"Berikan anak untukku."
Stacy hampir membulatkan matanya sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja Aldrich katakan. Dia tak begitu masalah saat dirinya harus dijadikan sebuah alat untuk perjanjian yang mereka lakukan untuk menguntungkan satu sama lain. Tapi, anak? Sungguh, Stacy memang selalu mengharapkan anak selama ini dan membayangkan jika dia telah menikah dia ingin ada seorang anak yang lucu dan lahir dari rahimnya sendiri. Tapi, kalau begini. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang anak dijadikan sebuah perjanjian? Ini sama saja dengan Stacy juga menjual anaknya pada Aldrich yang pasti akan memberikan penawaran dengan harta yang dia miliki di sana. "Tidak. Kita menikah hanya karena sebuah kontrak. Kita tak bisa melibatkan anak yang tidak berdosa pada hubungan seperti ini," ujar Stacy kemudian. Bukannya merasa bersalah karena Stacy berucap demikian, Aldrich kini malah tertawa. Sebelum akhirnya menatap Stacy dengan senyuman miring yang dia tunjukan pada wanita itu. "Memangnya apa yang mungkin akan aku lakukan dengan anakku, Stacy? Sampai kau begitu khawatir seperti itu." Stacy menggeleng dengan ragu. "Apapun yang akan kau lakukan. Tetap saja tak bisa melibatkan anak dalam pernikahan ini. Apalagi, saat nanti kita berpisah pasti—" "Apa aku mengatakan kita akan bercerai?" Sela Aldrich dengan satu alis yang terangkat. Mengernyitkan dahinya menatap Aldrich, Stacy kebingungan dengan apa yang dikatakan pria itu. "Di dalam kontrak disebutkan jika kita menikah dengan waktu yang disebutkan." "Lalu, apa di sana ada tertulis jika kita akan bercerai?" Stacy menggeleng. Dia ingat memang di dalam kontrak yang dia buat bersama Aldrich, tak ada waktu yang disebutkan di sana. Tentang berapa lama mereka akan menjalani pernikahan ini. "Tapi, di sana—" "Waktunya tidak disebutkan. Maka, kita tetap akan menjadi sepasang suami istri. Kita tidak akan bercerai jika aku memang tidak akan menceraikanmu," ujar Aldrich dengan senyuman miringnya. Aldrich bangkit dari posisinya sekarang. Bahkan, dia tak perduli dengan tubuh polosnya yang terlihat oleh Stacy. Sedangkan Stacy kini segera meraih selimut untuk menutup tubuhnya. "Jadi, kau tetap milikku sampai aku sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri semua ini," ucap Aldrich sekali lagi dengan senyuman miring yang dia tunjukan. "Tidak bisa begitu!" "Bisa, Stacy. Sudah kukatakan kau hanya perlu menjadi istri yang sempurna untukku. Termasuk memberikankan keturunan untukku. Karena aku tahu, jika kau sudah menjadi pilihan terbaikku." Tanpa menunggu protes lainnya dari Stacy, Aldrich sudah melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Stacy di sana. Sedangkan Stacy? Kini dia tak bisa melakukan apapun lagi. Dia sudah terjebak dalam permainan yang Aldrich buat. Ternyata benar saja, dia tidak benar-benar bebas dari jeruji besi yang mungkin menjadi ancamannya karena membunuh pria itu. Melainkan dia telah masuk ke dalam penjara lainnya yang tak kalah menyesakkan. Stacy mengepalkan kedua tangannya erat. Dengan rahang yang semakin mengeras karena menahan kekesalannya. Aldrich memang benar-benar licik. *** Tidak ada bulan madu, tidak ada romentisme hubungan yang biasanya dilakukan sepasang suami istri di dunia ini. Alih-alih berbulan madu, Stacy malah dituntut Aldrich untuk melakukan ini dan itu. Mempelajari beberapa hal yang harus dia lakukan selama menjadi istrinya. Ya, seperti yang selalu dikatakan oleh Aldrich, Stacy dituntut untuk menjadi seorang istri yang sempurna, istri yang bisa melakukan apapun untuk Aldrich termasuk untuk mengurus bisnis milik Aldrich yang diserahkan padanya. "Sudah mengerti dengan apa yang harus kau lakukan, Stacy?" tanya Aldrich pada Stacy di sana. Stacy menghela nafasnya dan mengangguk. "Mengerti." "Bagus! Aku tahu aku tak salah memilih. Ayahmu memiliki perusahaan, jadi aku yakin kau sedikitnya paham tentang bisnis," ucap Aldrich bangga. Ya, yang dikatakan Aldrich memang benar. Stacy bahkan sedang berusaha membuat perusahaan ayahnya jatuh ke tangannya. Dia ingin menjadi penerus sang ayah. Meski dia harus bersaing dengan kakaknya sendiri yang sudah di agung-agungkan oleh ayah dan