Kota Vunia sudah mereka lalui dari tiga puluh menit yang lalu. Buggati Chiron yang dikendarai Ethand memasuki kota Sanis dengan pemandangan laut yang indah. Deretan bukit yang ditumbuhi rumput hijau dan beberapa kicauan burung yang bermain ria dengan embun pagi dan sedikit cahaya mentari itu. Dari kejauhan bubungan tinggi bangunan kota Sanis sudah kelihatan.
Sejak tadi Emma ingin bertanya ke mana atasannya membawanya. Namun ia tidak berani bersuara karena melihat raut wajah Ethand yang muram. Bahkan Emma tidak berani menurunkan kaca mobil dan membiarkan udara segar masuk ke dalamnya.
Emma menengok ke kursi belakang untuk sekedar memastikan mawar putih masih segar dan tidak rusak. Dalam hatinya menyesal karena lupa membawa ponsel untuk sekedar menemaninya dalam perjalanan yang sunyi dan asing ini. Sudah lama Emma tidak menginjakan kakinya di kota Sanis dan kini kota itu sudah semakin ramai dan bunga Camelia yang tumbuh dengan indahnya sepanjang perjalanan memasuki kota.
“Aku menyukaimu,” ucap Ryan sungguh. Jane dengan tatapan mengarah pada taman langsung menoleh pada lelaki yang duduk di hadapannya. Dengan tatapan tidak percaya ditatapinya lelaki itu secara saksama.“Main gilamu tidak lucu,” ucap Jane seraya mengambil cangkir teh dan menyeruputnya.“Aku serius.”Jane tiba-tiba bangkit dari kursinya. Tanpa berpamitan pada Ryan, ia melangkah keluar dari Wood’s Camelian café.“Jane..,” panggil Ryan seraya berlari mengejar Jane. “Jane tunggu,” panggilnya sekali lagi. Wanita terus berjalan tanpa memedulikan Ryan yang terus memanggilnya.“Jane..,” Ryan mencengkram lengan wanita itu. Jane enggan berbalik dan membiarkan Ryan mencengkram lengannya. “Apakah ungkapan isi hatiku begitu membuatmu kesal?” tanya Ryan frustrasi. Wanita yang dicengkramnya masih diam tidak bergeming. “Jawablah Jane,” pintanya.Jane me
Emma memandang lelaki di hadapannya dengan dahi berkerut. “Tidak akan kotor, Pak. Biar seimbang hancurnya,” ucap Emma dengan senyum di bibirnya. Kali ini ia mengubah topik pembicaraan menjadi hiburan bagi lelaki itu. Ternyata di tengah mewahnya Alves Corp ada lelaki yang senantiasa memendam luka. Menahan rasa sakitnya dan diam-diam mengatur semuanya agar bisa bangkit kembali. Senyum dibibirnya perlahan berubah menjadi tatapan kagum pada lelaki itu.“Kamu kerjakan apa yang menjadi bagianmu, Emma. Datanglah jika saya memanggil,” balas Ethand. Ia sedikit salah tingkah karena tatapan Emma yang tidak biasa.“Tentu, Pak. Asalkan di panggil, saya pasti merapat,” jawab Emma tanpa ragu. Kini rasa gugup dan segan pada atasannya langsung hilang.“Baiklah.” Ethand mengalihkan tatapannya pada makanan di atas meja. “Makanlah. Setelah itu kita jalan-jalan.”Emma menganggukan kepala. Namun ia kembali menatap bin
Baik Emma dan Ethand sama-sama saling menatap. Emma dengan tatapan bingung dan Ethand berusaha menahan senyumnya.“Ah Bapak kalau ngomong suka becanda,” ucap Emma seraya berbalik pada rak buah. Sorot matanya sedang menahan gugup. Terlihat jelas jika dia sedang menahan gugup dalam hatinya.“Jika Tuhan dan alam berkehendak, bercandaku akan menjadi kenyataan. Bagaimana tanggapanmu?” tanya Ethand lagi. Pertanyaannya bagaikan soal ujian terberat bagi Emma. Logaritma sesulit apa pun dapat diselesaikan Emma, namun pertanyaan dari atasannya kali ini sungguh membuatnya untuk bernapas pun sulit.“Mana bisa saya melawan kehendak Tuhan, Pak.” Emma menjawab tanpa berbalik pada atasannya. Jawabannya membuat Ethand kembali mengulum senyumnya.“Maka saya harus lebih banyak memohon pada Tuhan dan berbuat baik pada alam.”Emma mencerna kalimat yang diucapkan atasannya. Apakah dirinya salah mengerti? Ataukah memang ada
