Share

Bab 6

4 tahun yang lalu...

Kepada tim pusat layanan bantuan,

Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau wafer cokelat yang aku beli di mesin penjual makanan milik kalian yang dipajang di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 dan itu benar-benar membuatku kesal.

Tidak. Itu terlalu brutal.

Kepada tim pusat layanan bantuan,

Hai. Namaku Febrian Alamsyah dan aku ingin memberitahu kalian kalau mesin penjual otomatis nomor 147 yang berada di ujung lorong IGD Rumah Sakit Umum ’45 mengalami sedikit kerusakan. Aku tidak akan mengirimi kalian surat jika wafer cokelat yang sudah aku beli tidak tersangkut di... apa pun itu nama benda yang berfungsi untuk mendorongnya hingga terjatuh ke bawah sebelum akhirnya aku ambil dan makan untuk meredakan rasa laparku.

Mungkin juga tidak. Karena di saat yang hampir bersamaan aku merasakan banyak sekali emosi di dalam diriku. Kebanyakan bingung dan marah—mengingat aku baru saja tiba di UGD satu jam setelah Sarah meneleponku soal si ayah yang terkena serangan jantung atau semacamnya tepat saat mie instan yang aku masak baru saja aku tuangkan ke dalam mangkuk. Well, jika kau mengira aku memakan mie instan rasa soto dengan koya yang melimpah terlebih dahulu lalu baru datang ke sini, kau salah. Aku tidak pernah, sama sekali, menyentuhnya. Aku juga masih belum tahu apakah tekstur mie yang baru matang itu sesuai dengan kesukaanku atau tidak. Dan aku tidak akan pernah ingin mengetahuinya.

Terdengar sangat menyedihkan. Lagipula tim pusat layanan bantuan tidak akan membaca surat keluhan semacam ini. Di sisi lain, aku tidak bisa menahan kekesalanku lebih lama lagi. Jadi, persetan dengan semua ini.

Itu membuatku kesal. Wafer cokelat dan mie instan, ngomong-ngomong. Kedua hal itu membuatku terjebak dalam kekacauan. Wafer cokelat itu satu setengah kali lebih mahal dari harga jual aslinya dan tersangkut di mesin penjual otomatis kalian. Sementara mie instan, benda yang sama yang sudah aku masak dengan tambahan telur, sawi putih, dan beberapa potong udang segar dengan mudahnya mengkhianatiku.

Bagaimana pun, aku tidak akan menuntut ganti rugi pada kalian. Aku hanya... aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Aku juga tidak yakin apakah aku bisa melalui hari ini dengan baik atau tidak.

Untuk sesaat, aku merasa kalau si ayah adalah penyebab dari semua ini. Maksudku, aku tahu si ayah sudah berhenti merokok dan menjalani pola hidup sehat sejak serangan jantung pertama. Itu sekitar setahun yang lalu. Tapi ya, baik si ayah dan aku tidak punya kendali atas itu. Jadi, aku sendiri tidak tahu apa yang tengah aku keluhkan di sini.

Tidak. Coret kalimat terakhir.

Bagian terakhir, aku tidak tahu harus menulis apa untuk mengakhiri surat ini. Tapi yang pasti, aku tidak bisa berhenti memikirkan penyebab kenapa kalian membiarkan mesin penjual otomatis dengan kualitas yang sangat payah ini berada di tempat publik seperti ini. Maksudku, saat aku sedang menulis ini, ada seorang laki-laki yang menangis hebat di depan mesin kalian. Sepertinya dia baru saja mengalami hal yang sama denganku. Mungkin dia sedang meluapkan amarahnya setelah melihat tagihan rumah sakit yang kadang tidak masuk akal. Aku tidak tahu pasti.

***

Aku menghembuskan napas sedikit terlalu dramatis. Baiklah. Melihat cowok itu menangis sesenggukan sambil bersimpuh di depan mesin penjual otomatis yang sepertinya baru saja merampok uang terakhirnya benar-benar menyayat batin. Aku benci harus mengatakan ini, tapi, aku merasa kasihan padanya. Tentu saja. Sekarang cowok itu merangkak ke samping mesin penjual otomatis dan memeluk lututnya. Tubuhnya sesekali berguncang dengan hebat karena menahan isak tangis yang begitu kuat.

Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala. Tidak. Itu sangat manis untuk dilakukan tapi tidak jika aku yang melakukannya. Di sisi lain, aku tidak tahu siapa cowok itu. Faktanya adalah aku baru menyadari keberadaannya di alam semesta ini belasan menit yang lalu. Itu pun karena dia bertingkah seperti orang yang sedang kerasukan hantu penunggu rumah sakit ini.

Persetan.

Aku mendapati diriku beranjak dari bangku besi. Perlahan tapi pasti aku berjalan ke arah mesin penjual otomatis, menghampiri cowok yang masih menangis sambil mempertanyakan kembali apa yang sedang aku lakukan sambil memasukan jurnal dan sobekan kertas yang sudah terlipat rapi ke dalam tas gendongku yang usang.

Sialan. Aku baru sadar kalau suasana UGD saat ini benar-benar lengang. Hanya ada deretan bangku besi kosong, deru kipas angin, dan keheningan yang memekakkan telinga. Bahkan resepsionis yang bertugas hari ini pun terlihat sangat bosan. Seperti sedang mencoba melawan rasa kantuk yang melanda dirinya saat ini dengan terus melihat apa pun itu yang muncul di layar ponselnya saat ini. Bahkan acara gosip yang tayang di televisi tidak mampu membuatnya terhibur.

Aku berdiri tepat di tengah-tengah koridor UGD, dimana para perawat yang membawa pasien kritis bisa saja menabrakku karena berusaha untuk menjaga siapa pun yang berbaring di atas tempat tidur tetap sadar. Paling tidak sampai mereka tiba di ruang perawatan dan melakukan pertolongan pertama.

Beberapa langkah di hadapanku, si cowok itu masih memeluk lututnya. Aku sangat yakin kalau dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku mengerti. Sepenuhnya bukan salahnya. Mungkin dia masih mengalami shock berat. Aku bukan pengamat yang handal tapi dilihat dari noda bercak darah yang hampir tidak terlihat di bagian lengan dan kerah kemejanya, aku cukup yakin kalau dia baru saja mengalami kecelakaan. Mungkin dia juga yang mengemudikan mobilnya. Atau motor. Sudah pasti mobil karena jika kendaraan yang dipakainya saat kecelakaan adalah motor maka dia tidak akan berada di sini. ICU atau ruang jenazah adalah tempat yang tepat dan jauh lebih masuk akal ketimbang lorong rumah sakit. Sialan. Itu terdengar sangat kejam dan tidak berperasaan.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Masih sepi dan tidak ada tanda-tanda akan ada badai manusia yang menerjang ruangan ini dalam satu atau beberapa jam ke depan. Ibu dan kakak perempuanku pun sepertinya masih berada di dalam sana. Apalagi kalau bukan untuk mengintimidasi dokter dan para perawat. Jadi ya, mungkin duduk di bawah sini tidak terlihat begitu memalukan.

Aku melemparkan tas gendongku terlebih dahulu ke lantai. Semacam memberi tanda-tanda kalau aku berada di sini, hidup dan nyata. Yang mana sia-sia saja karena cowok itu tidak bergeming. Peduli setan. Aku menjadikan tas gendongku sebagai pembatas antara aku dan cowok itu lalu duduk di sampingnya.

"Kau tidak harus melakukan itu," gumamnya.

Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Di sana, tepat di sampingku, si cowok menyandarkan kepalanya dengan lemas ke dinding rumah sakit yang dingin. Matanya merah dan basah karena terlalu banyak menangis hari ini. Wajahnya terlihat lelah. Pun begitu dengan rambutnya yang berantakan dan bakal jenggot yang mengintip di sekitar rahang dan dagunya.

"Bagaimana aku memberitahu mereka?" tambahnya dengan suara bergetar.

"Siapa?" bisikku.

Air mata mengalir dari sudut matanya. "Orangtua tunanganku."

Belasan bahkan puluhan kata kejam yang sudah berada di ujung lidahku seketika lenyap. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kedua tanganku meraih tangan si cowok dan menarik tubuhnya ke dalam pelukanku saat otakku sendiri memerintah untuk tidak melakukan itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status