Mentari pagi mulai menemani hiruk pikuk kota Jakarta yang selalu memadati jalan raya setiap harinya. Kalila harus bergegas ke kampus untuk mengikuti bimbingan skripsi karena dua minggu lagi dia akan mengikuti sidang akhir untuk Skripsi, sebuah mata kuliah akhir yang menentukan kelulusan bagi setiap mahasiswa yang tengah mengambil gelar sarjana.
"Kalila, kamu jadi bimbingan?" Tanya Janu yang seketika sudah berada di samping Kalila saat Kalila terlihat berjalan dengan buru-buru.
Kalila terbelalak terkejut melihat Janu sudah berada di sampingnya "Ya ampun! Mas Janu ngagetin aku. Jadi, Mas. Ini aku mau ke ruangan dosen. Mas ngapain di kampus aku?” Tanya Kalila dengan menyipitkan matanya.
"Aku disuru ngisi seminar untuk anak Fakultas Manajemen Bisnis. Kamu gak jadi moderator?” Tanya Janu memastikan kepada Kalila.
Pertemuan Kalila dan Janu terjadi ketika Kalila menjadi moderator seminar yang diadakan di kampusnya. Terlihat Janu seringkali menjadi pembicara atau pun motivator muda yang selalu di undang oleh kampus Kalila.
Adanya kegiatan itu membuat Janu dan Kalila mau tidak mau harus mengenalkan diri mereka satu sama lain dan juga berdiskusi atau melemparkan tanya jawab saat seminar. Hal itu pula yang menyebabkan Janu dan Kalila sudah akrab dan tidak canggung untuk memulai sapa.
"Ah nggak, Mas. Dua minggu lagi aku sidang skripsi. Kalo aku skip bimbingan sekarang demi jadi moderator yang ada aku gak jadi ikut sidang, deh.” Jelas Kalila sembari tertawa
“Haha. Ya jangan lah. One step closer, Lila. Aku doain semoga sidang kamu lancar. Oh iya, aku ke gedung M dulu ya. See you!" Ucap Janu sembari melambaikan tangannya kepada Kalila.
***
“Lila, gimana bimbingannya?” Tanya Janu menghampiri Kalila yang baru saja keluar dari ruangan dosen.
Kalila menatap Janu dengan tatapan terkejut dengan tangan kanannya yang masih menutup pintu ruangan dosennya “Loh, Mas kenapa ada di fakultas aku? Udah selesai ngisi seminar?”
“Mau ngajak kamu lunch bareng. Udah, kok. Kalo belum mah aku gak disini kali.” Jawab Janu memberikan candaan.
“Tapi…” Ucap Kalila yang tampak tengah berpikir “Tapi Mas tau darimana ruangan dosen aku?”
“Apa sih yang aku gak tau!” Ucap Janu dengan sombong “Intinya sekarang kita makan dulu! Pasti kamu laper, kan? Energi sama pikiran kamu pasti udah habis buat bimbingan tadi.” Jelas Janu sembari menarik tangan Kalila. Bahkan wanita itu pun masih belum sempat menyetujui ajakan Janu.
Janu dan Kalila memang sudah tertarik satu sama lain semenjak acara seminar kampus yang mempertemukan mereka. Tidak bisa di pungkiri Kalila memang menginginkan pria yang cerdas, berwibawa, dan aktif di bidang karir. Begitu pun dengan Janu, dia menginginkan wanita cantik dan cerdas yang akan dia jadikan pasangan. Kriteria itu sudah ada dalam diri wanita yang ada di hadapan Janu, yaitu Kalila.
“Silahkan, Mas, Mbak.” Ucap salah satu pelayan restaurant yang menghidangkan Es Teller dan Nasi Ayam di atas meja Janu dan Kalila.
"Kok kamu bisa keren banget sih, Mas? Baru lulus kuliah empat tahun yang lalu sekarang udah presentasi kesana sini dan punya bisnis yang kamu bangun sendiri dari nol." Ucap Kalila dengan tatapan kagum
"Aku ambisius dengan mimpi-mimpi aku. Kamu juga pasti bisa, kok. Apalagi kamu aktif kan di kegiatan kampus, contohnya jadi moderator. Itu salah satu peluang loh." Jelas Janu.
"Oh iya, Lil. Aku mau nunjukin presentasi aku buat besok nih. Aku butuh masukan dari kamu. Bisa gak?" Tanya Janu sembari mengaduk es teller yang ada di hadapannya.
"Oh boleh-boleh. Mana presentasinya?”
“Ada di rumah aku, Lil. Ntar kita ke rumah aku gimana?”
"Okay.” Jawab Kalila yakin.
Kalila memang sudah beberapa kali mengunjungi rumah Janu. Rumah mewah nan megah. Rumah yang megah namun terasa seperti tidak memiliki penghuni. Hal itu terjadi karena orangtua Janu yang memang seringkali harus keluar negeri untuk mengurus bisnis mereka.
