"Good morning." sapa Dion yang berjalan kaku menuruni tangga, area lutut ke bawah terasa dingin dan itu membuatnya risih karena sabrina berbentuk floral yang ketat dan menunjukkan lekuk tobuh molek tersebut. Banyak umpatan yang mengarah pada pemilik sejati raga ini, tetapi dia juga merasa bersyukur.
Jam telah menunjuk setengah tujuh saat itu, dia masih berkeliling kamar luas yang membuatnya bingung. Tangannya menyortir dinding yang mungkin saja mengarah pada lemari pakaian Leyna, setelah berkeliling sepuluh menit dia mendapatkannya, mendorong pelan bagian dinding yang berbeda dengan kawanannya.
Ini lebih mirip butik daripada lemari pakaian, batin jiwa pria tersebut yang menggeleng tak percaya, kabinet yang mengelilingi ruangan tersembunyi tersebut dengan sebuah kursi panjang di tengah dan dua kaca panjang meninggi untuk membantu melihat penampilan anak kedua Grissham. Tungkai kakinya mengelilingi satu ruangan dan berhenti di kabinet sebelah kiri.
Dia tersenyum puas, dia melihat banyak tanda di bawah bagian pembatas lemari seperti 'Sunday', 'Saturday', 'Thursday' dan dia berdiri di hari ini 'Tuesday'. Entah apa yang membuat wanita cantik itu membuat pembagian seperti ini, jiwa Dion merasa beruntung. Setidaknya, pilihannya dipersempit.
Semuanya bergaya rok entah itu span ataupun yang mengembang. Dion tidak tahu apa sebutannya. Dan, apakah tadi dia bilang merasa bersyukur?
Tarik balik jawabannya, tidak sebersyukur itu sebenarnya. Dia berharap ada celana yang bisa dipakai walaupun celana pendek. Tetapi, mendapati kalau pilihan pakaian hari ini semuanya gaun atau rok, semangatnya menguap bersama embun pagi.
Sekarang dia duduk dengan sebuah senyuman canggung di depan meja makan. Sebuah roti isi penuh dengan isian sosis dan sayuran seperti selada tersaji di depannya dengan sebuah cairan coklat pekat. Sarapan yang sama dengan tiga anggota lainnya kecuali minuman. Dion melirik ke arah sang pria yang berada di umur empat puluhannya lalu kembali fokus menggigit roti dengan canggung.
Ayo lah, Dion! Kau bisa, jangan membuat mereka curiga, batinnya yang risih berada di lingkaran yang bukan miliknya. Seharusnya, sekarang dia dalam perjalanan ke sekolah dengan sepeda lima menit yang lalu.
“Ada yang mau kau katakan, Leyna?”
Dion menghentikan olahan tepung yang tersisa setengah itu di depan bibir tipis yang bukan miliknya sambil matanya melihat sang pemimpin daerah dengan takut dan penuh kehati-hatian. Dia melirik dua perempuan berbeda usia yang duduk di seberang yang menatapnya dengan eskpresi penuh tanya. Dengan canggung, dia menurunkan roti isi, hatinya berkomat-kamit supaya tidak ada yang mengetahui kalau tangannya sedikit bergetar.
“Pretty, ada yang mau kamu katakan?” timpal wanita yang lebih tua. Dion tahu dia adalah pasangan sehidup semati sang pemimpin yang duduk di tengah. Karena, pasangan tersebut pernah mengunjungi sekolah dasar tempatnya mengajar sekali.
Ekspresi Dion masih sama tak berkutik walaupun dia senang karena wanita yang merupakan ibu dari pemilik tubuh yang didiaminya ini masih sama lembut dan berwibawanya. Dengan yakin dia menatap langsung wajah Chayton, “Dad,”
Dion merasa geli memanggil seseorang dengan sebutan seperti itu. Sudah lama sekali. Begitu lama dia tidak mengucap panggilan tersebut sampai dia lupa perasaan hangat tersebut yang berganti menjadi perasaan menggelitik risih. Tetapi dia harus memanggil panggilan tersebut jika ingin segera bebas.
