Priska tampak duduk di lobi depan bersama Ferry yang menenteng kamera TV. Gadis itu tersenyum melihat kedatangan Arya.
“Hai...” sapa Priska.
Arya menatap Priska dalam-dalam.
“Ada apa Lo kesini? Bukannya Lo sedang tugas?” tanya Arya.
“Benar. Tapi ada yang ingin Gue tanyakan ke Lo,”
“Tanya apa?”
Priska menghela nafasnya sebentar. Rambutnya yang agak basah meneteskan butir-butir air pada baju kerjanya.
“Tentang cuaca yang terjadi sekarang, Lo tahu kan penyebabnya?”
Arya tertegun. Dia tidak menyangka Priska akan bertanya seperti itu. Seketika itu juga dirinya sadar kalau Priska tidak datang sendiri. Dia membawa seorang juru kamera. Pasti gadis itu sedang mencari berita.
Tapi dari mana Priska tahu kalau hujan yang terjadi hari ini bukan hujan biasa? Atau dia hanya menebak-nebak saja?
“Kenapa Lo berkesimpulan begitu?” Arya balik bertanya.
&ld
Priska tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hari kiamat? Hal itu tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lutut gadis itu serasa lemas. Keingintahuan yang begitu besar yang tadi menghinggapi dirinya hilang seketika, berganti dengan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. “Kita harus pergi sebelum segala sesuatunya menjadi buruk.” Kata Peter. “Apa yang menjadi buruk?” tanya Ferry heran. “Tentu saja cuaca ini.” “Maksud Anda?” Peter memandang Ferry sejenak. Dia maklum, sebagai orang awam Ferry memang tidak begitu mengerti tentang ilmu astronomi dan cuaca. “Terus terang saya tidak mengerti. Jika benar ada bintang dekat kita yang sangat panas, kenapa di Jakarta malah hujan. Disertai badai lagi. Ada apa ini?” tanya Ferry lagi. Peter menarik nafas. Dia terpaksa harus menjelaskan semuanya. “Anda tentu tahu tentang penguapan air bukan? Siklus air di alam hingga menghasilkan hujan?” kata Peter. Ferr
Di dalam toilet, Priska menenangkan dirinya sambil membasuh wajahnya di wastafel. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, dan di dalam hatinya dia menyangkal hal tersebut. Hari kiamat? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Timbul setitik penyesalan di hati Priska. Kenapa dia tidak menuruti kemauan ibunya agar sekali saja bisa pulang ke rumah. Jika saja ketika itu dia pulang, paling tidak jika hari kiamat itu benar-benar terjadi, saat ini dia telah berkumpul bersama keluarganya, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintai dirinya. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu, Priska merogoh saku bajunya dan mengeluarkan Ponselnya. Dia hendak menelepon ke orang tuanya. Memberitahu semuanya sekaligus permintaan maaf dan penyesalannya. Tidak ada respons dari seberang telepon. Priska mencoba kembali menekan nomor ponsel orang tuanya. Hasilnya sama saja. Berapa kali pun dia mencoba, tetap tidak berhasil. Kenap
Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Bandung. Hujan deras yang mengguyur Bandung sejak dini hari tidak urung membuat Markas Polda Jawa Barat terkena banjir. Apalagi daerah di mana markas itu berdiri adalah dataran yang lebih rendah dari daerah lain, sehingga menjadi tempat berkumpulnya air yang mengalir dari daerah yang lebih tinggi. Sejak pagi para anggota polisi yang berada di Polda sibuk menyelamatkan segala sesuatunya dari banjir, termasuk para tahanan yang berada di sel. Karena sel tahanan yang berada di bagian belakang kompleks Polda termasuk salah satu area yang tergenang air cukup tinggi, maka para tahanan harus dipindahkan ke area yang lebih aman. Dengan diiringi pengawalan para petugas polisi bersenjata, para tahanan pun digiring dari selnya ke bagian depan kompleks. Termasuk di antara para tahanan tersebut adalah Albertus Somata, pemimpin Sekte Hari Kiamat yang menghebohkan akhir-akhir ini, dan baru ditangkap kemarin.