ibunya. "Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa memasak? Yang aku tahu, kau tak pernah mengikuti kelas memasak atau semacamnya," ujar Aldrich. Pasalnya, sekarang mereka tengah menikmati sarapan yang dibuat Stacy sebelumnya. "Kau mencari tahu tentang aku?" tanya Stacy tanpa menjawab Aldrich. Stacy semakin merasa aneh karena Aldrich seperti tahu semua tentang Stacy. Padahal, selama ini dia tak pernah mengatakan apapun pada Aldrich selain dnegan perjanjian mereka dan juga rencana pernikahan sebelumnya. Aldrich terkekeh pelan. "Tentu saja. Kau pikir aku akan sembarangan memilih wanita yang akan menikah denganku?" "Di antara banyak wanita, kenapa kau memilihku?" Menunjukan respon yang begitu tenang, Aldrich menatap Stacy dengan tatapan yang sulit dimengerti. "Sudah kubilang beberapa kali, kau memiliki kriteria sebagai istri sempurna yang aku inginkan, sayang." Stacy mendecih. "Pembual." Aldrich tertawa, cukup renyah. "See? You're smart! I like it! Kau juga pandai membaca situasi. Akan sangat cocok untuk membantuku memegang bisnis yang aku kelola." Menatap Aldrich dengan tajam, Stacy tak mengerti lagi dengan isi kepala Aldrich yang penuh dengan tipu muslihat tersebut. Dari seringaian yang seringkali Aldrich tunjukan saja, Stacy juga sadar kalau Aldrich ternyata tak sebaik itu. Pria itu tengah memanfaatkannya. "Kau, merencanakannya bukan?" tanya Stacy masih dengan tatapan tajamnya. Tidak lagi menunjukan tawa atau kekehan, Aldrich justru membalas tatapan mata Stacy tak kalah tajam. Hingga beberapa detik berikutnya, Aldrich sudah menunjukan seringaiannya lagi. "Kenapa berpikir seperti itu, baby?" tanyanya. Pertanyaan yang seolah mengocok perut Stacy hingga terasa mual. Muak dengan apa yang dikatakan pria seperti iblis di hadapannya. "Apakah mungkin sebuah kebetulan saat semuanya menjadi seperti ini, Tuan Devoire?" tanya Stacy penuh penekanan. Sekarang Aldrich nampak menusukkan lidahnya pada pipinya di dalam sana. Sembari terus tersenyum Stacy seolah dia tengah meremehkan apa yang dikatakan wanita itu. "Lalu, apakah memang ada bukti jika aku merencanakan semuanya, Nona Frey? Ah, maksudku, Nona Devoire?" Stacy kembali mendecih mendengar hal itu. Dia sekarang mulai menyesali apa yang telah dia lakukan hingga berstatus sebagai istri pria seperti Aldrich. Pria yang masih begitu misterius seolah menyimpan banyak sekali rahasia di kehidupannya. "Aaron Davian. Nama pria itu. Pria yang aku bunuh," ucap Stacy dengan tatapan mata yang semakin sengit menatap Aldrich. "Pria itu, bukankah dia suruhanmu?""Perkenalkan, ini istriku, Stacylia Frey. Dia yang akan menjadi Presdir sementara untuk menggantikan Pak Yovi."Itulah bagaimana Aldrich memperkenalkan Stacy pada beberapa orang yang sudah duduk di kursinya masing-masing. Sebuah perkenalan yang lantas membuat Stacy harus bersikap elegan sembari tersenyum dan memperkenalkan dirinya sendiri. Seperti yang diinginkan oleh Aldrich, Stacy sedang berusaha untuk menjadi seorang istri yang sempurna, untuk bisnisnya."Duduklah," ucap Aldrich pada Stacy.Stacy mengangguk dengan lembut. Dia pada akhirnya duduk tepat di samping Aldrich. Dan sekali lagi, Stacy tengah berusaha bersikap baik dengan segala manner yang dia miliki. Tak lupa, Stacy juga mencoba untuk terlihat angkuh.Membutuhkan waktu beberapa puluh menit untuk mereka semua membahas beberapa hal tentang perusahaan dan semacamnya. Stacy tak begitu tahu banyak hal tentang itu. Tapi, sedikitnya dia yang sudah paham dengan bisnis sedikit menger
"Karena dengan menjadi istriku, keamananmu adalah nomor satu. Kau tak pernah tahu bahaya yang mungkin akan datang saat menjadi bagian dari diriku."Bisikan yang diberikan Aldrich di telinganya jelas membuat Stacy tidak bisa tenang begitu saja. Jelas yang dikatakan pria itu mampu membuat kecemasan dalam dirinya bangkit. Tidak mungkin Stacy tidak khawatir kalau Aldrich mengatakannya dengan begitu serius.Sebab, di sisi lain, Stacy juga tak pernah benar-benar mengenal bagaimana Aldrich sebenarnya. Bagaimana pria itu menjalani kehidupannya. Meski lelah dengan hidupnya, tapi Stacy juga tidak mau kalau dia harus mati konyol hanya karena telah menjadi istri seorang Christian Aldrich Devoire.Stacy menelan ludahnya sendiri. "Apa orang-orang mencoba memburumu atau semacamnya?" tanya Stacy pada akhirnya.Rasa penasaran dalam dirinya tak bisa dielakkan lagi.Bukannya menjawab, Aldrich justru malah tersenyum dan mengangkat kedua bahunya."Ay