Sementara Janu adalah anak satu-satunya sehingga rumah itu terlihat sunyi jika orangtuanya pergi ke luar negeri maupun ke luar kota. Bahkan sampai saat ini pun Kalila belum pernah bertemu dengan orangtua Janu saat dia berkunjung ke rumahnya.
***
Janu dan Kalila terlihat sudah berada di ruang kerja Janu. Terlihat Janu tengah sibuk menghidupkan overhead projector. Ya, projector yang di pakai untuk presentasi sebelum teknologi sudah canggih seperti sekarang ini.
Sebelum orang-orang memakai laptop dan infocus, Overhead projector adalah sarana yang di gunakan jika ingin mempresentasikan materi.
Janu mengambil kertas yang sudah di siapkannya untuk presentasi dan meletakkannya di pelat kaca proyektor yang memiliki sumber cahaya di bawahnya. Kemudian lensa di atasnya memantulkan materi yang di presentasikan Janu ke sebuah layar putih yang ada di hadapan Kalila.
Kalila melihat setiap presentasi yang ditunjukkan oleh Janu. Namun, Kalila agak sedikit bingung dengan presentasinya yang menyuguhkan materi tentang dunia bisnis. Hal itu memang sangat bertolak belakang dengan latar pendidikan Kalila sebagai mahasiswi Hukum.
"Menurut aku sih presentasinya udah oke, Mas. Tapi aku agak bingung aja sama materinya."
"Gapapa, Lil. Kamu liat penulisan aku aja ya. Dan diagram-nya udah nyambung apa belum." Jawab Janu melempar senyum.
Kalila mengangguk dan kembali menghadap ke layar putih yang berada di hadapannya. Namun, materi yang di sampaikan sangat bertolak belakang dengan materi sebelumnya.
“Aku tau kita hanya bertemu dalam waktu singkatNamun, aku gak bisa menutupi kalau hati dan jiwaku menginginkan kamu”
“Kalila...Mau kah kamu menjadi kekasihku?”
Kalila terkejut dengan presentasi Janu yang tiba-tiba terpampang di hadapannya sebuah pernyataan cinta.
"Mas... Maksudnya?" Tanya Kalila menatap Janu dengan penuh kebingungan.
Janu mendekati Kalila yang tengah duduk di sofa dan berlutut di hadapan Kalila "Kamu mau gak jadi pacar aku?"
"A-a-aku--" Kalila menghela napas "Mas, ini bener-bener di luar dugaan aku. Aku gak tau mau ngomong apa." Jelas Kalila terharu dan matanya pun berkaca-kaca.
"Jawabannya iya atau nggak, Lil? Please!!!" Ucap Janu dengan tatapannya yang memohon kepada Kalila.
"Sure." Jawab Kalila yakin
"Serius?" Tanya Janu memastikan dengan membelalakkan matanya.
"Iya, Mas."
Janu pun meraih tubuh Kalila dan langsung memeluk wanita yang dia idam-idamkan selama ini. Pada akhirnya, wanita itu sudah berhasil menjadi miliknya.
Kehilangan pasangan hidup untuk selamanya bukanlah hal yang mudah. Hal itu pula yang saat ini di rasakan oleh Janu. Saat ini, kehilangan Kalila adalah suatu hal yang paling tidak mungkin untuk di cari.Sudah beberapa hari dari kepergian Kalila, Janu tidak pernah melahap makanannya. Hanya satu sampai dua sendok saja untuk menahan lapar.Setiap harinya, Janu selalu menghabiskan waktu di kamar dengan memandangi foto Kalila dan juga album kenangan yang mereka ciptakan bersama.“Pa, makan dulu. Nanti Papa sakit.”“Papa cuma butuh Kalila.”“Pa, jangan kaya gini. Ikhlasin Mama. Mama udah nulis di surat itu kalo Papa harus ikhlasin Mama.” Tegas Radit kepada Janu.“Mama kalian cantik banget, ya. Selain itu dia wanita yang kuat, tulus, sabar. Papa beruntung punya Kalila di hidup Papa.” Ucap Janu tanpa merespon pernyataan Radit sembari mengusap foto Kalila.“Iya, Pa. Kita paham. Papa makan du
“Lila… Makan dulu, yuk. Aku coba buatin kamu sup ayam.”“Kalila… kamu kecapean ya? Mau makan nanti aja?” Tanya Janu sembari mengusap kepala Kalila. Namun Kalila belum juga bangun dari tidurnya.“Lila…” Ucap Janu lembut. Janu merasa aneh dengan tubuh Kalila yang sedari tadi tidak merespon apa pun, wajahnya pucat serta tubuhnya terasa sangat dingin.“Kalila….”“Dokter Adrian, Kalila kenapa???” Teriak Janu dan sontak dokter Adrian dan suster pun bergegas menuju ke kamar Kalila diikuti dengan Radit dan Dila“Sebentar, Pak.” Ucap Adrian dan langsung memeriksa Kalila.Dokter Adrian menghela napas, dia menatap Janu dengan tatapan iba, seakan tidak tega untuk memberitahu kebenaran kepada pria yang berumur tujuh puluh tahun itu. “Pak Janu…” Ucap Dokter Adrian dengan bersusah payah menelan ludahnya “Ibu Kalila sudah pergi mening
