Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma.
Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai.
Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie.
Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan.
Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan orang-orang di sekitarnya. Melanie tidak termasuk.
"Tutup bola matamu pakai ini." Solusi yang diberikan Melanie, ia gunakan sampai sekarang. Ah mengingat gadis itu. Ia jadi bertekad lekas menyelesaikan misi.
Pukul delapan pagi, jadwal Aaron pergi ke kantor. Pria itu akan berperan sebagai pengusaha, namun malam harinya, kehidupan sesungguhnya baru dimulai.
Dua orang pelayan wanita sudah siap untuk membantu pria itu untuk berpakaian. Aaron hanya tinggal merentangkan tangan dan pakaian itu segera dipasangkan oleh bawahannya.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan."
"Sampaikan pada Lucia, suruh dia berdandan. Nanti malam aku akan menggunakannya."
"Maaf, Tuan. Bukankah Nona Lucia sudah memberitahu Anda, bahwa selama seminggu ke depan dia tidak bisa melayani Anda karena berhalangan."
Aaron menutup mata sebentar. "Ah ya, aku lupa."
"Oleh karena itu, Nona Lucia meminta izin untuk berbelanja barang pribadinya, Tuan."
"Ya aku izinkan dia berbelanja. Berikan dia kartu kredit hitamku. Dia boleh belanja sepuasnya, tapi...."
Aaron mengangkat tangan. Dua pelayan tadi menjauh darinya. Aaron memandang orang kepercayaannya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan 'kan? Awasi dia?"
"Siap, Tuan. Saya akan siapkan semuanya."
"Aku perlu sarapan." Aaron melenggang keluar dari kamar. Lalu diikuti oleh empat orang pria berpakaian serba hitam rapi dengan masing-masing di telinga mereka terdapat headset earphiece.
Kebanyakan untuk urusan rumah, Aaron memilih pekerja wanita. Sedangkan untuk penjaga kebanyakan pria, ada juga wanita yang bertugas sebagai penjaga, tetapi mereka termasuk dalam kelompok Dare Devil.
Kursi ditarik oleh salah satu pelayan lalu Aaron duduk dengan angkuh. Pelayan lainnya mulai menghidangkan makanan.
Aaron melirik Ben yang telah muncul di sampingnya lalu ia berkata. "Apa harus setiap kali aku menyuruhmu duduk, kau baru duduk?"
Ben menarik kursi, lalu ia duduk di samping Aaron. Ia juga dilayani karena perintahnya adalah nomor dua yang harus dipatuhi setelah Aaron.
"Oh ya, hari ini aku ingin mengunjungi pembangunan hotel di area jalan Archeolo, kenapa lama sekali pekerjaan pembangunannya?" Aaron bertanya di sela kunyahannya menyantap pasta.
"Ada sedikit kendala, Tuan. Mereka sudah selesai mengatasinya, kita bisa pergi ke sana hari ini."
Aaron berdehem, ia menenggak air putih sampai tandas lalu menyeka bibir menggunakan lap.
"Kumpulkan para gadisku di sini. Aku ingin memilih untuk nanti malam."
"Baik, Tuan." Ben merogoh saku jas dan mengeluarkan remot kecil dari sana. Hanya tinggal tekan. Mereka akan berkumpul dengan sendirinya.
Ada sebuah pintu khusus yang menghubungkan antara Mansion dan paviliun dan para wanita akan melewati pintu itu.
Ada lima belas wanita piaraan Aaron, tidak termasuk Lucia karena wanita itu sudah naik pangkat menjadi wanita kesayangan.
"Apa kalian jarang makan? Kenapa begitu kurus dan tidak sedap dipandang."
Para wanita itu saling lirik. Bila banyak makan, mereka takut gemuk. Aaron tidak suka wanita gemuk. Itu sebabnya mereka tidak makan makanan yang disuguhkan pelayan yang termasuk makanan golongan berat.
"Maaf, Tuan. Kami hanya ingin menjaga bentuk tubuh kami," sanggah wanita bernama Livia. Demian memandang wanita itu.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan." Yang dipanggil maju ke depan.
"Singkirkan dia."
Livia membulatkan mata. Ia segera berlutut dan mengakui kesalahannya yang telah salah bicara. Ia lupa bila Aaron tidak suka dibantah.
"Tuan, ampuni saya."
Terlambat, Ben sudah mengongkang senjata dan segera menarik pelatuknya.
Dorr!
Dorr!
Livia terkapar dengan luka tembak di perut dan jantung. Jelas hal itu membuat para wanita lainnya ketakutan. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti Livia. Itu sebabnya mereka memilih diam dan menutup bibir rapat-rapat.
"Peringatan untuk kalian agar menjaga sopan santun di hadapan Tuan," kata Ben.
"Siap, Tuan."
"Silakan, Tuan," ucap Ben.
"Aku sudah tidak berminat, melihat mereka membuat mataku sakit."
Aaroon mengibaskan tangan. Para wanita segera menyingkir tanpa berani memandang rekannya yang tengah menjadi mayat.
"Kalian, urus mayatnya."
"Baik, Tuan."
"Kita berangkat sekarang, Tuan."
"Ya." Aaron melenggang keluar diikuti oleh Ben. Pintu dibuka oleh sopir yang merangkap sebagai pengawal, Aaron masuk kemudian Ben bergabung di kursi penumpang di sebelah atasannya.
Kemudian kendaraan mewah metalik itu bergerak keluar dari kawasan Mansion menuju jalan besar. Selagi di perjalanan, Aaron akan menyampaikan keinginannya pada Ben.
"Sepertinya aku butuh kandidat wanita baru." Aaron membuka percakapan tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
"Anda ingin mengganti yang lama, Tuan?"
"Ya, mereka benar-benar sudah tidak layak pakai." Aaron menganggap mereka seperti barang.
"Saya akan meminta Fabio untuk mencarinya."
"Aku tidak ingin wanita malam, atau wanita hasil taruhan. Aku ingin wanita biasa, dan kalau bisa yang masih perawan, kalau perlu beli mereka."
"Baik, Tuan."
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, hanya butuh waktu beberapa menit saja. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Para pekerja bangunan itu segera berjajar rapi menyambut kedatangan atasan mereka.
Helm putih diterima Aaron, sementara Ben berpamitan untuk menjawab panggilan. Aaron ditemani bawahan lainnya melihat-lihat bangunan yang setengah jadi itu. "Aku ingin hotel ini segera jadi. Ini akan menjadi bangunan yang paling megah di kota Roma."
Sebelah sudut bibir Aaron tertarik ke samping. Ia sudah tidak sabar untuk membuka hotel baru itu, yang pasti akan disukai para pengunjung, yang hanya khusus untuk para kalangan atas saja.
Ben telah kembali muncul. "Apa aku ada jadwal lagi setelah ini."
"Ya, Tuan. Ada pertemuan dengan Vendor."
"Ya, kita ke sana sekarang."
Kemudian Ben mendekat sedikit berbisik. "Tuan, Fabio sudah mendapatkannya Apakah Anda ingin ke sana?"
"Batalkan pertemuan dengan Vendor, kita ke sana sekarang."
"Baik, Tuan."
Ben menyuruh sopir menjalankan mobil menuju tempat yang sudah diberitahu Fabio. Kendaraan yang ditumpangi Aaron berbelok, namun tiba-tiba berhenti mendadak dan mengejutkan para penumpang.
"Ada apa?"
"Maaf, Tuan. Sepertinya saya menabrak sesuatu. Saya akan memeriksanya."
"Ya, cepatlah."
Pengawal itu keluar. Seorang wanita berdiri dari duduknya.
"Kalau bawa mobil yang benar!" maki gadis itu. Ben yang melihat Aaron gelisah segera keluar.
"Ada apa ini?"
"Tuan, Nona ini terluka." Ben menatap wanita yang dimaksud pengawal. Lutut dan kakinya lecet.
"Beri dia uang, selesai."
"Hei, kau!" seru gadis itu. Tatapan Ben berubah tajam. "Di mana sopan santunmu, aku bukan pengemis."
Ben menutup pintu lalu menghampiri gadis itu. "Lalu apa maumu?"
"Aku ingin permintaan maaf."
"Apa? Kau tidak tahu siapa kami?" Ben tidak terima.
"Mana kutahu?" Wanita itu mencebik. "Dasar orang kaya sombong."
"Apa kau bilang?" Ben yang tersulut emosi mengangkat tangan hendak melayangkan pukulan, namun, dihentikan oleh Aaron.
"Berhenti, Ben." Aaron menyusul dua bawahannya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Siapa namamu, Nona?" Aaron meraih jemari gadis itu lalu mengecupnya. Melihat itu, ia segera menarik tangannya.
"Hei, kau siapa? Tidak sopan."
Ben dan pengawal itu kaget. Ben hendak maju tetapi Aaron mengangkat tangan. Tatapan Aaron seketika berubah tajam.
"Siapa namamu?"
"Rose."
"Apa maumu?" Pertanyaan yang sama dengan Ben.
"Kau tidak lihat, aku terluka karena perbuatan sopirmu. Aku ingin kalian minta maaf."
Aaron menaikkan sebelah alis. "Hanya itu?"
"Ya."
"Kalau begitu, maafkan kami."
"Aku terima, lain kali kalian harus hati-hati." Rose menepuk pundak Aaron kemudian berlalu dari hadapannya. Aaron memandang gadis yang mulai menjauh itu.
"Ben," panggil Aaron.
"Ya, Tuan."
"Dapatkan dia, aku ingin dia berada di ranjaku."
Mendengar nama Aaron saja, membuat kepala berdenyut nyeri. Apalagi ketika berhadapan dengannya. Rosene menghembuskan napas. Menata degup jantungnya yang tidak beraturan. Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Tatapan pria itu sangat menakutkan. Ternyata apa yang ia dengar tentang Aaron bukan hanya rumor semata. Iblis berwajah malaikat. Perumpamaan itulah yang cocok buat Aaron. Rencana yang telah ia susun dengan matang, harus berjalan lancar. Dan semoga saja, Aaron memakan umpan yang ia berikan. Rosene memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya meremas pinggiran westafel. Ini tidak seperti dirinya. Gugup dan takut. Tapi ia harus menyelamatkan Melanie. "Aku harus bersiap."Rosene memasang kembali lensa kontak yang sudah ia lepas. Jangan sampai kelemahan yang satu ini terlihat oleh orang luar apalagi bila sampai ketahuan oleh anggota klan Dare Devil. Mobil berhenti. Ben turun terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk sang Tuan. Aaron menapakkan kaki ke tanah. Rumah sederhana ter
Rosene langsung terduduk. Ia memegang pinggang. Ngilu ia rasakan di sana. Tidak tanggung-tanggung ngilu itu sampai terasa ke perut. Sialan! Ia mengumpat dalam hati. Ini sungguh di luar dugaanAaron malah menyunggingkan senyum. Ia melangkah maju, mendekati Rosene. Ia tarik dagu wanita itu dan membuat Rosene seketika tersentak. "Selamat datang, Sayang." Rosene menenggak ludah, Aaron memandang Rosene. Begitu juga sebaliknya. Tatapan itu terlihat bengis dan memikat di saat bersamaan. Jantung ini tak berhenti berdetak, rencana yang ia susun seketika buyar setelah berhadapan langsung dengan Aaron."Kau...." Rosene tergagap. Pertama kalinya merasakan ketakutan dalam hidupnya adalah saat ini. "Kita bertemu lagi, Sayang." Aaron hendak menyatukan bibir, tetapi Rosene malah mendorong dada bidang itu hingga membuat Aaron termundur ke belakang. "Tuan." Ben menarik senjata api. Aaron buru-buru mengangkat tangan dan membuat Ben berhenti bergerak. Suasana berubah mencekam karena gerakan Ben menar
Rosene memandang Berta dari pantulan cermin. Apa yang baru saja wanita itu katakan. Rosene tidak salah dengar? Apakah itu artinya Rosene akan ketahuan?Melihat reaksi Rosene, Berta segera menyela. "Aku tidak akan mengatakan pada Tuan. Tapi cepat atau lambat, kau harus menyerahkan tubuhmu pada Tuan, karena untuk itulah kau di sini." Rosene merinding mendengarnya. Dibandingkan dengan Melanie, dirinya memang tidak tahu apa-apa soal pria. Apalagi soal hubungan ranjang. Rosene memang memiliki impian untuk hidup normal, menikah, dan memiliki anak. Tetapi, menyerahkan mahkotanya pada Aaron bukan rencananya. Ia kemari untuk menjadi mata-mata, bukan menyerahkan tubuhnya. Kalau begini, sama dengan ia keluar kandang harimau lalu masuk kandang buaya. Nyaris tidak ada beda antara Aaron dan Markus. Keduanya sama-sama pemimpin dunia bawah, dan sama-sama penyuka wanita. Rosene tidak bisa menyerahkan tubuhnya dengan orang macam itu. Tetapi, bukankah itu sudah menjadi resiko yang harus ia terima ke
Dalam hati Rosene mengucap syukur bahwa itu bukanlah Aaron. Rosene mengerutkan dahi. Siapa wanita ini? Tiba-tiba main masuk saja dan membuatnya kaget. Bila dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan pelayan. Tetapi, siapapun dia, pasti orang di luar sana tidak akan tinggal diam 'kan. Benar saja, beberapa detik setelahnya, tergopoh-gopoh Berta muncul. Ia berhenti tepat di samping Lucia yang tengah berdiri memandang ke arah Rosene. "Nona, mohon jangan seperti ini. Tuan bisa marah." Lucia menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada Berta. "Dia tidak akan marah kalau kau tidak mengadu." Setelah mengatakan itu, Lucia maju selangkah. "Lagi pula aku kemari karena mendengar bahwa ada koleksi baru. Jadi itu kau." Lucia memandang Rosene sedikit mengejek. "Koleksi?" "Ya, apa lagi jika bukan koleksi. Wanita yang akan dipakai sekali, selebihnya akan dijadikan koleksi." Lucia berkata seraya mengangkat kedua bahu. "Nona," panggil Berta. Lucia mendecak. "Ya, ya aku akan pergi, Berta." Ka
Batuk-batuk itu reda setelah diberikan seteguk air. Aaron mengamati gerak-gerik Rosene. Segala sesuatu yang dikerjakan wanita itu sungguh menarik perhatiannya. Untuk ukuran seorang wanita, Rosene terlalu kaku. Tatapannya juga sedingin es."Kau tidak dengar aku bicara." Rosene menoleh untuk bisa memandang Aaron. Keduanya saling menatap. Aaron dapat melihat bola mata kehitaman itu. Sedikit aneh karena terdapat warna merah di bagian tepi menyerupai cincin. Meski samar, tetapi Aaron dapat melihatnya. Entah itu asli atau tidak. Yang jelas, Aaron baru menemui wanita yang seperti ini. Dan jika diperhatikan lagi. Rosene ini memiliki postur tinggi kira-kira 170 sentimeter, tubuh ramping, kulit putih sesuai dengan selera Aaron. Untuk soal wajah, sudah jelas tidak diragukan lagi. Dia lebih segalanya dari wanita yang ditemuinya. Dan yang membuat Aaron tidak bisa berhenti memandangnya adalah, cekungan di kedua pipi. Sadar terlalu lama bersitatap, Rosene memutus kontak mata terlebih dahulu kemu
Aaron mengibaskan tangan. Berta jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memberi kode pada dua pelayan lainnya untuk berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu ditutup, dan dijaga oleh dua orang pengawal lainnya. Mereka harus selalu siap siaga jika terjadi sesuatu di dalam sana. Ben pun sama halnya, ia turut berjaga di depan kamar. Di dalam kamar tinggal berdua, Rosene bersama dengan Aaron. Ini jelas bukan hal yang Rosene inginkan. Berada di dekat Aaron membuat Rosene seketika gugup. Aura Aaron membuat Rosene jadi kerdil. Aaron berjalan mendekat. Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan jas itu berdiri di hadapan Rosene. Ia raih dagu wanita itu membuatnya sedikit mendongak. "Kau mencariku, Sayang." Rosene langsung menepis kuat tangan itu dan membuat pemiliknya seketika melotot. "Jangan sentuh aku!" Sungguh, Rosene menyesal karena sudah datang ke sini. Ia tidak sudi jika harus menyerahkan tubuhnya pada Aaron. Karena ia pun datang bukan itu. "Really? Kau bercanda, Sayang." T
Peluru melesat ke arah lampu tidur. Untungnya, Aaron segera bangkit dan menepis tangan Ben dan membuat tembakan itu meleset. Sementara Rosene terlihat syok. Ia memang terbiasa dengan luka tembak, dan ia pernah menerimanya. Tetapi, jika peluru tadi sampai mengenai kepala, maka bisa tamat riwayatnya. Mendengar suara gaduh, Berta dan pelayan yang biasa melayani Rosene muncul. Sama seperti Ben, mereka kaget dengan situasi yang terjadi. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Berta hendak menghampiri Sang Tuan, tetapi langsung dicegah. "Jangan pedulikan aku, tangkap wanita itu lalu kurung dia." Bukan hanya Berta, tetapi pengawal lainnya lekas menghampiri Rosene. Wanita itu tidak memberontak. Ia pasrah dengan apa yang dilakukan terhadap dirinya. Jika Aaron kata dikurung, maka Rosene benar-benar dikurung. Namun, ia bukan hanya sebatas dikurung biasa. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan besi dan rantai kemudian rantai itu terhubung pada dua sisi dinding tersebut.Tali rantai itu tidak cukup panj
Meski telah dipuaskan oleh Lucia. Entah kenapa Aaron masih saja memikirkan Rosene. Ia heran saja, ada wanita yang begitu berani menolak pesonanya. Padahal dirinya sudah menawarkan uang. Wanita yang gila harta akan begitu mudah menempel pada Aaron. Tetapi, Rosene berbeda. Atau mungkin Rosene bukan wanita yang seperti itu. Atau ada faktor lain. Apa mungkin dirinya ini kurang tampan?"Berta!" panggil Aaron. "Ya, Tuan." Yang dipanggil berjalan tergesa-gesa menemui Aaron. Setelah Berta berdiri di hadapannya, barulah Aaron bertanya. "Berta, apa aku ini kurang tampan?" Jelas saja pertanyaan seperti itu membuat Berta memandang majikannya itu dengan tatapan heran dan penuh tanya. "Apa maksud Anda, Tuan. Tentu saja Anda tampan." "Kau berdusta!" "Saya mengatakan yang sebenarnya, Tuan." Berta memang mengatakan yang sebenarnya. Lagi pula, apa yang membuat Aaron mempertanyakan hal demikian. Tidak biasanya pria itu mempedulikan hal semacam itu. "Tuan, apa yang membuat Anda merasa rendah diri s