Semilir angin yang berhembus di hamparan bunga Daisy, kedua pasang langkah kaki terus menapaki setapak menuju ke sebuah lopo berjarak 500 meter dari jalan raya. Terdengar gelak tawa dari keduanya.“Sungguh indah di sini,” ujar Emma dengan tangan menyentuh pada bunga Daisy. Ethand yang berjalan di sampingnya hanya tersenyum.“Syukurlah jika kamu tidak menjerit. Ternyata kamu berbeda dengan wanita lainnya.”Emma mengernyit namun dahinya kembali normal kala menyadari arah pembicaraan Ethand. “Sebenarnya saya mau menjerit. Tapi ditahan,” ujar Emma searaya terkekeh lucu.“Apakah kamu malu karena denganku?” tanya Ethand.“Tidak, Pak. Hanya, kebiasaan itu sudah lenyap sekitar lima tahun lalu. Saat di sekolah menengah atas.” Jelas Emma.Iya. Emma lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan di depan komputer. Bahkan untuk sekedar bersenang-senang tidak dapat dilakukannya. Jarang ia
Untuk sesaat Emma terlena dengan pemandangan sehingga membuatnya begitu tersentuh lantas memeluk Ethand. Ia segera mendorong tubuh lelaki itu. “Ma-maafkan saya, Pak.” Wajah Emma langsung memerah dan terasa panas. Begitu pula Ethand yang langsung memperbaiki dasinya. Ia sedikit membatuk sekadar untuk melegakan isi hatinya.“It’s okay,” jawab Ethand sembari menormalkan debaran jantunganya yang tak karuan. “Kamu sudah menghilangkan batasan di antara kita jadi anggap saja saya adalah sahabatmu,” ucap Ethand berusaha memperbaiki suasana yang kian canggung itu.Emma mengutuk dirinya dalam hati. Mengapa bisa lose control saat ini? Tangan kanannya refleks memukul kepalanya. Hal itu tidak luput dari perhatian Ethand. Ia ingin menepis tangan itu namun sekarang bukanlah saat yang tepat.“Air di sini segar dan alami. Apakah kamu mau mencobanya?” Ethand berusaha mencairkan suasana. Walaupun di dalam hatinya juga sed
Debaran hati yang bergejolak dan perasaan lega membuat Ethand tidak bisa berhenti tersenyum. Koyakan dan luka di dalam hati seakan telah di jahit dan meyatu kembali kepingan-kepingannya. ‘Dimples’ sebuah panggilan yang diciptakan Emma membuatnya bahagia. Ia tahu apa artinya itu. Sudah lama ia tidak sebahagia ini. Bahkan lembah Sanis dengan hamparan Daisy ini bahkan ikut berbahagia bersamanya.“Baiklah. Aku suka panggilan itu,” ucap Ethand dan menatap tulus Emma.“Jika menyukainya, segeralah jawab pertanyaanku,” pinta Emma.“Apakah kamu ingin mengetahuinya?” tanya Ethand sontak membuat bibir wanita di sampingnya mengerucut.“Tentu saja, Pak- eh salah, Dimples.” Emma langsung menggigit bibir bawahnya karena lupa nama panggilan baru untuk atasan yang sekarang sudah menjadi kekasihnya itu.Ethand dengan raut wajah pura-pura marah ketika Emma melupakan nama panggilan barunya. “Baiklah aku akan menj
Sudah sekian lama Emma akhirnya bisa merasakan bahagia sesungguhnya. Diperhatikan dan disayangi oleh lelaki yang menjadi kekasihnya sejak dua jam yang lalu. Setelah menikmati lembah surga Sanis, mereka akhirnya kembali ke kota Sanis. Sepanjang perjalanan tangannya senantiasa di genggam oleh lelaki tersebut. Senyum bahagia juga terukir di wajah mereka berdua.“Apakah kamu bahagia hari ini?” tanya Ethand seraya mengusap lembut tangan Emma.Emma mengangguk dan tersenyum. “Bahagia sekali,” jawabnya dan membiarkan tangannya diusap oleh Ethand. “Kita mau ke mana?” tanya Emma ketika melihat mobil yang dikendarai Ethand berbelok ke arah yang berlawanan dengan kota Vunia.“Ada sesuatu yang harus dibeli, Emma,” jawab Ethand dan memainkan sebelah matanya pada Emma. Wanita itu langsung tertawa karena pertama kalinya melihat Ethand berbuat demikian.“Ternyata kamu orangnya lucu,” ujar Emma.“Ha
“A-apa? Me-nikah?” Emma terkejut dengan pertanyaan itu. Baru beberapa jam ia menjalin kasih dengan Ethand namun sekarang sudah di tanya kapan menikah. Joyce dan Jian saling menatap.“Kami belum lama menjalin hubungan. Jadi butuh waktu untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya,” ujar Ethand. Ia juga terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Joyce.“Kami tunggu kabar baik secepatnya, Ethand,” balas Joyce.“Jangan lama-lama malu sama umur,” ucap Arnold. Ethand lagi-lagi menggaruk tengkuknya.“Amin,” ucap Ethand kemudian. Ia sudah memikirkan tentang masa depan hubungannya dengan Emma. Namun ia juga harus memberi waktu pada wanita itu.Emma hanya bisa memberikan senyum pada keluarga itu. Sungguh pertanyaan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Namun, ketika mendengar harap dari Ethand, hati Emma menghangat. Jadi, atasannya itu sungguh menjalin hubungan yang serius dengannya.