“Itu dia!!! Di atas sana! Serang! Serang sekarang juga!!!” Jeritan bernada memerintah terdengar nyaris bercampur aduk dengan letupan meriam beserta bunyi senjata api yang ditembak secara bertubi-tubi.
Timah panas secara serentak meluncur bagai kilat menuju hanya kepada satu sasaran di atas bangunan berlantai lima. Namun sebelum peluru-peluru itu menembus, mencabik daging segar sasarannya, api berwarna hitam telah lebih dulu membara, menyambar, sekaligus melumpuhkan serangan tersebut. Tak satu pun peluru yang lolos. Semua habis disantap oleh api kematian yang identik akan warna hitam pekat.
“Percuma saja! Serangan kita tidak mempan!” Seorang prajurit menyahut dengan suara putus asa. Bagaimana pun usaha mereka, tidak ada satu pun yang berhasil melukai sosok yang berdiri di atap bangunan di depan sana.
“Kalau kau punya waktu meratapi kegagalan, lebih baik kau pakai waktumu itu buat terus menembak!” Komandan batalion yang sebelumnya memberi perintah merespons. Meski hanya ada secercah kecil harapan untuk memenangi pertempuran ini, tapi ia tidak menyerah. Apa pun caranya, wanita yang dijuluki Putri Kematian itu harus ia taklukkan di sini, di kontinen timur Beta Urora ini!
Alvi Veenessa Endley, sosok wanita pemilik api kematian yang menjadi lawan tunggal dari tiga batalion yang bersenjatakan meriam dan senjata api, menatap datar dengan wajah kaku tanpa ekspresi. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan bola api kematian seketika terbentuk di atas telapak tangan yang terbuka. Energi hitam pekat yang terkesan amat sangat berbahaya berkumpul mengitari bola api tersebut. Alvi masih menahan serangannya sembari mengamati wajah-wajah ketakutan dari cacing-cacing kecil di bawah sana. Tanpa sadar ia tersenyum menikmati.
Api kematian adalah wujud kekuatan api berwarna hitam pekat yang mampu membakar habis apa saja hingga tak menyisakan sebutir debu pun. Tak peduli itu makhluk hidup atau pun benda mati. Naif jika berpikir meriam atau senjata api mampu melumpuhkannya.
“Sudah cukup main-mainnya.” Alvi akhirnya mengepal erat tangan kanan yang masih terangkat. Bola api kematian seketika meledak menjadi bunga-bunga api kecil ke segala penjuru arah bagai tetesan hujan.
Api merah normal yang sebelumnya mewarnai setengah wilayah pertempuran, perlahan-lahan memudar akibat dominasi api hitam kematian. Butuh beberapa detik saja sampai seluruh warna merah membara berubah menjadi hitam pekat muram dan hanya menyisakan satu-satunya cahaya terang milik bulan purnama di malam itu.
Melalui cahaya bulan itulah para pasukan batalion bisa menyaksikan sendiri pemandangan mengerikan akan kebangkitan rekan-rekan sesama prajurit yang seharusnya telah gugur akibat kekuatan kematian kedua milik sang Putri Kematian. Kekuatan korosif yang mampu membusukkan apa saja. Alvi Veenessa Endley tampak membangkitkan mereka yang setengah raganya telah dilahap kekuatan itu dan menjadikan mereka sebagai bagian dari pasukan mayat hidupnya.
Walau jiwa tak lagi bersemayam di tubuh prajurit-prajurit malang, meski wajah telah rusak dan raga tak lagi sempurna, namun mereka bergerak dan terlihat seolah-olah hidup. Mayat-mayat yang baru saja dibangkitkan itu mengangkat senjata masing-masing dan mulai menyerang jiwa-jiwa yang masih bernapas. Menyerang rekan sesama prajurit batalion yang dulunya pernah berjuang bersama-sama.
“Argghh—!!!”
“Jangan! To—Tolong!!!”
“Komandan!!! Komandan!!!”
“Ada apa ini!? Apa yang terjadi!!!?”