Chayton melihatnya dengan lurus, memberikan kode kalau dia boleh berbicara. Ludah Dion diteguk kasar karena sedikit tidak berani berhadapan dengan pria berpakaian formal untuk mengawali hari.
“Bolehkah aku tidak ikut hari ini? Ada urusan yang perlu kuselesaikan.” katanya dengan nada meminta izin yang memelas. Ada perasaan kelegaan saat mengungkap hal tersebut walaupun tidak sepenuhnya merasakan hal tersebut.
Chayton menegak kopi hitamnya hingga tandas dan memfokuskan atensinya pada putrinya. Begitu juga dengan Aubrey, Quinza lebih memilih untuk menghabiskan sarapannya dengan cepat supaya tidak terlambat masuk sekolah.
“Ada masalah apa?”
Pertanyaan yang dilontarkan dengan tegas dan penuh tekanan itu membuat nyali sang gadis menciut perlahan. “Aku … aku ada janji dengan pemilik Linx Café.” jawab Dion yang memikirkan alasan logis. Ingatan yang apa adanya berusaha menggali info lebih banyak dari pembicaraannya dengan sang nenek saat petang menjelang.
“Temanmu?” tanya Chayton yang segara dibenarkan oleh Dion. Walaupun, dia tidak tahu teman seperti apa, tetapi dia ingat dari neneknya yang mungkin sedang mencemaskan dirinya yang tidak pulang semalaman kalau anak kedua Grissham memiliki teman yang merupakan pemilik café yang ternama di Burk’s Falls.
“Bagaimana kabarnya?”
Dion segera mengingat dua minggu yang lalu saat dia menghampiri café tersebut untuk melepas penat, “Dia baik, Dad. Sudah lama tidak bertemu dengannya.”
Bohong! Dion tidak tahu kapan Leyna ini bertemu dengan sang pemilik café terakhir kalinya. Tetapi yang terpenting, dia harus tetap tinggal di sini untuk segera menyelesaikan masalahnya.
“Okay. Lagipula, hari ini tidak ada pertemuan yang penting. Daddy berencana untuk bermain golf dengan pemimpin daerah sebelah. Leyna juga tidak ada jadwal balet kan?”
Dion melebarkan bola matanya, lalu menggeleng kikuk.
Chayton menyingkirkan piringnya lebih ke dalam, membersihkan noda di bibirnya dengan kain yang diberikan, “Temui temanmu hari ini. Katakan kalau Daddy dan Mommy menitip salam untuknya.”
Gotcha! Pekik Dion dengan senang dalam hati. Kalau ada kelegaan terbaik dalam dirinya, ini adalah bukti akurat.
Setelah mendapatkan persetujuan, dia mengulas senyum sumringah. Buru-buru Dion bangkit dari tempatnya, tidak lupa menarik turun gaun sabrina yang dikenakan, “Thank you, Tu … Dad, Mom.”
