Share

The Ex Brother 2
The Ex Brother 2
Author: Dwi Sartika Juni

1. Si Pengacau

Olivia Finley

“Bisakah kau mengantarkan pakaianku sekarang, Nona?” Suara diseberang terdengar mendesak, terlewat menyebalkan, dan berisik.

“Itu artinya ada tambahan biaya sebesar dua ratus ribu.” Kuberitahu dia sebelum nanti menolak tagihan, padahal si jalang ini yang bersikeras diawal bahwa dia akan mengambil sendiri pakaiannya di tempatku.

“Ya, ya. Itu tidak masalah. Tolong antarkan sekarang. Akan kukirimkan alamatnya.”

Aku mengiyakan dengan cepat dan mengakhiri panggilan. Melihat alamat yang dikirimkan dan mulai memikirkan cara untuk menempuh jarak ini hanya dalam hitungan enam menit saja.

Meminta Hyra Lewis berjaga di depan, aku segera membawa dua dress berbahan tipis bergelimang mutiara di beberapa bagian—aku sama sekali tidak sempat memperhatikannya—yang sudah berplastik kemasan dengan gantungannya ke mobilku.

Benar, aku bisa tiba hanya dalam hitungan enam menit ke hotel Oceana. Aku berjalan melintasi lobby dengan cepat, berpapasan dengan beberapa orang pria yang semuanya asing bagiku, lalu menuju elevator.

Aku berhasil melewati desakan di dalam elevator dengan tetap menjaga kerapian pakaian yang kubawa. Lalu mengetuk pintu kamar dua nol satu, tapi tidak ada jawaban setelah aku menunggu sebentar.

Saat kuayunkan kepalan tanganku sekali lagi untuk mengetuk pintu, sebuah cengkeraman kurasakan menahan gerak tangan kananku.

Menoleh ke kanan dengan perasaan kesal, aku melihat seorang pria—tidak tampan, tidak juga jelek—hanya saja tubuhnya tinggi, sedang menatapku dalam sepasang mata yang teduh, namun sorotnya begitu tajam.

Berbahaya!

Seketika itu juga dia melepas cengkeramannya padaku.

“Berikan pakaian itu padaku, Nona.” Dia melirik kemasan plastik dengan hanger di tanganku.

“Nona Siren harus membayar tagihan ini, dan tambahan dari biaya pengantaran.” Kukeluarkan secarik faktur berisi detail layanan yang kuberikan pada wanita bernama Siren itu, ke hadapan pria ini.

Ah, ya. Aku ingat wajah ini. Tadi kami berpapasan di lobby. Dia satu di antara tiga pria yang berjalan lawan arah denganku.

“Ini. Dan sisanya ambil saja untukmu.” Dia menyerahkan lima lembar ratusan yang dua dari itu, bukanlah hakku.

Pria ini menatapku dengan garis kerutan sekilas di keningnya yang gelap.

“Tidak perlu, Tuan, terima kasih. Aku mengambil sesuai tagihan Nona Siren saja. Ini kembaliannya.” Kusodorkan dua lembar ratusan ribu itu padanya.

“Terima saja.” Dia bersikeras.

“Tidak, Tuan. Terima kasih banyak.”

Kudengar dia menghembuskan napasnya dengan kasar, mungkin saja kesal.

“Kau ini keras kepala sekali ya?”

Kutebak dia sedang mengejekku. Suaranya terdengar menghina. Tapi apa peduliku? Mengenalnya saja tidak!

Tersenyum canggung ala diriku. Biar kutunjukkan bagaimana aku sangat tidak nyaman bicara dengannya.

“Permisi, Tuan.” Aku berpamitan sambil lalu, sembari berjalan.

Tidak kudengar suara apa pun dibelakangku. Bagus. Sekarang saatnya pergi—

Ponselku berdering dan bergetar sekaligus. Cepat gerakan tanganku meraih ponsel dan menjawab panggilan.

“Halo,” sapaku pelan.

“Aku mendengar suaramu bergema. Kau di mana?” Diseberang, seperti biasa.

“Di lorong hotel.”

“Kau ....” Dia menggantungkan ucapannya dengan nada hening sebagai latar belakangnya.

“Mengantarkan pakaian pelanggan.” Aku sudah siap mendesah kecewa. Aku rindu padanya, sangat.

“Dia—”

“Dia seorang wanita, Sayang.” Walau justru pria yang mungkin kekasih, suami, atau selingkuhannya yang menerima pakaiannya tadi.

Helaan lega, aku tahu. Meski terdengar dia berusaha menutupinya. Jika begitu khawatir, kenapa tidak datang ke sini untuk memastikannya sendiri?

