Kegelapan wilayah hutan Epping tampak semakin menyempurnakan suasana mistis di dalamnya. Sesekali angin yang menerpa dedaunan menimbulkan gemerisik yang menambah suasana lebih mencekam. Kengerian dan suasana menakutkan yang dibangun oleh kisah kekejaman yang terjadi di hutan itu. Telah melahirkan pandangan baru dalam kepercayaan masyarakat, bahwa hutan itu berhantu. Namun di balik semua itu pemerintah London mengupayakan keamanan dan mengizinkan para wisatawan untuk berkunjung ke hutan tersebut. Karena itulah ada banyak bangunan sebagai fasilitas yang dibutuhkan masyarakat.
Selain itu terdapat juga bangunan lain sebagai bagian dari upaya pemerintah mengawasi keamanan hutan. Dimana di dalamnya juga terdapat sarana lengkap berupa sarana pendidikan dan sebagainya. Area itu disebut Blue Sky. Area yang terkenal karena kualitas pendidikannya. Dan juga pusat perusahaan terbesar dunia. Bangunannya yang megah dengan berbagai sarana teknologi lengkap. Merupakan rumah pemilik sekaligus pendiri Blue Sky yang mentereng bak istana kerajaan. Seolah menjadi harta tersembunyi di balik kisah seram hutan Epping.
Di balik bangunan megah. Di sebuah kamar lantai dua. Seorang pemuda berparas tampan. Yang keberadaannya masih di sembunyikan dari khalayak umum sedang tertidur pulas. Terkadang ekspresi wajahnya menunjukkan ketakutan, kesedihan dan terkadang pula ia mengigau.
Mom.
Mom.
Dilihatnya wanita yang telah melahirkannya itu menjauh.
Tangan kecilnya menggapai-gapai.
Tapi wanita yang masih tersenyum dengan mata sendu telah menghilang ditelan kegelapan.Ia menangis tergugu. Mengapa Mom meninggalkannya disini.
“Mom.” Bisiknya lirih.
Wajahnya terlihat ketakutan. Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Peluhnya berlelehan membasahi bantal empuknya.
“Tuan, bangun Tuan.”
Suara berat dan serak membangunkannya dari mimpi buruk yang terus datang menghantuinya beberapa tahun ini.
Matanya yang sedikit berair mengerjap. Memperhatikan langitlangit kamar dengan desahan nafas panjang. Kemudian mata tajamnya beralih memperhatikan lelaki yang selalu siaga dan menyelamatkannya dari mimpi buruk. Samuel. Paman Sam, begitu ia memanggilnya. Entah mungkin dia pamannya atau bukan, yang jelas sejak kecil ia sudah dibiasakan memanggilnya begitu. Diambilnya tisu yang disodorkan Samuel untuk mengelap kedua matanya.
Tisu putih itu ternoda oleh darah yang dikeluarkan mata sialnya. Mata yang terus-terusan melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. Sepasang mata indah yang memiliki kelebihan lain dari manusia pada umumnya. Karena mata itu bisa melihat urat darah di lehermu. Dan juga bisa melihat jantungmu yang kembang kempis di balik daging yang tebal.
‘Shit’. Umpatnya dalam hati.
Dengan pandangan kaku dipandangnya Samuel. Pria tampan yang sudah hidup berabad-abad itu setengah terkejut.
“Kenapa Paman?” Tanyanya datar.
Dia hanya menyodorkan cermin antik ke hadapannya.
Oh, astaga. Iris matanya berwarna merah gelap. Seperti kata paman, mungkin perubahannya sudah total diusia ini. Kulit wajahnya putih pucat. Buku jarinya berwarna abu-abu.
Ia menggeram marah. Matanya memandang tajam dengan kemarahan. Tangannya menggenggam cermin dengan keras. Sehingga cermin ditangannya menjadi pecahan kaca yang berserakan di lantai.Tangannya gemetar. Dengan amarah luar biasa. Tanpa ia sadari tubuhnya terangkat dari pinggir dipan. Angin di sekitarnya seolah melingkupi tubuhnya. Beruntunglah Samuel segera menangkapnya dengan pelukan kuat seraya berbisik.
“Bersabarlah nak, semuanya akan indah jika kamu menerima takdir ini dengan tulus.” Bisik Samuel.
Ia tergugu di bahu Samuel yang selama ini menjaga dan merawatnyasedari kecil. Hidup ini terasa tidak adil baginya. Ia ingin menjadi manusia seperti yang lain. Menjadi remaja kebanyakan. Menikmati masa muda mereka dengan suka cita. Berbaur tanpa rasa beban. Merasakan indahnya masa muda. Bukan dengan batasan dan aturan yang mengikat. Bukan terbebani dengan kekuasaan. Dan bukan pula pesona yang berlebihan. Bukan pula takdir sebagai vampir.
