Share

Bab 5. Rose

Jantung Rosene berdetak cepat. Bukan karena cinta atau apa, tetapi karena dirinya akan segera menginjakkan kaki di wilayah Dare Devil. Kelompok klan mafia terbesar di kota Roma. 

Di hadapan Jack maupun lainnya, ia bisa saja bersikap tenang dan seolah tak takut pada klan tersebut. Tetapi, kenyataannya, ia begitu gugup. Bagaimana bila penyamarannya terbongkar sebelum misi dimulai. 

Ia dengar Dare Devil begitu sadis saat membunuh musuhnya. Apakah itu artinya dirinya akan berakhir di sini. Ah, kenapa dirinya begitu pesimis. Setidaknya Rosene harus tetap mencoba. Demi Melanie. 

Sebelum tiba, Rosene harus sudah menyamarkan penampilannya. Ia harus berganti pakaian ala gadis Roma. Dan satu yang pasti, ia harus menggunakan lensa kontak untuk menutup warna bola matanya yang menurut sebagian orang terlihat menakutkan. 

Sejak kecil, Rosene mengalami kelainan. Bola matanya berwarna merah terang layaknya makhluk penghisap darah. Hal itu pulalah yang menyebabkan dirinya dibenci oleh Sang Ibu dan orang-orang di sekitarnya. Melanie tidak termasuk. 

"Tutup bola matamu pakai ini." Solusi yang diberikan Melanie, ia gunakan sampai sekarang. Ah mengingat gadis itu. Ia jadi bertekad lekas menyelesaikan misi. 

Pukul delapan pagi, jadwal Aaron pergi ke kantor. Pria itu akan berperan sebagai pengusaha, namun malam harinya, kehidupan sesungguhnya baru dimulai. 

Dua orang pelayan wanita sudah siap untuk membantu pria itu untuk berpakaian. Aaron hanya tinggal merentangkan tangan dan pakaian itu segera dipasangkan oleh bawahannya. 

"Ben," panggil Aaron. 

"Ya, Tuan." 

"Sampaikan pada Lucia, suruh dia berdandan. Nanti malam aku akan menggunakannya." 

"Maaf, Tuan. Bukankah Nona Lucia sudah memberitahu Anda, bahwa selama seminggu ke depan dia tidak bisa melayani Anda karena berhalangan." 

Aaron menutup mata sebentar. "Ah ya, aku lupa." 

"Oleh karena itu, Nona Lucia meminta izin untuk berbelanja barang pribadinya, Tuan." 

"Ya aku izinkan dia berbelanja. Berikan dia kartu kredit hitamku. Dia boleh belanja sepuasnya, tapi...." 

Aaron mengangkat tangan. Dua pelayan tadi menjauh darinya. Aaron memandang orang kepercayaannya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan 'kan? Awasi dia?" 

"Siap, Tuan. Saya akan siapkan semuanya." 

"Aku perlu sarapan." Aaron melenggang keluar dari kamar. Lalu diikuti oleh empat orang pria berpakaian serba hitam rapi dengan masing-masing di telinga mereka terdapat headset earphiece. 

Kebanyakan untuk urusan rumah, Aaron memilih pekerja wanita. Sedangkan untuk penjaga kebanyakan pria, ada juga wanita yang bertugas sebagai penjaga, tetapi mereka termasuk dalam kelompok Dare Devil. 

Kursi ditarik oleh salah satu pelayan lalu Aaron duduk dengan angkuh. Pelayan lainnya mulai menghidangkan makanan. 

Aaron melirik Ben yang telah muncul di sampingnya lalu ia berkata. "Apa harus setiap kali aku menyuruhmu duduk, kau baru duduk?" 

Ben menarik kursi, lalu ia duduk di samping Aaron. Ia juga dilayani karena perintahnya adalah nomor dua yang harus dipatuhi setelah Aaron. 

"Oh ya, hari ini aku ingin mengunjungi pembangunan hotel di area jalan Archeolo, kenapa lama sekali pekerjaan pembangunannya?" Aaron bertanya di sela kunyahannya menyantap pasta. 

"Ada sedikit kendala, Tuan. Mereka sudah selesai mengatasinya, kita bisa pergi ke sana hari ini." 

Aaron berdehem, ia menenggak air putih sampai tandas lalu menyeka bibir menggunakan lap. 

"Kumpulkan para gadisku di sini. Aku ingin memilih untuk nanti malam." 

"Baik, Tuan." Ben merogoh saku jas dan mengeluarkan remot kecil dari sana. Hanya tinggal tekan. Mereka akan berkumpul dengan sendirinya. 

Ada sebuah pintu khusus yang menghubungkan antara Mansion dan paviliun dan para wanita akan melewati pintu itu. 

Ada lima belas wanita piaraan Aaron, tidak termasuk Lucia karena wanita itu sudah naik pangkat menjadi wanita kesayangan. 

"Apa kalian jarang makan? Kenapa begitu kurus dan tidak sedap dipandang." 

Para wanita itu saling lirik. Bila banyak makan, mereka takut gemuk. Aaron tidak suka wanita gemuk. Itu sebabnya mereka tidak makan makanan yang disuguhkan pelayan yang termasuk makanan golongan berat. 

"Maaf, Tuan. Kami hanya ingin menjaga bentuk tubuh kami," sanggah wanita bernama Livia. Demian memandang wanita itu. 

"Ben," panggil Aaron. 

"Ya, Tuan." Yang dipanggil maju ke depan. 

"Singkirkan dia." 

Livia membulatkan mata. Ia segera berlutut dan mengakui kesalahannya yang telah salah bicara. Ia lupa bila Aaron tidak suka dibantah. 

