Share

Bab 5

Tarik napas. Tenang.

Aku bisa melakukannya.

Aku cukup yakin kalau aku tidak mabuk. Sedikit pun tidak karena pada dasarnya aku hanya minum satu gelas selama hampir satu jam penuh duduk di sana. Sejauh yang bisa kuingat, kepalaku baru benar-benar terasa seperti berputar hebat saat aku tiga atau empat gelas. Itu artinya setengah botol yang mana cukup banyak. Dan ya, soal parfum si tamu spesial, aku akui aromanya sangat memabukan. Seperti tanah yang baru dibasuh oleh guyuran hujan pertama di hari terakhir musim panas. Atau jauh lebih baik dari itu, bensin.

Jadi ya, setelah apa yang aku katakan di dalam sana dan meninggalkan meja makan saat makanan penutupnya belum dihidangkan, sudah jelas sekali bagaimana aku akan menghabiskan sisa malam ini. Aku akan pergi ke angkringan di depan jalan masuk yang jaraknya lumayan jauh dan memakan sate usus sebanyak yang bisa perutku tampung. Nasib baik aku membawa wadah kartu dan menyelapkan beberapa lembar uang dengan nilai pecahan yang beragam. Atau mungkin jauh lebih baik dari itu. Aku akan tidur di rumah kucing yang berada di seberang danau, bermain dengan kucing-kucingku sampai muak, berbaring di atas sofa lapuk sambil memikirkan jutaan kemungkinan yang akan terjadi jika aku melakukan satu saja—sekali lagi—satu saja hal dalam hidupku dengan benar karena aku tidak tahu harus melakukan apa tanpa ponsel ditanganku. Lalu aku akan terbangun dalam keadaan pengar oleh cakaran yang menyayat permukaan kulitku karena mereka lapar dan tidak ada apa pun untuk mereka makan di piring mereka. Alih-alih memberi mereka makan, aku akan menghabiskan beberapa jam untuk menangisi hidupku hingga aku sanggup menghadapi kembali kenyataan yang tidak pernah sesuai dengan harapanku karena harapan adalah kata paling berbahaya yang pernah ada.

Aku memejamkan mata. Sialan. Nina benar. Sekeras apa pun aku menghindarinya, aku tetap akan tiba di fase itu. Aku kira aku tidak—

“Febrian.”

Aku membuka mata dan mendapati si tamu spesial tengah berdiri beberapa langkah di hadapanku. Matanya berbinar-binar saat dia tersenyum tipis. Ditangannya terdapat baju hangat warna hitam yang aku yakini adalah milik salah satu dari bibiku yang sangat banyak dan sebotol air berwarna hijau pekat di tangannya yang lain.

“Apa?” kataku, pada akhirnya.

Adam memberikan baju hangat dan minuman aneh itu padaku. “Ibumu ingin kau meminumnya agar kepalamu tidak terlalu pengar besok pagi. Ibumu juga ingin kau memakai baju hangat ini sepanjang malam karena dia tidak ingin mendengarmu mengeluh soal masuk angin karena berkeliaran sepanjang malam dengan pakaian tipis.”

“Ibuku mengatakan itu?”

“Ya.” Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel mahalnya yang terlihat nyaman dan hangat lalu tersenyum malu. “Tidak. Well, aku cukup yakin ibumu tidak akan mengatakan itu jika aku tidak bertanya terlalu banyak. Kau tahu, soal kenapa dia membawa baju hangat dan memasukan jus bayam dan nanas ke dalam botol saat semua orang pergi ke mezanin untuk merencanakan pernikahan sepupumu. Juga dirimu, tentu saja.”

Apa dia baru saja bilang padaku—tepat di depan wajahku—kalau dia bertanya langsung pada ibuku soal diriku?

“Itu menyeramkan,” tambahnya dengan cepat. “Yang benar adalah aku bertanya pada ibumu soal baju hangat dan jus lalu ibumu memberitahuku kalau kedua benda itu akan dia berikan padamu. Lalu, mungkin karena aku terlalu bersemangat atau mencoba untuk membuat suasananya tidak terlalu canggung, aku bilang padanya soal kau yang sebenarnya baik tapi terlalu keras kepala dan semacamnya. Kau tahu, soal kau yang tidak memberikan tatapan itu saat melihat pria dewasa dalam keadaan kacau yang menangis sesenggukan di lorong UGD karena tidak tahu harus melakukan apa.”

Hening.

Baiklah. Mungkin tidak terlalu hening. Aku masih bisa mendengar deru angin malam yang meniup rambutku yang tidak terikat dengan ganas. Atau daun-daun di pohon yang bergesekan antara satu dengan yang lainnya. Atau lolongan anjing liar yang hidup di hutan belantara yang berada tidak jauh dari sini. Juga hembusan napasku yang terdengar begitu berat dan detak jantungku yang menggila.

“Kau tahu, saat pertama kali aku bertemu lagi denganmu, aku sangat yakin kalau kau adalah perempuan yang aku temui di UGD hari itu.” Dia memiringkan sedikit kepalanya ke kiri lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.”Di sinilah aku, berdiri di hadapannya. Ingin mengucapkan banyak sekali terima kasih banyak tapi tidak aku lakukan karena itu sia-sia.”

“Sialan,” desahku. “Dengar. Kau tidak perlu repot-repot berterima kasih. Itu sudah lama sekali.”

“Dan?”

“Dan itu saja,” tandasku. “Kenapa kau harus mengungkitnya saat aku sendiri menganggap hari itu tidak pernah ada di dalam hidupku?”

“Terlalu menyakitkan untuk diingat?”

Aku memilih untuk tidak merespons. Sebaliknya, aku jadi bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku bersikeras untuk terus menulis surat keluhan yang aku tujukan pada perusahaan pembuat mesin penjual otomatis yang sudah mencuri wafer cokelatku dan mengabaikannya ketimbang mencoba untuk menjadi manusia yang lebih baik dari yang orang-orang katakan dengan menghampirinya. Memberikan uang terakhirku untuk membelikannya sebotol air mineral dan menemaninya. Tidak peduli betapa menyedihkan kondisinya saat itu—duduk di lantai lorong UGD sambil menangis karena tunangannya meninggal dalam kecelakaan—mungkin aku tidak akan berada dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status