Share

07. Way to Escape

"Good morning." sapa Dion yang berjalan kaku menuruni tangga, area lutut ke bawah terasa dingin dan itu membuatnya risih karena sabrina berbentuk floral yang  ketat dan menunjukkan lekuk tobuh molek tersebut. Banyak umpatan yang mengarah pada pemilik sejati raga ini, tetapi dia juga merasa bersyukur.

Jam telah menunjuk setengah tujuh saat itu, dia masih berkeliling kamar luas yang membuatnya bingung. Tangannya menyortir dinding yang mungkin saja mengarah pada lemari pakaian Leyna, setelah berkeliling sepuluh menit dia mendapatkannya, mendorong pelan bagian dinding yang berbeda dengan kawanannya.

Ini lebih mirip butik daripada lemari pakaian, batin jiwa pria tersebut yang menggeleng tak percaya, kabinet yang mengelilingi ruangan tersembunyi tersebut dengan sebuah kursi panjang di tengah dan dua kaca panjang meninggi untuk membantu melihat penampilan anak kedua Grissham. Tungkai kakinya mengelilingi satu ruangan dan berhenti di kabinet sebelah kiri.

Dia tersenyum puas, dia melihat banyak tanda di bawah bagian pembatas lemari seperti 'Sunday', 'Saturday', 'Thursday' dan dia berdiri di hari ini 'Tuesday'. Entah apa yang membuat wanita cantik itu membuat pembagian seperti ini, jiwa Dion merasa beruntung. Setidaknya, pilihannya dipersempit. 

Semuanya bergaya rok entah itu span ataupun yang mengembang. Dion tidak tahu apa sebutannya. Dan, apakah tadi dia bilang merasa bersyukur?

Tarik balik jawabannya, tidak sebersyukur itu sebenarnya. Dia berharap ada celana yang bisa dipakai walaupun celana pendek. Tetapi, mendapati kalau pilihan pakaian hari ini semuanya gaun atau rok, semangatnya menguap bersama embun pagi.

Sekarang dia duduk dengan sebuah senyuman canggung di depan meja makan. Sebuah roti isi penuh dengan isian sosis dan sayuran seperti selada tersaji di depannya dengan sebuah cairan coklat pekat. Sarapan yang sama dengan tiga anggota lainnya kecuali minuman. Dion melirik ke arah sang pria yang berada di umur empat puluhannya lalu kembali fokus menggigit roti dengan canggung.

Ayo lah, Dion! Kau bisa, jangan membuat mereka curiga, batinnya yang risih berada di lingkaran yang bukan miliknya. Seharusnya, sekarang dia dalam perjalanan ke sekolah dengan sepeda lima menit yang lalu.

“Ada yang mau kau katakan, Leyna?”

Dion menghentikan olahan tepung yang tersisa setengah itu di depan bibir tipis yang bukan miliknya sambil matanya melihat sang pemimpin daerah dengan takut dan penuh kehati-hatian. Dia melirik dua perempuan berbeda usia yang duduk di seberang yang menatapnya dengan eskpresi penuh tanya. Dengan canggung, dia menurunkan roti isi, hatinya berkomat-kamit supaya tidak ada yang mengetahui kalau tangannya sedikit bergetar.

“Pretty, ada yang mau kamu katakan?” timpal wanita yang lebih tua. Dion tahu dia adalah pasangan sehidup semati sang pemimpin yang duduk di tengah. Karena, pasangan tersebut pernah mengunjungi sekolah dasar tempatnya mengajar sekali.

Ekspresi Dion masih sama tak berkutik walaupun dia senang karena wanita yang merupakan ibu dari pemilik tubuh yang didiaminya ini masih sama lembut dan berwibawanya. Dengan yakin dia menatap langsung wajah Chayton, “Dad,”

Dion merasa geli memanggil seseorang dengan sebutan seperti itu. Sudah lama sekali. Begitu lama dia tidak mengucap panggilan tersebut sampai dia lupa perasaan hangat tersebut yang berganti menjadi perasaan menggelitik risih. Tetapi dia harus memanggil panggilan tersebut jika ingin segera bebas.

Chayton melihatnya dengan lurus, memberikan kode kalau dia boleh berbicara. Ludah Dion diteguk kasar karena sedikit tidak berani berhadapan dengan pria berpakaian formal untuk mengawali hari.

“Bolehkah aku tidak ikut hari ini? Ada urusan yang perlu kuselesaikan.” katanya dengan nada meminta izin yang memelas. Ada perasaan kelegaan saat mengungkap hal tersebut walaupun tidak sepenuhnya merasakan hal tersebut.

Chayton menegak kopi hitamnya hingga tandas dan memfokuskan atensinya pada putrinya. Begitu juga dengan Aubrey, Quinza lebih memilih untuk menghabiskan sarapannya dengan cepat supaya tidak terlambat masuk sekolah.

“Ada masalah apa?”

Pertanyaan yang dilontarkan dengan tegas dan penuh tekanan itu membuat nyali sang gadis menciut perlahan. “Aku … aku ada janji dengan pemilik Linx Café.” jawab Dion yang memikirkan alasan logis. Ingatan yang apa adanya berusaha menggali info lebih banyak dari pembicaraannya dengan sang nenek saat petang menjelang.

“Temanmu?” tanya Chayton yang segara dibenarkan oleh Dion. Walaupun, dia tidak tahu teman seperti apa, tetapi dia ingat dari neneknya yang mungkin sedang mencemaskan dirinya yang tidak pulang semalaman kalau anak kedua Grissham memiliki teman yang merupakan pemilik café yang ternama di Burk’s Falls.

“Bagaimana kabarnya?”

Dion segera mengingat dua minggu yang lalu saat dia menghampiri café tersebut untuk melepas penat, “Dia baik, Dad. Sudah lama tidak bertemu dengannya.”

Bohong! Dion tidak tahu kapan Leyna ini bertemu dengan sang pemilik café terakhir kalinya. Tetapi yang terpenting, dia harus tetap tinggal di sini untuk segera menyelesaikan masalahnya.

“Okay. Lagipula, hari ini tidak ada pertemuan yang penting. Daddy berencana untuk bermain golf dengan pemimpin daerah sebelah. Leyna juga tidak ada jadwal balet kan?”

Dion melebarkan bola matanya, lalu menggeleng kikuk.

Chayton menyingkirkan piringnya lebih ke dalam, membersihkan noda di bibirnya dengan kain yang diberikan, “Temui temanmu hari ini. Katakan kalau Daddy dan Mommy menitip salam untuknya.”

Gotcha! Pekik Dion dengan senang dalam hati. Kalau ada kelegaan terbaik dalam dirinya, ini adalah bukti akurat.

Setelah mendapatkan persetujuan, dia mengulas senyum sumringah. Buru-buru Dion bangkit dari tempatnya, tidak lupa menarik turun gaun sabrina yang dikenakan, “Thank you, Tu … Dad, Mom.”

Chayton, Aubrey, dan Quinza langsung bangkir dan meninggalkan Leyna palsu di meja makan untuk segera mengawali hari. Tanpa Dion sadari, Quinza, satu-satunya sang adik merasa aneh dengan perilaku kakaknya.

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status