Share

Bab 3

Hari hampir gelap ketika aku keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek ponsel yang sengaja aku simpan di meja lampu. Persis seperti dugaanku, tidak ada pesan sama sekali. Itu pertanda bagus. Tiga jam tanpa ponsel dan aku baik-baik saja. Besok aku akan menambah durasinya menjadi enam jam. Mungkin delapan. Aku tidak begitu yakin tapi ini membuatku sangat bersemangat.

Aku kembali menaruh ponselku lalu berjalan ke arah cermin yang berada di sudut kamar dekat jendela. Dari bayangan yang dipantulkan oleh salah satu cermin antik yang bingkainya terbuat dari kayu jati asli dan dipahat oleh pemahat elit di Jepara, aku melihat sosok gadis muda berambut sebahu. Aku suka rambutku. Aku tidak akan mengatakan itu dengan lantang jika bukan aku yang memotong rambutku sendiri. Meski pun terlihat tidak rapi di beberaapa bagian—khususnya bagian belakang karena aku tidak pernah bisa memotongnya dengan benar di bagian sana—aku sangat menyukainya. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Mudah untuk ditata dan pastinya hemat shampo.

Lalu mataku bertemu pandang dengan diriku sendiri. Aku bisa melihat kesedihan masih terbersit di mataku. Sangat bertolak belakang dengan senyum yang mengembang di wajahku saat ini. Aku mencoba mengabaikan gumpalan lemak di bagian perut yang tidak tertutup dengan baik hingga membuatku terlihat seperti ibu muda yang tengah mengandung dan baru saja memasuki trimester kedua. Sebenarnya yang aku pakai saat ini benar-benar membuatku terlihat seperti ibu hamil—blus hitam lengan panjang dengan potongan dada berbentuk V dan cukup rendah dipadankan dengan trouser warna senada yang harganya sangat tidak masuk akal untuk sebuah celana panjang tanpa saku. Sialan. Mengingatnya saja sudah membuatku kesal.

Persetan.

Aku melepaskan blus dan trouser, membuat gumpalan manja di perut dan pahaku bergelenyar. Aku mengeluarkan turtleneck hitam dan overall jeans dari koper kecil yang aku beli dengan harga murah di pasar loak lalu memakainya secepat kilat. Jangan lupakan kaos kaki merah muda motif pisang  dan sneaker hitam favoritku yang sudah lusuh.

Besar kemungkinan bagiku untuk mendapat cacian dari si kakek jika tidak menata rambutku dan menyembunyikan emosiku di balik polesan bedak yang tebal. Jadi, aku mengikatnya seperti ekor kuda. Lalu aku memakai sedikit maskara, eyeliner, dan tidak lupa memoleskan gincu merah pelacur di bibirku.

Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku lebih lama lagi. Sialan. Aku terlihat luar biasa mengagumkan.

***

“Kau baik-baik saja?” tanya Edi, sepupuku yang lain, sambil duduk di samping Nina yang menyembunyikan wajahnya ke dalam tangannya.

“Ya, harusnya begitu,” sahut Nina tanpa semangat, wajahnya masih terbenam di kedua tangannya. “Aku sudah minum banyak sekali kopi hitam dan ceramah super panjang dari ibuku soal menjadi manusia yang lebih baik. Sangat keterlaluan jika aku tidak baik-baik saja.”

Bibi Risma yang duduk di sisi lain meja makan melotot ke arahku. “Apa katanya?”

“Anakmu akan bertobat,” kata Edi, mangedipkan sebelah matanya dengan main-main. “Bukan begitu, Nina?”

Aku mengangkat gelas berisi air putih dan menyesapnya untuk menyembunyikan senyum konyol yang mengembang di wajahku saat ini. Rasanya ingin sekali aku mengucapkan banyak terima kasih pada orang yang sudah menata tempat duduk dan menempatkan Edi tepat di antara aku dan Nina. Duduk berdekatan dengan dua dari sedikitnya sepupu paling keren yang pernah ada adalah sebuah anugerah.