Andi sedang berada di dalam mobil BMWnya, terjebak di tengah kemacetan dan genangan air yang menghambat perjalanannya. Dalam hati dokter muda itu menyesal memakai mobil barunya di tengah hujan lebat yang mengguyur Jakarta sejak pagi. Kini, mobil yang dibelinya dengan sangat mahal itu, yang tadi pagi masih berkilat, telah basah dan dipenuhi lumpur dari genangan air yang dilewatinya sepanjang jalan. Andi juga merutuk karena tidak memperkirakan jalanan bakal semacet ini. Karena kesibukannya, Andi tidak sempat mencari info apa pun mengenai kondisi lalu lintas sebelum pergi. Yang jelas saat ini dia melihat orang-orang yang panik di jalan, sibuk seperti hendak keluar kota. Dokter muda itu hanya menduga mungkin ini karena liburan panjang dan efek arus mudik menjelang Idul Fitri. Tapi di sisi lain, Andi juga sempat melihat beberapa kerumunan massa yang nekat menjebol toko-toko dan menjarah isinya. Ada apa ini? batinnya. Setahu Andi, walau menjelang Idul Fitri terjadi
11.35 WSKota Jayapura yang terletak di pinggir pantai Samudera Pasifik bagaikan lenyap di telan bumi. Gelombang raksasa yang menghantam daratan hingga sejauh beberapa puluh kilometer dari bibir pantai telah menghancurkan segalanya. Bangunan, tumbuhan, dan kehidupan lainnya. Belum lagi adanya arus balik kembali ke laut yang menyeret apa saja yang dilaluinya. Pasca serangan gelombang raksasa yang mendadak itu meninggalkan genangan air setinggi kurang lebih 5-10 meter. Mayat makhluk hidup termasuk binatang dan manusia tampak mengambang. Beberapa orang yang selamat dari gelombang raksasa tersebut tampak mencari tempat yang lebih aman, seperti puncak gedung bertingkat, ataupun perbukitan yang mengelilingi ibukota provinsi paling timur Indonesia itu.Sekitar 8 kilometer sebelah selatan Jayapura, sebuah kompleks perumahan penduduk juga tidak luput dari serangan gelombang raksasa yang mendadak itu. Tapi tidak seperti tempat lainnya, kompleks perumaha
09.41 WS Hal yang sama terjadi juga pada Jakarta. Seperti juga kota-kota lainnya yang terletak di pinggir pantai, Jakarta hampir rata dengan tanah, tersapu gelombang raksasa yang memorak-porandakan semua infrastruktur di ibukota negara tersebut. Dari puncak bukit, Arya memandang ke bawah, ke kejauhan di mana tadinya terdapat sebuah kota bernama Jakarta. Kini yang terlihat hanya hamparan air membiru yang sangat luas. Walau serangan gelombang telah reda, tapi air tidak segera surut. Hal itu karena Jakarta terletak di dataran yang paling rendah dekat bibir pantai, dan datarannya yang luas relatif sama ketinggiannya sehingga air mengalir lambat kembali ke laut. Hujan sendiri telah mereda, hanya tinggal bintik-bintik air saja yang masih turun. Walau begitu awan tebal masih menggelayut di langit. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati Arya. Terlebih dia memikirkan nasib Priska yang terakhir kali diketahuinya masih berada di dalam kota.
15 Mei 2012 01.42 WS (Waktu setempat) , Observatorium Boscha, Lembang – Bandung.. Arya melepaskan matanya dari lensa teleskop raksasa yang sedari tadi dihadapinya. Pemuda berusia 23 tahun itu mendesah pelan. Tampak kelelahan terpancar dari wajahnya. Sejak tiga hari terakhir ini, dirinya bagaikan menjadi seekor kelelawar, tidak tidur setiap malam. Itu dilakukan Arya untuk mengejar tugas skripsinya di jurusan Astronomi ITB. Pintu di lantai bawah ruang teleskop utama terbuka. Seorang pemuda yang usianya hampir sebaya dengan Arya memasuki ruangan. Namanya Purwanto. Kedua tangannya memegang dua gelas kopi panas yang baru dibuatnya. Purwanto menaiki tangga menuju ke arah teleskop utama. “Aku sudah buatkan kopi untukmu.” kata Purwanto sambil meletakkan salah satu gelas yang dipegangnya di atas meja kecil dekat Arya. “Thanks, ” balas Arya. “Bagaimana?
Dua bulan kemudian... Kantor Pusat National Aeronautics and Space Administration (NASA), Washington DC – Amerika Serikat... Seorang pria berusia 51 tahun bertubuh tinggi kurus dan berambut pendek memutih memasuki Administrator NASA dengan membawa sebuah map di tangan kanannya. Dia adalah John Whilton, Direktur Penelitian NASA yang sudah bekerja selama lebih dari 20 tahun di lembaga antariksa milik . Administrator NASA Robert Payton yang tadinya sedang fokus pada layar monitor di meja kerjanya mengalihkan pandangannya pada John. “Saya sudah dapatkan hasil dari Hubble dan satelit Prometheus. Itu memang benar bintang baru dengan kategori bintang kerdil bertipe K. Tapi saya rasa kategori ini bisa berubah.” Ujar John. “Oya, bintang kita itu telah mempunyai nama. Alpha Veta,” Pria itu menambahkan. “Alpha Veta