“Aa..rgghhh!!!”, raungnya menghentakkan sunyinya malam.
***
Proses penyambutan mahasiswa baru sudah usai. Tetapi beberapa dari mereka tidak langsung meninggalkan aula. Kebanyakan masih duduk seolah menunggu sesuatu.
“Ayo..”Ajak seorang gadis sederhana kepada temannya karena tak jua beranjak dari tempatnya duduk.
“Risma, ayo. Kau uda janji mau mengantarku ke seluruh kampus ini.”
“Apaan sih, tunggu bentar,” sahutnya dengan suara yang agak sedikit ditekan.
Mendadak suasana hening. Dilihatnya semua orang seperti menahan napas. Bersamaan dengan itu melintas beberapa pemuda berpakaian serba hitam. Awalnya gadis itu tak peduli apa pun. Namun, semakin dekat gerombolan itu, sudut matanya tak mampu menolak aura karismatik pemuda yang berada paling depan diantara gerombolan itu.
Rahangnya yang kokoh. Hidungnya yang mancung dan keseluruhan wajahnya yang mirip aktor film yang tampan ala bangsawan Eropa. Sungguh membuat gadis itu berdiri mematung. Jantungnya seolah berhenti berdetak ketika pemuda itu lewat di sampingnya. Sialnya pemuda tersebut datang dari arah berlawanan. Sehingga dengan jelas ia bisa melihat ke arahnya.
Deg.
Waktu seolah terhenti. Apalagi saat ia menyadari cowok tampan itu melirik ke arahnya walau hanya sebentar.
Apakah itu hanya perasaannya saja? Ah, otaknya terasa mulai gila. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya agar tersadar dari kenyataan bahwa hal itu mustahil terjadi.
“Akhirnya... , aku bisa melihat pangeran kampus ini dari jarak dekat!” seru Risma bahagia.
“El, ayo, aku tidak hanya akan mengajakmu jalan-jalan keliling kampus tapi juga akan menraktirmu makan. Mumpung aku lagi berbaik hati,” ucapnya pada gadis sederhana disampingnya yang menurutnya agak sedikit kampungan itu.
***
‘kenapa degub jantungnya terasa aneh. Detaknya begitu cepat berpacu.” Pikir pemuda itu dalam hati.
‘Lihatlah siapa gadis bodoh yang berdiri itu. Cuih. Dia tak ada ubahnya seperti wanita-wanita tolol yang memuja ketampanan fisiknya. ‘ Ketika ia hampir mendekati tempat gadis itu berdiri. Semilir angin berembus memainkan anak rambut gadis itu. Sehingga dengan jelas hidungnya yang peka sanggup merasakan wangi tubuhnya yang bercampur amis darah.
Deg.
Jantungnya seolah terhenti, karena terkejut ia menoleh menatap mata coklat gadis yang kini berdiri mematung di sampingnya. Namun itu hanya sebentar. Karena ia tak ingin seorang pun tahu bahwa jantungnya sedang tak sehat.
‘Huh, ada apa ini. Mungkin ia harus bicara dengan paman. ‘
Hari ini terasa begitu melelahkan. Ia harus melakukan banyak hal di kampus. Baginya, di seluruh wilayah Epping. Kampus-lah tempat yang paling harus ia hindari. Ia benci berpapasan dengan banyak manusia. Hal itu mengingatkannya bahwa dirinya sangat berbeda. Di tambah lagi tatapan lapar para gadis. Mereka membuatnya merasa muak. Karena tatapan mereka memberinya pertanda. Bahwa iahanyalah manusia terkutuk. Kutukan dari masa lalu yang membuatnya abadi hingga kini.
Waktu demi waktu telah berlalu. Musim demi musim berganti. Jiwanya terasa hampa. Kaburnya ingatannya. Dan rasa sakit yang selalu ia rasakan di hatinya. Membuat apapun yang ia jalani seperti siksaan. Ia seperti kehilangan jati dirinya. Ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang amat sangat berharga. Yang ia sendiri tidak tahu apa itu. Ia seperti buku sejarah yang robek di beberapa halaman.
Coba bayangkan itu, bagaimana bisa kau membacanya.
Tunggu. Mungkin ini lebih dari sekedar robek. Tapi sebagai satu kesatuan yang utuh. Mungkin bisa dikatakan otaknya seperti prosesor di komputer. Sebuah virus telah merusak jaringannya. Meretas memorinya. Sehingga hal-hal penting yang tersimpan di dalamnya telah rusak. Menjadi benang kusut yang coba diuraikan namun justru terputus.