“Kau sendiri bagaimana, wahai anak muda?” kata Edi sambil menyelipkan beberapa helai rambut nakal yang mengganggu pandangan ke belakang telingaku. “Ada sesuatu yang menarik selama hampir setahun tidak bertemu denganku?”

Tentu saja dia tidak bertemu denganku hampir setahun lamanya. Edi sibuk membantu ayahnya, paman Rudi, untuk mengelola resort mewah dan beberapa beach club eksklusif di Bali. Sederhananya, dia adalah salah satu cucu kesayangan si kakek.

Tidak seperti aku dan Nina, si pembangkang nomor wahid, sepupu Edi menunjukkan keseriusannya untuk terlibat dalam bisnis keluarga dengan mempelajari Administrasi Hotel di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.  Jadi ya, tidak heran jika dia dipercaya untuk membantu mengurus Bali hanya dengan melalui training program di selama enam bulan saja dengan mengelola food court di salah satu hotel milik si kakek di kota ini.

“Masih menjalani hukuman dengan menjadi staf marketing di toko ponsel milik paman Wisnu,” balasku dengan bersemangat. “Juga berencana untuk melakukan solo trip akhir tahun ini dan mencoba untuk mengurangi kecanduanku pada ponsel. Benda kecil itu benar-benar lebih berbahaya dari narkoba.”

“Aku dengar kau benar-benar sudah berhenti menulis. Kau tidak serius, kan?”

Aku hanya bisa tertawa lalu mengedikkan bahuku dengan enggan.

Edi meraih kedua tanganku dan menggenggamnya dengan erat. “Persetan dengan penerbit yang menolak semua tulisanmu. Berjanjilah padaku untuk tidak pernah menyerah dan mengejar mimpimu.”

“Bagaimana jika yang kukejar selama ini adalah mimpi buruk tak berkesudahan?” kataku dengan suara bergetar.

“Semuanya!”

Di sana, di ujung meja makan, si kakek tengah berdiri sambil memukulkan garpu perak ke gelas sampanye dengan keras. Wajahnya yang dipenuhi oleh kerutan terlihat menyeramkan. Mungkin tidak begitu menyeramkan jika kau memperhatikan bentuk alis yang aneh. Alih-alih terlihat seperti pria bijaksana yang patut dihormati, alisnya yang aneh justru membuatnya terlihat seperti salah satu karakter yang baru saja keluar dari komik.

“Seperti biasa, aku ingin berterima kasih pada kalian semua karena sudah bersedia meluangkan waktu untuk menghabiskan akhir pekan denganku, di sini, setiap bulannya,” katanya dengan lantang. “Aku juga ingin mengucapkan selamat datang pada tamu spesialku, Adam.”

Oh ya. Aku benar-benar lupa soal orang itu. Orang asing yang sudah mengeluarkan banyak sekali uang untuk diterima di sini.

Adam yang tengah berdiri di dekat guci seukuran anak kecil menghampiri si kakek. Dia menatap ke sekeliling, menebar senyum sambil sesekali mengangkat gelas sampanye yang dipegangnya. Satu lagi, dia menanggapi jamuan makan malam ini sedikit terlalu serius. Setelan jas hitam dan kemeja putih dengan dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka, harus aku akui sangat keren. Tapi tidak di sini. Tidak sekarang.

“Aku harap kalian bersikap baik pada kawan baik Rian semasa di kampus karena saat ini dia tengah menghadapi masa sulit. Khususnya kalian berdua,” kata si kakek sambil menunjuk ke arahku dan Edi secara bergantian. “Karena tamu spesialku akan duduk di kursi kosong yang berada di antara kalian berdua.”

“Tentu,” sahut Edi. “Kau duduk di kursi terbaik di meja ini.”

“Ya, tentu,” kataku mengamini.

“Bersulang,” seru si kakek.

Sama seperti enam belas orang yang duduk mengelilingi meja panjang ini, aku mengambil gelas yang ada di hadapanku dan mengangkatnya.

“Untuk akhir Oktober yang menyenangkan dan tamu spesial,” seru paman Rudi.

“Hear, hear.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status