Pekik panik bercampur dengan suara tembakan ragu-ragu di baris belakang memecah konsentrasi lelaki yang berkumis tipis di baris depan. Beberapa lencana kehormatan terjurai di dada seragam hijau lumutnya sementara tanda pangkat terlihat menghiasi bahu. Dia adalah komandan utama atas tiga batalion yang total berjumlah tiga ratus lima puluh pasukan bersenjata lengkap. Gori Shelder adalah namanya. Dia didatangkan dari pemerintah pusat kontinen timur Beta Urora dan ditugaskan untuk menghentikan invasi Putri Kematian.
“Jangan panik! Tetap pada formasi kalian dan jangan ragu untuk melepas tembakan!” perintahnya seraya berusaha menganalisis perubahan situasi.
Sial! Ada berapa banyak kekuatan kematian yang wanita itu miliki? Gori Shelder bertanya-tanya. Bahkan informasi dari pemerintah pusat kontinen timur maupun Alice Nebula—pusat kontinen barat Beta Urora—tidak pernah mencatat mengenai kebangkitan mayat. Kabar yang selama ini beredar di kontinen timur pun hanya sebatas api kematian semata. Gori harus lebih ekstra memutar otaknya mencari cara untuk menang.
“Terlalu lambat.” Alvi menurunkan tangan kanannya memberi perintah tanpa kata. Mayat-mayat hidup seakan mendapat lampu hijau dari sang pencipta dan serentak melesat liar menerkam prajurit batalion yang ada di baris depan.
Kebrutalan serangan yang begitu mendadak mengejutkan prajurit Gori Shelder. Mereka tidak sempat bereaksi sewaktu jemari tangan yang hanya berlapis kulit keriput mencengkeram kasar wajah mereka. Tangan lain bergerak gesit menembus dada dan menarik keluar jantung yang masih berdetak.
Darah merah segar dengan cepat membanjiri tanah. Pekik pilu terdengar silih berganti dan Gori Shelder cuma bisa menyaksikan tanpa mampu berbuat banyak.
Pertempuran ini mustahil dimenangkan...
Segera, kontinen timur Beta Urora akan jatuh ke tangan Putri Kematian. Ke tangan seorang Alvi Veenessa Endley.
Kertas pengumuman terbaru mengenai uang-hadiah atas kepala seorang Putri Kematian baru selesai ditempel di papan pengumuman kamp Aliansi Pemburu Hadiah. Jumlah fantastis yang ditawarkan oleh pemerintah pusat kontinen barat Beta Urora, Alice Nebula, berhasil menarik minat para pemburu yang selalu haus akan harta. Jumlah ini tentu saja belum termasuk hadiah menggiurkan yang ditawarkan oleh pihak lain di penjuru kontinen barat. Seperti misalnya provinsi Rami menawarkan material langka pembuat pedang; baja Damascus. Lalu Kota Pelabuhan Bargescrow akan memberi sisik milik monster laut; Leviathan, dan beberapa saudagar kaya di Olprone menawarkan sejumlah uang yang tidak kalah besarnya dengan uang hadiah yang ditawarkan Alice Nebula.Dengan jumlah hadiah yang begitu fantastis, lantas bagaimana cara mengalahkan sang Putri Kematian dan membawa pulang kepalanya dengan penuh kebanggaan? Pembahasan itu tak pernah menemukan titik terang hingga suatu hari, seseorang menyebut North Compass.“Jika i
Siang itu angin bertiup cukup kencang dan membawa serta debu juga butiran pasir kering. Tanah di sekitar tampak tandus tanpa satu pun tumbuhan hijau yang tumbuh mewarnai. Sementara aroma berbau busuk masih tercium menyengat indra penciuman meski pertempuran di tempat ini sudah lama usai. Kira-kira seperti inilah pemandangan menyedihkan yang menghiasi seluruh kontinen timur Beta Urora. Tidak ada manusia, tidak ada hewan yang berkeliaran, tidak ada tanda-tanda kehidupan.Semenjak pertempuran berakhir dengan kemenangan telak Putri Kematian, mayat-mayat hidup tampak menguasai Pollaris Imperial yang merupakan pemerintah pusat kontinen timur. Sang Putri Kematian menjadi penghuni baru atas bangunan pencakar langit yang sebelumnya menjadi kantor para dewan dan senat. Sudah hampir sebulan wanita berhati dingin itu berdiam di sana tanpa melakukan pergerakan apa-apa.“Putri Endley.” Sesosok mayat hidup berpenampilan layaknya petani miskin dengan pakaian compang-camping dan syal merah kumuh melin
Alvi bergantian mencermati Vania En Laluna Ishlindisz dan Kim Hana. Aneh sekali! Di saat seluruh Beta Urora berusaha mati-matian mempertahankan wilayah masing-masing, seseorang justru datang kepadanya dan meminta bantuan membinasakan seluruh kontinen tenggara. Terlebih lagi, yang datang adalah putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz! “Musnahkan semua yang ada di kontinen tenggara dan sebagai gantinya, aku akan menjadi senjata kematianmu.” Vania En Laluna Ishlindisz menunjukkan sebuah hologram senjata berjenis sabit besar ala dewa kematian di atas telapak tangannya. Seluruh permukaan senjata dilapisi material hitam mengilap termasuk mata sabit. Retakan halus yang hanya sebatas ornamen tampak memendarkan cahaya semerah bara api di sekujur gagang senjata, menambah kesan ganas dan mematikan.Vania tampak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Namun sosok di depannya bukanlah seseorang yang bisa percaya dengan mudah. Apalagi segalanya terlihat sangat tidak masuk akal dan penuh tanda tanya.
Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebag
Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. “Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya
Sinar matahari yang menyilaukan mata disertai kicauan burung-burung yang merdu di pagi hari membuat Claudia bergelut manja di bawah balutan selimut tebal yang hangat. Semula ia pikir dirinya hanya mengalami mimpi buruk yang amat panjang dan melelahkan. Lalu ketika fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, maka semua akan kembali seperti normal. Kerajaan Ishlindisz yang damai, penduduk yang penuh semangat memulai aktivitas, dan tentu saja di meja makan sudah ada ayah serta kakak yang menantinya untuk sarapan bersama.Gambaran-gambaran indah akan kehidupan tenteram itu seketika buyar sewaktu bunyi dentingan besi yang ditempa berulang kali menusuk telinga Claudia. Udara hangat pelan-pelan berubah menjadi hawa panas yang menciptakan rasa gerah. Claudia En Lacia Ishlindisz terpaksa membuka mata yang masih mengantuk dan berusaha mencari sumber suara yang sangat mengganggu tidurnya itu. Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mata dengan iris berwarna hijau miliknya langsun
Claudia mencermati secara saksama setiap ruangan hingga sudut koridor yang ia lewati. Setelah menjelajah singkat ke setiap kamar di lantai dua, ia pun menuruni tangga. Mata dengan iris hijau indahnya sempat melirik sepintas ke arah bengkel sebelum akhirnya pergi menuju dapur di bagian paling belakang. Sesuai ucapan Vice, penginapan ini benar-benar kosong tanpa satu orang pun tak terkecuali karyawan!“Sudah berapa lama tempat ini tidak mendapat tamu?” Claudia bertanya-tanya dalam hati. Telunjuknya mengusap kuat permukaan meja kayu untuk mengukur ketebalan debu.“Kenapa dia tidak pergi saja dari tempat ini dan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan?” Anak perempuan itu terus menerka-nerka sambil mulai mencari sosok Vice Kyle yang sedari tadi tidak terlihat.Aneh dan juga sulit dijelaska
Alvi Veenessa Endley mengamati sekeliling dengan rasa penasaran yang berhasil disamarkan oleh mimik kaku di wajah. “Ishlindisz, inikah yang mau kau tunjukkan setelah membawaku berputar jauh ke arah barat daya kontinen tenggara?” tanyanya pada Vania En Laluna Ishlindisz.Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan selain bangunan-bangunan kosong dengan seluruh kaca jendela pecah total di mana serpihannya tampak berserakan di jalanan. Debu tebal juga menyamarkan warna aspal jalan menjadi coklat pasir. Lalu ada banyak sampah kertas yang entah sudah berapa tahun tergeletak di sana sampai-sampai tulisannya telah memudar.Kota mati Osteria dan Gharian merupakan dua kota bertetangga yang menjadi perbatasan langsung antara wilayah barat daya kontinen tenggara dengan kontinen barat. Sayangnya, akses keluar-masuk perbatasan dan kota telah disegel rapat-