Chayton, Aubrey, dan Quinza langsung bangkir dan meninggalkan Leyna palsu di meja makan untuk segera mengawali hari. Tanpa Dion sadari, Quinza, satu-satunya sang adik merasa aneh dengan perilaku kakaknya.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Sesuai dengan kesepakatan -begitu Dion anggap- dengan Chayton saat sarapan setengah jam yang lalu. Sekarang dia tengah bersiap untuk menuju café tersebut. Setahunya café bergaya klasik itu dibuka lima menit lagi. Karena penduduk di sini yang tidak lebih dari seribu orang, usaha bisa dibuka lebih lambat dari jam biasanya. Kembali lagi dia di kamar pribadi Leyna dengan tubuh yang sama. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, dia sudah lelah dengan ini. Inginnya untuk kembali ke raga aslinya. Lebih rela disidang oleh siapapun daripada terperangkap dalam tubuh langsing nan molek seorang gadis. Tangannya meraih sebuah tabung kecil warna pink sakura. “Ini apa?” tanya Dion kepada semilir angin yang menggesek dedaunan pohon di luar kamar. Membuka tutup tabung tersebut dan mengernyit dahi saat melihat kalau itu ternyata ada sebuah lip tint. Seorang guru berusia sepertinya sering kali membawa benda seperti ini dan mengoles ke bibirnya. Setidaknya dia tahu fungsi dicip
“Hey! Hey! Hati-hati bawanya!” “Kami tidak akan seperti ini jika Anda bekerja sama, Tuan.” ucap pria bertubuh kekar yang menahan lengan Leyna sembari menaiki tangga. Leyna menepis pemikirannya tersebut, ini bukan lengannya, tubuh ini juga bukan miliknya. Bagaimana bisa pinggang rampingnya lenyap tergantikan dengan pinggang yang lebih lebar dan punya perut yang samar punya garis. Swear God! Dia tidak melihat, hanya menyentuh tanpa sadar untuk memastikan. Leyna tidak menyangka kalau seluruh bagian tubuhnya berganti dan sekarang dia dibawa ke ruang rapat. Sungguh, dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan pasrah didudukkan ke kursi. Bukan itu pusatnya, matanya melotot melihat tubuhnya berdiri di samping jendela yang terbuka setengah menikmati sinar mentari pagi. Tubuhnya, tubuh yang sebenarnya. Ada di sana. “Bisa tinggalkan kami berdua?” ucap suara halus miliknya. Benar miliknya tapi keluar dari raga yang tengah berjalan menghampirin
[Leyna POV] Aku menatap tubuhku yang masih duduk di depan meja bundar, lalu kembali melihat pemandangan pepohonan yang dibarengi dengan tempat tinggal burung di ranting pepohonan. “Jadi, kau juga tidak tahu penyebabnya?” Kulihat Stranger Soul -panggilan dariku- menggeleng. Aku kangen mengikat rambut, biasanya aku tidak akan menggerai rambutku seperti itu. Aku juga tidak bisa mengikat rambut yang pendek ini. "Dan, bisa dibilang kita sekarang bertukar raga?" Stranger itu kembali mengangguk, tanpa melihat diriku sama sekali. Aku yakin sekali kalau dua penjaga itu masih berdiri di depan pintu ruangan menunggu sesi kami selesai, aku tidak tahu akan kapan selesainya. "Berapa lama?" tanyaku lagi. Stranger yang mengaku bernama Dion Addison itu menggeleng tidak menahu dengan bahunya yang terangkat. "Kau lebih mirip wartawan daripada anak pemimpin. Daritadi, bertanya.," kata
Dion menyeruput teh melati yang disuguhkan lima menit yang lalu oleh Leyna, entah apa yang membuat Chayton Grissham meletakkan banyak kantung teh melati, bubuk kopi serta setoples gula putih di ruangan tersebut. Begitu juga dengan Leyna yang menjatuhkan pilihan pada air putih. Karena, dia merasa bibirnya kering. "Seperti yang tadi aku katakan, aku seorang guru matematika sekola dasar sekaligus wali kelas enam. Burk's Falls Primary School, di situ tempat aku bekerja," kata Dion yang memulai pembicaraan terhenti sepuluh menit bagi Leyna menyeduh teh di pojok. Leyna mengangguk mengenal lokasi sekolah tersebut. "Seharusnya, hari ini aku punya tiga shift mengajar dan memeriksa tugas mereka. Tapi, sepertinya kepala sekolah tidak akan cepat mencabut tuntutan." "Aku dikenal dengan pria berstandar tinggi. Alasannya karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun dan tidak terlihat pernah mengencani seumur hidup. Aku tahu itu karena sengaja memancing guru
Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni. Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya. Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L