Share

Bab 4

“Apa aku melewatkan sesuatu?”

Aku tidak akan menanyakan hal bodoh seperti itu jika aku benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh orang-orang ini—setidaknya itu yang aku rasakan. Selain nuansa kehangatan pura-pura yang sangat kental, aku tidak tahu kenapa aku mendadak merasa seperti orang asing di sini. Tapi aku tahu satu atau dua hal. Mungkin juga tiga.

Pertama, sepertinya aku mabuk karena kepalaku terasa begitu ringan setelah minum terlalu banyak sampanye.

Kedua, parfum yang dipakai si Adam ini sangat memabukan dan aku benci itu karenanya.

Ketiga, aku berhasil mengontrol diriku sendiri untuk tidak merobek pakaian si Adam dan mengendus leher dan bagian tubuhnya yang terkena semprotan parfum seperti hewan liar. Dan aku sangat bangga pada diriku karenanya.

Sarah yang kebetulan duduk di seberang meja—lebih tepatnya tiga kursi dari tempat bibi Risma duduk—melotot ke arahku. Dia tidak sendirian. Hampir semua orang yang sedang menikmati makan malam menatap tajam ke arahku. Seolah-olah aku baru saja menyebutkan nama kau-tahu-siapa dengan sangat lantang di Azkaban. Yap. Siapa lagi kalau bukan Tom Riddle a.k.a Voldemort? Apalagi Ibuku. Ibuku melotot padaku persis seperti saat dia menangkap basah aku sedang merokok di kebun bambu yang ada di samping lapangan sepak bola dekat rumah. Kedua bola matanya nyaris keluar dari sarangnya dan tidak berkedip.

Beberapa detik kemudian, aku sadar kalau semua aktivitas yang biasa dilakukan di meja makan berhenti total. Mulai dari mengunyah hingga menggesekan alat makan ke piring porselen Cina yang sangat mahal ini. Semuanya berhenti dengan total. Argh! Total saja tidak cukup untuk menjelaskan betapa hening dan kompaknya mereka dalam memperlakukanku seperti orang jahat tidak beradab yang mengencingi bilik telepon umum secara terang-terangan.

Tarik napas. Tenang.

Aku bisa menangani yang satu ini.

Sambil mengamati wajah mereka satu per satu, aku mulai bertanya-tanya apakah ini merupakan salah satu upaya untuk menjahiliku. Menjahiliku adalah gagasan yang brilian, tapi hari ulang tahunku masih sangat jauh—pertengahan Maret tahun depan. Neptunus!

“Aku tidak meminta kalian untuk menjilati bokongku,” kataku, lebih keras dari yang aku maksud dan terdengar seperti bajingan yang tidak tahu sopan santun. “Aku hanya bertanya.”

Bagus sekali. Tidak ada yang tertawa dengan leluconku yang satu itu. Bahkan Rian yang berotak mesum dan memiliki selera humor yang sangat receh pun tidak tertawa. Yang ada hanyalah ketegangan yang semakin mencekik setiap orang yang ada di ruangan ini.

Aku benci harus mengatakan ini, tapi aku bersedia melakukan apa saja—APA SAJA—asalkan aku bisa menghilang dari sini dan tidak pernah datang ke sini lagi untuk seumur hidupku. Aku amat sangat tidak keberatan jika harus mencium pantat ayam yang baru saja selesai bertelur. Atau membiarkan setengah dari tabungan rahasiaku yang lumayan banyak menjadi milik Ibuku.

Si kakek tersenyum. Lebih tepatnya membuat bibirnya yang keriput membentuk sebuah garis tipis dan melengkungkannya ke bawah. “Kami sedang membahas pernikahan Lia, sepupumu, nak.”

“Oh.”

Sial. Tidak. Maksudku adalah APA-APAAN?

Yang ingin coba aku katakan adalah kenapa aku harus terlibat dalam omong kosong ini. Baiklah. Aku memang bersedia datang ke dalam jamuan makan malam terkutuk ini murni karena makanannya. Kemudian ada si kakek yang tidak bisa kau ketahui kapan dia akan menghembuskan napas terakhirnya. Itu artinya aku sudah menjalankan peranku sebagai seorang cucu dengan baik.

Aku menoleh ke arah Nina yang baru aku sadari tidak berbicara padaku sedikit pun malam ini. Untuk menoleh saja tidak dia lakukan. Dia sedang sIbuk mengamati gelas wine yang belum disentuhnya dengan frustasi.

“Kau mau keluar dari sini dan merokok?” desisku.

Lucu karena Edi yang bereaksi.

“Maafkan aku,” kataku dengan ragu-ragu, berusaha menambahkan sedikit saja rasa percaya diriku yang sudah lama hilang ke dalam suaraku. “Aku tidak bermaksud membuat rapat keluarga ini menjadi kacau. Aku bersungguh-sungguh.”

“Tidak apa-apa, sayangku,” kata si kakek sambil mengibaskan tangan keriputnya di udara.

Setelah si kakek kembali memulai rapatnya dan ketegangan yang melingkupi ruang makan yang kelewat besar ini sedikit mencair, aku terus memeras otakku. Bagaimana bisa aku tidak tahu soal ini? Maksudku, aku tahu betul kalau pasti akan ada sepupu yang menikah akhir tahun ini, tapi mereka tidak akan pernah menyimpan keputusannya yang kelewat konyol ini dariku. Maksudku adalah siapa pun itu sepupu yang akan menikah dalam waktu dekat biasanya akan meminta aku dan sepupu-sepupu yang lain untuk membantu mewujudkan pernikahan impiannya. Meski pun sudah tahu akan berakhir dengan kegagalan karena si kakek selalu menginginkan pesta yang meriah dan menjadi pusat perhatian, sebagai sepupu yang baik kami pasti akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku tahu, hubungan kami sangatlah rumit.

Irham, adik laki-lakiku, yang duduk di seberangku langsung menendang kakiku. Dia menelengkan kepala dan menggerakkan matanya yang tidak lebih gelap dari mataku ke kiri.

“Apa?” protesku.

“Um... di sini,” kata Lia. Dia masih saja melambaikan tangannya padaku sekali pun aku sudah menoleh ke arahnya.

“Apa maumu?” Sialan. “Maksudku, ada apa?”

“Kami butuh bantuanmu untuk mempersiapkan pernikahanku,” katanya sembari menatap bibi Rindi, ibunya, dengan penuh cinta.

Sangat dibuat-buat.

“Itu memang tugasku selain selalu menjadi yang kedua di segala situasi,” kataku sambil mengedikkan bahu. Itu memang benar adanya. Menjadi anak kedua sekaligus anak di antara si sulung dan si bungsu itu sangat menyebalkan. Rasanya persis seperti penggalan lirik lagu ... dari band Cokelat, antara ada dan tiada.

“Bagus,” sahut Lia. “Aku selalu tahu kalau kau mau membuatkan kue pernikahan untuk kami.”

Jalang dada kempes sialan.

Mengingat aku adalah salah satu lulusan terbaik dari jurusan Tata Boga di sekolahku empat setengah tahun yang lalu dan sampai sekarang belum ada satu pun hotel yang berbaik hati mau membaca surat lamaran kerjaku dan memberiku kesempatan untuk menunjukkan skill terbaikku. Sudah dapat dipastikan kalau yang dilakukannya sekarang ini adalah salah satu bentuk penghinaan yang dia tujukan secara langsung padaku di depan keluargaku dan keluarga pacarnya yang aku yakini adalah gay.

“Mantap.” Aku menenggak wine merah pertamaku dalam sekali tegukan. “Jadi, kapan kalian akan menikah?”

“Minggu depan,” jawab mereka, nyaris bersamaan.

“Maksudmu benar-benar hari Minggu yang ada di minggu depan?”

Lia menganggukkan kepalanya dengan mantap. Terlalu bersemangat, lebih tepatnya.

Ada banyak sekali reaksi yang bisa aku tunjukan untuk menggambarkan betapa terkejutnya aku dengan kabar bodoh yang satu itu. Menangis bahagia sambil menaruh salah satu tanganku di dadaku, berjuang untuk tidak menangis dengan menutupi mulutku seperti orang dungu sejati, mengangkat gelas wine-ku yang sudah kosong untuk bersulang, dan masih banyak lagi. Hanya saja, itu bukan gayaku. Jadi, yang aku lakukan beberapa detik setelah membiarkan jawaban mereka mengambang di udara adalah tertawa seperti babi gila.

Aku terus tertawa sembari menyikut lengan Edi yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk tidak menjadi babi gila kedua. Sementara itu, Ibuku yang duduk di dekat kepala meja makan menatapku dengan tatapan itu. Tatapan yang biasa Ibuku lontarkan padaku setiap kali aku berbuat sesuatu yang membuat Ibuku merasa kalau sudah sepatutnya namaku di hapus dari Kartu Keluarga dan tidak mendapatkan warisan sedikit pun.

“Apa dia hamil duluan?” kataku, setelah akhirnya aku selesai dan puas menjadi babi paling bahagia di ruangan ini. Mungkin juga di seluruh planet ini.

“Febrian,” tegur si kakek. Wajahnya terlihat tidak senang. Artinya aku sedang terlibat dalam masalah serius.

Sebelum aku semakin mengacaukan rapat serius antar dua keluarga, aku memutuskan untuk menaruh serbet yang ada di atas pahaku ke samping piring porselen yang makanannya belum aku sentuh sama sekali. Sebagai catatan, aku tidak akan pernah menyentuh apalagi menelan berlembar-lembar daun sawi putih yang terlalu muda untuk dipanen, cabe hijau yang di iris memanjang dan tidak lebih besar dari korek api yang juga disebut dengan potongan juliene, dua buah tomat ceri yang di belah dua dengan guyuran minyak zaitun ekstra-double-virgin dan sejumput garam. Aku sudah selesai dengan segala jenis makanan pembuka yang melibatkan banyak sekali sayuran segar dan mentah.

Kemudian aku berdiri, menatap setiap orang yang ada di meja makan secara bergantian.

“Um... aku minta maaf,” kataku dengan nada memelas. “Sungguh, aku benar-benar minta maaf karena sudah mengacaukan jamuan makan malam ini. Jadi, izinkan aku untuk meninggalkan jamuan makan malam ini lebih awal sebelum aku mulai mengatakan hal-hal bodoh lainnya yang berkecamuk di dalam kepalaku.”

Ibuku menatapku dengan penuh kebencian saat aku melintas di hadapannya. Pun begitu dengan si kakek yang duduk dengan angkuhnya di kepala meja makan.

Bagus sekali. Instingku mengatakan kalau sudah saatnya aku pergi dari sini untuk mengemasi semua barang-barangku dan pergi dari rumah sebelum Ibuku menghapus namaku dari Kartu Keluarga secara resmi.

“Selamat malam semuanya,” kataku sambil berjalan meninggalkan ruang makan sialan itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status