"Tuan, ampuni saya." 

Terlambat, Ben sudah mengongkang senjata dan segera menarik pelatuknya. 

Dorr! 

Dorr!

Livia terkapar dengan luka tembak di perut dan jantung. Jelas hal itu membuat para wanita lainnya ketakutan. Mereka tidak ingin bernasib sama seperti Livia. Itu sebabnya mereka memilih diam dan menutup bibir rapat-rapat. 

"Peringatan untuk kalian agar menjaga sopan santun di hadapan Tuan," kata Ben. 

"Siap, Tuan." 

"Silakan, Tuan," ucap Ben. 

"Aku sudah tidak berminat, melihat mereka membuat mataku sakit." 

Aaroon mengibaskan tangan. Para wanita segera menyingkir tanpa berani memandang rekannya yang tengah menjadi mayat. 

"Kalian, urus mayatnya." 

"Baik, Tuan." 

"Kita berangkat sekarang, Tuan." 

"Ya." Aaron melenggang keluar diikuti oleh Ben. Pintu dibuka oleh sopir yang merangkap sebagai pengawal, Aaron masuk kemudian Ben bergabung di kursi penumpang di sebelah atasannya. 

Kemudian kendaraan mewah metalik itu bergerak keluar dari kawasan Mansion menuju jalan besar. Selagi di perjalanan, Aaron akan menyampaikan keinginannya pada Ben. 

"Sepertinya aku butuh kandidat wanita baru." Aaron membuka percakapan tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. 

"Anda ingin mengganti yang lama, Tuan?" 

"Ya, mereka benar-benar sudah tidak layak pakai." Aaron menganggap mereka seperti barang. 

"Saya akan meminta Fabio untuk mencarinya." 

"Aku tidak ingin wanita malam, atau wanita hasil taruhan. Aku ingin wanita biasa, dan kalau bisa yang masih perawan, kalau perlu beli mereka." 

"Baik, Tuan." 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, hanya butuh waktu beberapa menit saja. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Para pekerja bangunan itu segera berjajar rapi menyambut kedatangan atasan mereka. 

Helm putih diterima Aaron, sementara Ben berpamitan untuk menjawab panggilan. Aaron ditemani bawahan lainnya melihat-lihat bangunan yang setengah jadi itu. "Aku ingin hotel ini segera jadi. Ini akan menjadi bangunan yang paling megah di kota Roma." 

Sebelah sudut bibir Aaron tertarik ke samping. Ia sudah tidak sabar untuk membuka hotel baru itu, yang pasti akan disukai para pengunjung, yang hanya khusus untuk para kalangan atas saja. 

Ben telah kembali muncul. "Apa aku ada jadwal lagi setelah ini." 

"Ya, Tuan. Ada pertemuan dengan Vendor."

"Ya, kita ke sana sekarang." 

Kemudian Ben mendekat sedikit berbisik. "Tuan, Fabio sudah mendapatkannya  Apakah Anda ingin ke sana?" 

"Batalkan pertemuan dengan Vendor, kita ke sana sekarang."

"Baik, Tuan." 

Ben menyuruh sopir menjalankan mobil menuju tempat yang sudah diberitahu Fabio. Kendaraan yang ditumpangi Aaron berbelok, namun tiba-tiba berhenti mendadak dan mengejutkan para penumpang. 

"Ada apa?" 

"Maaf, Tuan. Sepertinya saya menabrak sesuatu. Saya akan memeriksanya." 

"Ya, cepatlah." 

Pengawal itu keluar. Seorang wanita berdiri dari duduknya. 

"Kalau bawa mobil yang benar!" maki gadis itu. Ben yang melihat Aaron gelisah segera keluar. 

"Ada apa ini?" 

"Tuan, Nona ini terluka." Ben menatap wanita yang dimaksud pengawal. Lutut dan kakinya lecet. 

"Beri dia uang, selesai." 

"Hei, kau!" seru gadis itu. Tatapan Ben berubah tajam. "Di mana sopan santunmu, aku bukan pengemis." 

Ben menutup pintu lalu menghampiri gadis itu. "Lalu apa maumu?" 

"Aku ingin permintaan maaf." 

"Apa? Kau tidak tahu siapa kami?" Ben tidak terima. 

"Mana kutahu?" Wanita itu mencebik. "Dasar orang kaya sombong." 

"Apa kau bilang?" Ben yang tersulut emosi mengangkat tangan hendak melayangkan pukulan, namun, dihentikan oleh Aaron. 

"Berhenti, Ben." Aaron menyusul dua bawahannya. "Jangan bersikap kasar pada wanita. Siapa namamu, Nona?" Aaron meraih jemari gadis itu lalu mengecupnya. Melihat itu, ia segera menarik tangannya. 

"Hei, kau siapa? Tidak sopan." 

Ben dan pengawal itu kaget. Ben hendak maju tetapi Aaron mengangkat tangan. Tatapan Aaron seketika berubah tajam. 

"Siapa namamu?" 

"Rose." 

"Apa maumu?" Pertanyaan yang sama dengan Ben. 

"Kau tidak lihat, aku terluka karena perbuatan sopirmu. Aku ingin kalian minta maaf." 

Aaron menaikkan sebelah alis. "Hanya itu?" 

"Ya." 

"Kalau begitu, maafkan kami." 

"Aku terima, lain kali kalian harus hati-hati." Rose menepuk pundak Aaron kemudian berlalu dari hadapannya. Aaron memandang gadis yang mulai menjauh itu. 

"Ben," panggil Aaron. 

"Ya, Tuan." 

"Dapatkan dia, aku ingin dia berada di ranjaku." 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Azzam Ramadhan
wah gemes bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status