Seseorang terdengar memanggil namanya, suara pria asing. Jadi aku berdiam diri menunggunya mengakhiri panggilan. Seperti biasa. Seperti ketika aku tidak pernah memiliki keberanian untuk mengeluh, apalagi protes padanya.

“ZeeZee, ah Olive. Sampai nanti, Sayang. Aku harus pergi.” Dia masih sulit membedakan dua nama itu.

“Ya. Aku mencintaimu, Rhys.” Ucapan penuh rasa rindu itu membuatku bersedih, ini ....

“Aku juga sangat mencintaimu.”

Langsung kutekan tanda panggilan harus berakhir. Aku sudah tidak lagi kuat menahan suaranya berlama-lama terdengar di telingaku.

Memang baru sekitar dua bulan atau lebih sedikit, Rhys mengunjungiku ke sini, seperti kebiasaannya sejak dua tahun aku menghilang dari Yellowrin.

Tapi kebiasaan itu mulai sedikit banyak berubah, sejak kematian David dan Tessa Oxley.

Mereka berdua mengalami kecelakaan pesawat terbang tujuh bulan lalu. Aku tidak datang ke pemakaman keduanya karena Rhys dan Luigi melarangku. Dua kakak beradik itu, menganggap keadaan tidak aman untukku jika aku tiba-tiba kembali ke Yellowrin.

Apa maksudnya itu? Apa keberadaanku seberbahaya anggota keluarga Oxley lainnya? Jelas tidak! Aku bukan ancaman bagi siapa pun, kecuali dua orang tua yang telah membesarkanku selama dua puluh tujuh tahun itu. Aku memang—

Ah, sial! Aku mulai kesal dengan gangguan telepon walau sebenarnya ini memang harus kuterima sebagai bentuk profesionalisme pekerjaanku yang seorang penerima jasa.

“Ya, halo—”

“Kenapa pakaianku seperti ini?” pekik wanita diseberang, dan itu Siren.

“Kenapa dengan pakaianmu?” Berusaha santai, sangat santai, aku bertanya sambil mencurigai sesuatu. Pria tadi. Pasti dia.

“Ganti rugi pakaian mahal edisi terbatas milikku ini!” Dia memekik lagi. Daripada marah, suaranya lebih terdengar panik dan frustrasi.

“Tanyakan pada pria yang memberikan pakaian itu padamu.” Aku tidak ingin bertanggung jawab, sungguh.

“Pria? Siapa? Pelayan hotel? Dia yang melakukannya?”

Sialan! Si berengsek itu pasti sengaja memberiku pelajaran, bermain-main dengan pekerjaanku. Tapi bodohnya aku, kenapa tadi kuberikan begitu saja pakaian milik Siren padanya?

“Hei, bisakah kau ke sini saja dan kita bicarakan ini?” Siren masih sama, panik dan frustrasi. Kombinasi yang tepat.

“Ya, baiklah.” Aku menyerah, tanggung jawab dan kepercayaan, serta nama baik penatu milikku menjadi taruhan besar dalam hidupku sekarang. Tanpa usaha ini, aku bisa apa di kota kecil yang apa pun itu dijual dan berharga tiga kali lebih mahal dibandingkan kota lain.

Terjadi begitu cepat, padahal baru saja aku menyusuri lorong sembari menerima panggilan dari Rhys dan pria sialan yang tadi di depan pintu, bisa segera menghancurkan pekerjaanku dalam sekejap.

Kamar dua nol satu. Lagi, aku mengetuk pintunya. Seperti tadi, tidak ada jawaban. Dengan perasaan emosi yang mulai mencapai titik didih, aku memutar gagang pintu dan terbuka.

Ah, seharusnya sejak awal aku langsung bergerak seperti ini agar tidak ada masalah lain, dan aku tidak perlu bertemu si pria berengsek itu!

Kosong. Apa dia di kamar mandi?

Aku menutup pintu, dan pria tadi ternyata ada dibaliknya. Dasar sialan!

“Kau tidak terkejut? Itu hebat.” Pertanyaan sekaligus pujian.

Terkejut, tentu saja. Tapi berhubung aku memiliki kehidupan masa lalu yang selalu memacu adrenalin, hal seperti ini tidak akan membuatku berteriak-teriak histeris atau menangis dan berlutut mohon pengampunan agar tidak dilecehkan.

“Katakan, apa tujuanmu dan apa maumu, hah?” Aku membentak. Selama dua tahun tinggal di kota ini, aku tidak pernah bermasalah dengan siapa pun. Kuhindari itu karena pekerjaanku membutuhkan kepercayaan dan nama baik dari pemiliknya. Menurutku begitu, atau memang aku yang sudah lelah terus berbuat onar seperti di Yellowrin.

“Tidak ada. Aku tidak bertujuan apa pun, tapi aku memang mau satu hal darimu.”

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status