Cukup memalukan untuk Stacy saat Levin berucap demikian. Dimana itu berarti, Levin benar-benar mengetahui apa yang terjadi semalam. Tentang apa yang dia lakukan bersama Aldrich di dalam kamar hingga membuat Stacy melenguh dan mendesah dengan begitu keras. Nyaris seperti jeritan, tepat dengan yang dikatakan oleh Levin.Pun begitu, Stacy sudah mendapati Levin pergi dari mereka. Pria itu sudah berlalu meninggalkan Stacy dan Aldrich di sana. Bahkan, membuat Aldrich bisa merasakan bahunya sengaja ditabrakkan oleh tubuh Levin. Membuat Aldrich ingin sekali memberikan pukulan pada Levin, jika saja Stacy tidak mengalihkan fokusnya."Dari mana? Kenapa tidak mengatakan akan pergi?" tanya Stacy penasaran pada Aldrich.Nyatanya, wanita itu lebih memilih untuk memberikan pertanyaan, daripada membahas apa yang sebelumnya dikatakan oleh Levin."Ada urusan," jawab Aldrich singkat."Kenapa tidak membangunkan aku? Kau malah meninggalkan aku sendiri," ujar S
Stacy cukup terkejut saat dia telah berjalan keluar kamar pagi ini. Dimana dia yang tengah mencari Aldrich yang entah kemana sejak pagi buta, malah menemukan suasana Mansion itu yang sudah rapi. Dengan beberapa pelayan yang ada di sana. Padahal, sebelumnya suasana di sana begitu ramai dan dapat dipastikan jika pagi ini tempat itu akan begitu berantakan.Mungkin, karena memang Aldrich atau entah siapa yang mengurus tempat itu telah mengerahkan puluhan pekerja untuk membereskan semua itu. Hingga akhirnya, semuanya cepat beres dalam waktu singkat. Saat waktu baru menunjukan pukul tujuh pagi."Selamat pagi, Nona Stacy."Sapaan itu terus terdengar selama Stacy berjalan ke sana kemari untuk mencari Aldrich. Ya, itu adalah sapaan dari beberapa pelayan yang berpapasan dengannya selagi dia menyusuri beberapa tempat yang ada di sana."Ya. Apa kau melihat Suamiku?" tanya Stacy saat dia mulai merasa lelah mencari Aldrich ke sana kemari."Ah, Tuan Ald
"Jangan melakukan hal lain selain dengan menuruti perintahku dan menjadi istri yang baik untukku, Stacy. Atau kau, akan terluka. Lebih buruknya, kau mungkin akan mati."Kalau sudah seperti ini, jelas Stacy sudah tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia hanya bisa menjadi seorang wanita yang telah patuh pada suaminya. Ah, atau mungkin lebih tepatnya itu adalah tuannya.Karena Stacy sendiri sadar kalau Aldrich tak benar-benar menganggapnya sebagai istri saja. Nyatanya pria itu juga menganggapnya sebagai seseorang yang bisa dia perbudak di antara bisnis dan urusan ranjangnya."Aku ingin beristirahat," ucap Stacy kemudian. Dia berusaha menghindari Aldrich di sana dengan bangkit dari duduknya.Aldrich malah menunjukan senyumnya pada Stacy yang sudah berdiri dari sampingnya."Memangnya siapa yang mengizinkanmu untuk beristirahat, sayang? Kau bahkan sudah menghabiskan beberapa waktu mu untuk tertidur di kamar Levin," ucap Aldrich dengan jari telunjuk yang sudah bergerak menggaruk pelipisnya yan
Tidak seperti Stacy yang terlihat begitu gelisah mendengar suara Aldrich di luar sana. Levin justru terlihat santai dan tenang-tenang saja, seolah kehadiran Aldrich bukanlah hal yang akan menjadi masalah untuk dirinya. Padahal dari suaranya saja terdengar jelas jika Aldrich tengah berada di dalam sebuah amarah."Tenang saja, jangan khawatirkan apapun. Biar aku yang menjelaskan pada pria itu," ucap Levin saat melihat kekhawatiran Stacy.Dia juga sudah berjalan melewati Stacy di sana. Dimana dia kini telah membukakan pintu kamar tersebut.'Levin, benar-benar tidak merasa takut untuk berhadapan dengan Aldrich?' tanya Stacy dalam hati.Menghela nafasnya dalam, Stacy sempat memejamkan matanya untuk beberapa detik. Dia mempersiapkan diri jika saja Aldrich memarahi dan melemparkan makian padanya."Hai! Lama tidak bertemu, Aldrich. Kakakku!"Stacy kembali dikejutkan dengan hal lain. Kakak, katanya? Stacy sampai harus berpikir dengan baik, dia takut jika memang telinganya salah mendengar Levin