Tidak terasa sudah beberapa tahun Kalila dan Janu menjadi suami istri sah dan juga tinggal di rumah Janu yang megah itu. Hingga saat ini, anak mereka yang kedua, yaitu Dila. Harus pergi meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan gelar sarjananya di London, mengikuti jejak Radit.“Ma, Pa… Dila pergi dulu, ya.” Ucap Dila sembari memeluk Janu dan juga Kalila.“Hati-hati, ya, sayang. Titip salam sama Mas kamu.” Jelas Kalila yang selalu saja mengingat Radit. Dila pun pergi ke bandara dengan sopir pribadinya yang sudah menunggu di halaman rumah.Janu menghela napas saat mobil yang mengantar Dila sudah tidak lagi terlihat dari halaman rumah mereka “Aku seneng banget bisa lihat perkembangan anak kita sama-sama yang bahkan udah merantau sekarang. Makasi ya sayang udah mau ngerawat dan ngejaga anak kita khususnya Radit.” Jelas Janu sembari merangkul Kalila dengan mata Kalila yang tampak sembab akibat melepas anak perempuannya untuk
“Aku benci kamu, Mas Janu. Pergi dari sini!!!” Teriak Kalila kepada Janu sementara Radit menahan tubuh Kalila yang sedari tadi ingin memukuli Ayahnya.“Lila, aku sayang kamu. Kita udah baikan, sayang. Aku gak pernah tinggalin kamu lagi.” Lagi-lagi, Janu tidak pernah menyerah menyebutkan kalimat itu.Dila mendekati Kalila dan Radit yang tengah susah payah menahan tubuh Kalila.“Kamu siapa?” Kalila melontarkan pertanyaan itu kepada Dila dan sontak hal itu membuat Dila terbelalak terkejut.“Aku Dila, Ma. Anak Mama.” Ucap Dila sembari mencoba menyentuh tangan Kalila.“Nggak!” Seru Kalila sembari menghempaskan tangan Dila kasar “Anak aku Cuma Radit. Kamu pasti orang suruhan Mas Janu buat ambil Radit dari aku, ‘kan?”Dila menatap Kalila dengan tatapan kecewa, bagaimana bisa Kalila hanya mengingat Radit? Apakah dari dulu Radit memang selalu jadi anak kesayangan Kalila? Di
Kalila akhirnya menikah dengan Janu, namun bukan pernikahan seperti ini yang di impikannya dulu. Dia memimpikan pernikahan dimana keluarganya masih ada di sampingnya. Satu-satunya keluarga yang dia punya saat ini hanyalah Rangga, Adiknya.Pernikahan Janu dan Kalila di adakan di rumah orangtua Janu, rumah Rostiana dan juga peninggalan Gunadhya. Pernikahan yang di gelar pun tampak sederhana dan hanya beberapa kerabat terdekat saja yang hadir dalam acara pernikahan itu, seperti permintaan Kalila. Bertolak belakang dengan Janu yang menginginkan pernikahan yang mewah. Namun, apa pun itu, dia menurunkan egonya, yang terpenting dia bisa hidup bersama Kalila.“Hei, kak. Kenalin ini pacar aku. Namanya Mentari.” Ucap Rangga yang sudah berada di hadapan Kalila dengan menggenggam tangan MentariKalila pun terbelalak terkejut melihat adiknya itu menggandeng tangan seorang wanita di hadapannya “Loh… Bukannya---” Seketika pembicaraan Kalila
Ruangan sidang pengadilan, sebuah ruangan dimana setiap orang selalu mengadu nasib atas permasalahan yang di hadapi dan juga nasib mereka yang berada pada keputusan hakim yang selalu memutuskan setiap perkara yang mereka miliki.Ya, Kalila sedari tadi tengah memperhatikan penjelasan Rangga yang sedang menyelesaikan kasus kliennya. Mereka berdua terlihat sangat professional tanpa memandang latar belakang sebagai keluarga.Setelah persidangan selesai, Kalila dan Rangga pun bertemu di salah satu restaurant untuk makan siang bersama seperti yang sudah mereka janjikan."Kakak yakin balikan sama Mas Janu?" Tanya Rangga saat dia tengah mengunyah nasi ayam."Iya. Aku balik demi Radit." Ucap Kalila namun tatapannya kosong.Rangga bukanlah anak kemarin sore yang bisa di bodoh-bodohi dan di bohongi seperti itu. Apalagi, tuntutan pekerjaan Rangga yang sudah menggeluti dunia hukum dan bertemu banyak kasus akan sangat mudah sekali melihat hati Kalila ba