Ia mendesah. Sembari berbaring di atas kasur ia menatap langitlangit kamarnya. Dirabanya dadanya. Ia kembali mengingat kejadian di aula. Bertahun-tahun lamanya. Baru kali ini ia merasakan jantungnya berdetak. Ia merasa hidup. Merasakan sensasi yang seolah lama ia rindukan. Apalagi saat mengingat wangi gadis itu. Tanpa sadar senyuman tipis menghiasi wajahnya.
Siapa dia? Siapa gadis itu? Ada banyak tanya yang tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia memang agak berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. Tampilannya yang sederhana. Seperti batang emas yang tidak berubah meski dipengaruhi benda di sekitarnya.
“Druf?” Samuel menyebut namanya setengah keheranan. Tidak biasanya Druf bermalas-malasan. Biasanya ia langsung mandi dan mengganti bajunya.
“Maaf Paman. Jantungku merasa tak nyaman,” tutur Druf dengan kejujuran yang apa adanya.
“Apa maksudmu? Kau sesak ?” tanya Samuel khawatir.
“Tidak. Aku bertemu seseorang. Tampaknya dia mahasiswi baru tahun ini. Jantungku terasa lebih hidup saat bertemu dengannya.”
Samuel terkejut dengan tuturan Druf. Ia agak hawatir dan menyembunyikan sesuatu di benaknya. Kemudian seolah tidak ada apaapa ia tersenyum.
“Baguslah. Berarti jantungmu ada peningkatan,” ucap Samuel. Seolah selama ini ia menderita sakit jantung.Druf melempar bantalnya kasar. Ia tahu kalau Samuel hanya bercanda.M Memangnyaia punya riwayat sakit jantung.
Tanpa banyak bicara Druf bangkit menuju kamar mandi. Samuel duduk di luar menunggunya. Didengarnya suara kran air dari dalam kamar mandi. Saat itulah ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Coba cek. Daftar nama mahasiswa baru tahun ini. Apa ada yang bernama Elena?” Setelah suara di seberang mengiyakan Samuel menutup teleponnya. Bersamaan dengan itu Druf keluar dari kamar mandi. Ia hanya memakai handuk dan menampakkan bagian atas tubuhnya. Samuel segera membantunya memakai pakaian bergaya kasual yang sudah ia siapkan.
“Makan siang sudah siap. Makanlah,” ucap Samuel. Druf mengangguk. Setelah siap ia segera turun ke ruang makan. Samuel merapikan kamar Druf. Ponselnya kembali berdering.
“Ada Tuan. Dia dari manusia murni. Alamat rumahnya di.... Eh, ini mahasiswi jalur beasiswa, Tuan. Masih satu kota dengan Risma yang putri rekan kerja Tuan itu.”
Samuel terkejut. Tangannya terkepal. Sial. Ini tidak mungkin. Kutukan itu tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin ia bisa teledor memberikan beasiswa kepada gadis bernama Elena.
Astaga.
Pesawat yang membawa Elena tiba di Sydney. Mereka di jemput seorang lelaki setengah baya ber-jas rapi yang tak lain bawahan Druf di perusahaan Sydney Blue Sky. Selama perjalanan Samuel tidak banyak bicara. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar Druf yang sedang koma. Ia chattingan dengan William. Membantunya melakukan penyelamatan darurat sebisa mungkin. Ia mengirim pesan-pesan yang harus William lakukan. Andaikan Frans ada di sana ia tidak akan sehawatir ini. Samuel mendesah. Pikirannya kalut. Wajahnya tampak muram dan kusut. Elena yang melihat hal itu memandangnya dengan curiga. “Apa kau sudah mendapat kabar dari William?” Tanyanya antusias. “Eh, belum.” Kejut Samuel. Dengan cepat ia menyembunyikan ponselnya di saku jasnya. Elena melihat gerakan Samuel yang menurutnya mencurigakan. “Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku.” Ucap Elena dengan mata berkaca-kaca memandang Samuel.”Aku akan lebih menderita jika kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku berjanji akan tangguh dan siap
