Nathaniel POV
Sudah empat tahun sejak aku menjalin hubungan dengan Stefani. Aku selalu punya rencana untuk melamarnya. Oleh karena itu, aku ingin membicarakan hal ini dengan Ayah dan Ibu untuk meminta restu mereka terlebih dahulu. Setelah menunggu sampai langit menggelap, mereka baru tiba di rumah.
Setibanya mereka di ruang tamu, aku memberanikan diri untuk mengajak mereka membicarakan rencana pernikahanku. Kami langsung duduk di sofa ruang tamu untuk membicarakannya.
Aku memulai percakapan, " Begini, Ayah, Ibu ... sebenarnya ini sudah direncanakan sejak lama, tapi aku baru bisa bilang sekarang ...."
"Ada apa, nathan? tanya ibuku, memasang senyum tipis di wajahnya.
"Err ... begini, aku berencana untuk melamar Stefani ...," ungkapku kemudian. Jantungku mulai berdegup dengan cepat.
Mendengar perkataanku membuat mereka terlonjak.
"Apa katamu?! KAMU INGIN MENIKAHI PEREMPUAN ITU!??" Wajah ayahku menjadi merah padam, seperti menahan amarah yang sudah memuncak.
"Ya, aku ingin menikahinya." Aku menjawandengan tegas, mengabaikan kemarahan ayahku. "Oleh karena itu, aku meminta restu dari kalian berdua."
Ayahku langsung menolak dengan tegas, "AYAH TIDAK SETUJU! AYAH TIDAK AKAN PERNAH MERESTUI HUBUNGAN KALIAN BERDUA!!"
"Kenapa!? Apa ada masalah?? JADI AKU TIDAK BISA MENIKAH DENGAN WANITA PILIHANKU SENDIRI!?" tanyaku penuh amarah.
"Sudahlah, percuma mengatakan ini pada kalian. Mau memberi restu atau tidak, toh aku akan tetap menikah dengan Stefani!!" tegasku sebelum meninggalkan ruang tamu untuk pergi ke kamarku.
Aku membanting pintu kamarku dengan keras untuk melampiaskan emosiku.
"NATHAN!!" seru ayahku yang masih ada di ruang tamu.
Keesokan harinya, aku pergi ke kantor seperti biasa, hanya saja sengaja pergi lebih awal untuk menghindari mereka.
End POV
.
.
Klara POV
Hari ini aku bersiap-siap untuk wawancara kerja di sebuah studio animasi ternama. Beruntungnya cuaca cerah hari itu, cahaya matahari yang bersinaar terang seolah-olah menyemangatiku agar melakukan yang terbaik di wawancara hari ini.
Sesampainya di studio tersebut, aku menghampiri receptionist untuk bertanya kepada siapa aku harus bertatap muka. Setelah itum receptionist memberitahuku untuk langsung menemui HRD di lantai dua. Kemudian aku pun menuju ruang HRD sesuai dengan petunjuk yang diberikan receptionist.
Setibanya di depan pintu HRD, aku menghela napas panjang kemudian mengetuknya beberapa kali sampai ada sahutan dari dalam ruangan. Setelah dipersilakan masuk, aku pun mengucapkan salam dan langsung duduk dengan tegap. Wawancara pun berlangsung sekitar dua puluh menit.
"Baiklah, kami akan menghubungi dua minggu dari sekarang bila Anda diterima bekerja di sini," ucap Pak HRD sambil tersenyum ramah.
Aku pun membalas senyumnya sambil bersalaman dengannya lalu meninggalkan ruangan. Setelah keluar dari sana, aku menarik dan menghela napas yang panjang untuk menghilangkan rasa gugupku.
Syukurlah, interviewnya berjalan dengan lancar. Semoga saja aku bisa diterima di sini.
End POV
.
.
Mr. Jonathan POV
"Nathan adalah anak yang keras kepala, aku benar-benar tidak menyangka saat dia mengatakan ingin menikahi wanita itu ...," ujarku dengan nada khawatir.
"Sepertinya kita benar-benar harus mengatakan yang sebenarnya pada Nathan," jawab Emily dengan nada tenang.
Aku menghela napas sejenak, "Sudah kubilang dia anak yang keras kepala. Dia tidak akan percaya hal-hal yang tidak dia alami sendiri. Jadi, tidak ada gunanya memberitahunya."
Mendengar itu, Emily hanya mendesah pelan.
"Sepertinya kita benar-benar harus meyakinkan Klara sekali lagi untuk menikah dengan Nathan," lanjutku tegas.
"Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?" Kini Emily menatapku dengan sedih.
"Ini memang bukan hal benar untuk dilakukan. Tapi apa yang harus kita lakukan untuk mencegah Nathan dan Stefani menikah, selain menikahkan Nathan dengan wanita lain?" Aku menghela napas berat.
"Sepertinya kita memaksakan kehendak kita pada Nathan ... dan bagaimana dengan perasaan Klara? Aku khawatir mereka berdua akan terluka jika dipaksa menikah tanpa merasakan cinta satu sama lain," ujar Emily masih dengan tatapan sedih.
"Kalau Nathan benar-benar menikah dengan Stefani, keadaan akan bertambah buruk Emily. Kurasa aku tidak perlu menjelaskannya lagi padamu." Menghela napas sejenak, "intinya kita harus secepatnya mempersiapkan pernikahan Nathan dan Klara!"
"Kenapa kita tidak mencoba menjelaskannya pada Nathan? Maksudku, sekarang anak itu sudah tumbuh dewasa. Aku yakin ia akan belajar untuk memahaminya," ujar istriku lagi. Masih berusaha meyakinkanku.
"Tidak," tegasku. "Nathan itu keras kepala. Persis seperti dirinya."
End POV
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah