samping pintu. Ia berusaha mengintip sebelum membuka pintu.Aneh sekali, pa
Barry kembali ke rumah dengan kesal dan marah, lagi-lagi usahanya gagal untuk mendekati Kania. Wanita yang dicintainya itu ternyata sudah terlalu membenci dirinya. Tak dapat dipungkiri, ini semua memang kesalahannya."Brengseeek!" Barry memaki dirinya sendiri.Marlo, pamannya yang angkuh itu kini selalu berada di dekat Kania. Bagaimana ia bisa mendekat kepada Kania. Barry sebenarnya cukup yakin, apabila Kania mendengar penjelasannya secara gamblang dan runut, wanita itu pasti bisa maklum. Kania yang baik dan perhatian adalah Kania yang dikenalnya dulu.Barry membuka kembali ponsel pintarnya, ada sebuah pesan suara dari Aahsita. Dikirim dua jam yang lalu. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama kata-kata yang meluncur dari microfon ponselnya.***"Sebaiknya aku bawa Nadin ke atas dulu, ke kamarnya, takut terbangun, kasihan," kata Marlo.Kania mengangguk setuju, lalu mengikuti Marlo yang m
Arifin sudah menunggu Marlo di rumah yang berada dekat taman. Marlo melihat laki-laki itu menunggu di depan rumah sambil merokok. Ia pun segera memarkir mobil, mendekati Arifin."Udah, lama, Arifin?" tanya Marlo setelah turun dari Mobil."Baru beberapa menit, Tuan Muda.""Ayo, masuk. Matikan rokokmu.""Baik, Tuan." Arifin mengikuti perintah Marlo. Ia mengikuti Tuan Muda masuk ke dalam rumah."Bagaimana, sudah ada kabar lagi?" Marlo memberi tanda supaya Arifin duduk di sofa ruang tengah."Saya berhasil membuat dia mengaku Tuan Muda. Memang dialah yang menyabotase mobil Nyonya Besar waktu itu, ia merusak rem mobil yang membawa Nyonya besar keluar dari rumah.Tiba-tiba Marlo membisu. Ia memejamkan mata berusaha meredakan emosi yang bergejolak. Dari awal ia sudah curiga, berita kematian Anjani memang telah direncanakan." Apa dia mengaku suruhan Clari
Marlo membuka pintu ruangan Barry dengan kasar. Suara pintu yang menjeplak tiba-tiba membuat Barry terpaksa mendongak. Laki-laki bersetelan jas abu-abu itu memburu ke hadapan Barry."Apa-apaan ini?" tanya Barry geram.Ia menatap lelaki jangkung yang berdiri menantang di seberang mejanya. Sejak dahulu ia tak pernah bisa akrab dengan adik ayahnya itu. Namun, selama ini belum pernah mereka melakukan konfrontasi senyata sekarang ini."Kamu yang apa-apaan? He, bocah, enggak tahu diri! Setelah apa yang kamu lakukan pada Kania, masih berani kamu mengusik hidupnya?" Marlo menatap berang ke arah Barry yang masih diam terduduk di kursi kerjanya."Enggak usah ikut campur! Om nggak tahu permasalahannya!"Marlo justru terkekeh mendengar balasan Barry yang seolah-olah tak mau diusik."Kamu yang enggak perlu ikut campur! Sekali lagi saya dengar atau lihat kamu berusaha menemui Kania, s