“Sebelum kau melawan tuanku. Hadapi kami dulu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Ratu Victoria menyeringai. “Kalian bukanlah tandinganku HUH!!”Gertaknya. Druf memegang satu bahu Frans dan satu bahu Brian. Keduanya menoleh. “Kalian..Pergilah susul Samuel dan Elena.” Ucap Druf dalam mindline. “Tapi tuan.” Ucap Brian dan Frans bersamaan. “Ini perintah... Aku titipkan Elena dan anakku.”Mata Druf terlihat sendu. “...........” Frans dan Brian saling pandang, menunduk lalu mundur. Mata Druf bertemu dengan mata ibunya. Dua bola mata yang dulu pernah berwarna sama kini telah berubah. Druf memandang dengan iba sedangkan ibunya memandangnya penuh gairah. Ia tidak tahu mengapa harus seperti ini. Apakah ia sanggup melawan ibunya sendiri. “Seraaaang!!!!!” Perintahnya kepada setiap yang hadir. William langsung mengambil alih. Sebagai jenderal ia langsung memimpin para vampir melawan makhluk berjubah hitam. Sedangkan Druf fokus pada ibunya. “Pangeranku yang tampan. Aku tidak tahu a
Seorang wanita cantik berdiri menatap Elena lekat. Matanya merah menyala di penuhi kemarahan. Elena ketakutan. Diliriknya Druf yang tengah memandang wanita itu dengan waspada. “Itu siapa?” Bisik Elena di telinga Druf. Kemunculannya yang diawali dengan makhluk berjubah hitam yang kini sedang menawan para undangan. Membuat Elena yakin, jika wanita itu bukan teman. “My Mom.” Ucap Druf datar. Elena terkejut mendengar jawaban itu. Bukan karena usia wanita cantik itu yang tampak muda. Melainkan ia masih mengingat ucapan Frans tempo hari untuk tidak mendekati wanita itu, meski dia ibu Druf sekalipun. “Paman Sam, keluarlah!!!” Teriak Druf. Seorang pemuda muncul dari balik kursi yang Druf duduki. Brian dan Frans terkejut mengetahui keberadaannya. Bahkan keduanya yakin jika tuannya sengaja menyembunyikan keberadaannya. “Heh, mau apa kau Sam!!” Ucap wanita itu lantang. Para undangan menahan nafas. Mereka kenal betul siapa wanita ini. Dia adalah Ratu Victoria, ratu kegelapan. Seolah
Deru mobil Brian terdengar. Druf yang sedari tadi menunggu dalam diam masih mematung. Tiga jam ia duduk di sana. Dengan wajah datar tanpa bicara sepatah kata pun. Elena gelisah menatapnya. Sementara David duduk dengan lesu di dekat pintu yang mengunci Anggelica. Kadang-kadang gadis itu masih berteriak. Pintu terbuka. Brian muncul di sana dengan wajah muram. Tak lama setelahnya muncul seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya berbinar melihat ke arah Druf yang masih tidak menatapnya. “Druf.” Gadis itu berlari dengan riangnya. Ditangkupnya wajah Druf dengan kedua tangannya.”Lama sekali kita tidak berjumpa.” Ucapnya tersenyum. Brian menatap frustasi ke arah Dilara. Bagaimanapun ia sudah sangat mencintai gadis itu. Hatinya sedikit sakit melihat gadisnya begitu memuja tuannya. Druf yang tidak merespon apapun berdiri. Bahkan ia sama sekali tidak melihat ke arah Dilara. “Brian, bawa dia ke kamarmu.” Ucap Druf. “Tidak. Aku tidak mau. Aku masih ingin bicara denganmu.” Teriak D
Nafas berat Druf semakin terasa. Elena tak dapat lagi menutupi kegeliannya. Bahkan nafasnya memburu. Ia merasa sesuatu yang nyaman dan geli bersamaan. Hingga tanpa sadar ia mencengkram rambut Druf kuat. Dan mulutnya tanpa sengaja mengeluarkan erangan yang kemudian ia tahan. Druf bergerak. Mungkin ia terjaga karena cengkraman tangannya. Elena menatap Druf yang tengah menatapnya sayu. Dan entah atas dorongan apa. Elena mencium bibir Druf. Mengulumnya. Ia merasakan kenikmatan luar biasa saat melakukannya. “Jangan Elena. Aku akan menikahimu sesuai adat bangsamu.” Ucap Druf saat bisa menghindar. Elena menatapnya dengan nafas yang semakin memburu. “Ta..Tapi.” Elena menyatukan dahinya dengan dahi Druf. Hidungnya mencium wangi nafas Druf yang menggoda. Ia kembali kehilangan akal sehatnya. Mengecup bibir Druf kembali dan merasakan kenikmatan yang mungkin tak banyak orang tahu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh dada Druf yang bidang dan berotot. Tangannya mengusapnya dan memainkannya. Druf
Elena tersadar. Dirabanya lengannya yang masih perih. Ia melihat sekeliling. Ini kamar Druf, batinnya. Peristiwa memalukan itu kembali terbayang di matanya. Saat ia melihat handuk yang dipakai Druf terjatuh. Seketika wajah Elena memerah. Dihapusnya segera bayangan itu dari ingatannya saat ini. Pikirannya kembali mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini. Seingatnya malam itu ia hendak dibawa wanita cantik namun ia melihat paman Samuel. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Krieeeettttt. Elena terkejut. Terdengar bunyi engsel pintu yang dibuka paksa. Elena mematung. Ia seperti melihat bayangan seseorang yang bungkuk mendekat ke arahnya. Elena tidak bisa bernapas. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak. Ia shock. Melihat bayangan itu samar-samar telah mendekati tepian kasurnya. Ia mendongak menatap Elena di kegelapan. Sepasang matanya hitam pekat. Elena sangat ketakutan luar biasa. Ia ingin lari tapi tak bisa. Ia juga ingin teriak tapi tenggorokannya terceka
“Tuan, kita tidak bisa menemukannya. Tapi dari baunya. Sepertinya Elena lari ke arah sini.” Frans menyisir tempat itu dengan teliti. Druf membenarkan hal itu. Ia bisa mencium wangi bunga Levender. “Tuan, ada dua mayat vampir.” Ucap Frans. Druf mendekat. Ia yakin itu prajurit ibunya. Bahkan hidungnya pun bisa mencium wangi wanita itu. Wanita yang telah melahirkannya sekaligus membuat hidupnya lebih menderita dari kematian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sikap ibunya yang ingin menikahi putranya sendiri. Druf memegang dadanya. Ia merasakan luka yang luar biasa sakit. Ia tidak ingat sama sekali mengapa ibunya bersikap seperti itu. Kehidupan macam apa ini. Walaupun manusia biasa menganggapnya iblis. Tapi Druf masih punya hati nurani. Virus vampir sama sekali tidak akan mengubah hatinya menjadi iblis. Mana ada seorang ibu yang mencintai anaknya sendiri seperti seorang kekasih. “Sudah paman katakan kan Druf, apapun yang ada di dirimu adalah candu. Siapa yang pernah bersent
Secantik apapun cewek yang berdiri telanjang di hadapan. Takkan bergairah tanpa adanya rasa suka. Itupun kalo jiwa elo masih waras. Alexandru Cezar. *** “FRAAAANNNNNNSSSS.” Teriaknya. Ia meraih handuknya cepat. Memakainya sekenanya kemudian keluar dari kamar itu. Frans yang tadinya masih nyantai, sampai tersedak melihat tuannya keluar dari kamar dengan kondisi yang bisa dibilang me-nak-jub-kan. “W- o -w.” Ucap frans. Yang diikuti anggukan Brian. Druf mendelik melihat kedua penjaganya malah mematung memerhatikannya. “Jangan bengung aja lu. Cepat bius tuh gadis gila biar tiduRrr.” Bentaknya. Bukannya segera melaksanakan apa yang diperintahkan, Frans malah ngomong ngelantur. “Perasaan staminanya dan bodynya yang hot gak bakalan kalah kan naklukin tuh cewek. Iya nggak Brian?” Ucap Frans masih sempat menyeruput tehnya dan diikuti anggukan Brian.”Trus kenapa dia melarikan diri, padahal anunya kenceng gitu.” Pletakk. Pletakk. “Auu!!” Teriak Brian dan Frans bersamaan. Kepal
Dalam perjalanan tak satupun ada yang bicara. Baik Elena maupun Druf. Mereka berdua sama-sama canggung. Di benak Elena kini ada perasaan takut. Mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Mungkin kali ini rasa takutnya lebih besar dari perasaan sukanya pada Druf. Cowok di sampingnya itu tidak mudah di tebak. Kadang baik, kadang kejam. Berbeda dengan Brian maupun Frans, mereka ramah. Jangan-jangan mereka bertiga bukan bersaudara seperti yang dikatakan Druf. Tapi Elena mana tahu selama kerumahnya ia belum pernah bertemu dengan orang tua Druf. “Turun.” Ucap Druf singkat. Elena kebingungan. Andaikan ia tidak melihat keluar mungkin ia tak paham dengan maksud Druf. Mereka telah sampai. Sepatu hak tinggi Elena menyentuh karpet merah. Aula sekolah sudah berubah jadi ruangan pesta kelas elit. Bahkan ada karpet merah segala. Sejenak Elena merasa malu. Baru kali ini ia memakai gaun sebagus ini. Itupun di pinjamkan Brian, katanya ia punya butik merek sendiri. Syukurlah gaun itu pas di tubuhnya.