Dion menyeruput teh melati yang disuguhkan lima menit yang lalu oleh Leyna, entah apa yang membuat Chayton Grissham meletakkan banyak kantung teh melati, bubuk kopi serta setoples gula putih di ruangan tersebut. Begitu juga dengan Leyna yang menjatuhkan pilihan pada air putih. Karena, dia merasa bibirnya kering.
"Seperti yang tadi aku katakan, aku seorang guru matematika sekola dasar sekaligus wali kelas enam. Burk's Falls Primary School, di situ tempat aku bekerja," kata Dion yang memulai pembicaraan terhenti sepuluh menit bagi Leyna menyeduh teh di pojok. Leyna mengangguk mengenal lokasi sekolah tersebut. "Seharusnya, hari ini aku punya tiga shift mengajar dan memeriksa tugas mereka. Tapi, sepertinya kepala sekolah tidak akan cepat mencabut tuntutan."
"Aku dikenal dengan pria berstandar tinggi. Alasannya karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun dan tidak terlihat pernah mengencani seumur hidup. Aku tahu itu karena sengaja memancing guru lain yang mudah membocorkan informasi." sambung Dion lagi. Matanya menatap lurus ke arah cairan bening kecoklatan di tangannya. "Jadi, kau tidak perlu banyak bicara atau bersosialisasi dengan mereka. Cukup melewati hari, jawab pertanyaan dengan singkat."
"Bagaimana dengan selepas jam mengajar?" tanya Leyna, walaupun dia tahu menjalani kehidupan normal seorang Dion Addison tidak akan secepat itu.
Dion menerawang dan tersenyum lemah, menyentuh hati jiwa gadis tersebut untuk kembali menormalisasikan semuanya, "Jam mengajar dimulai jam delapan, biasanya aku sampai tiga puluh menit lebih cepat untuk mempersiapkan materi. Aku bangun jam lima pagi, bersiap-siap untuk jogging selama tiga puluh menit, menyiram kebun, membersihkan rumah, dan memasak sarapan sebelum mandi di tujuh kurang lima belas menit."
"Are you live alone?"
Dion menggeleng kepalanya, membuat surai rambut panjang sedikit menutupi wajah, "Berdua dengan Nenek. Granny Greisy, kau mengenalnya?"
"Of course. Aku sering bicara dengannya saat dia keluar dan duduk di teras rumah. Number 125 is your house?" Leyna segera berucap dengan binar semangat di matanya. Dion terikut tersenyum saat mendengar intonasi mengebu itu.
Dion berdehem sebagai jawaban, "Granny termasuk nenek pada umumnya. Karena aku selalu hidup dengannya. Jadi, jangan membentaknya kalau dia menceramahimu. Pastikan juga untuk pulang tepat waktu, Granny selalu suka berjemur di jam lima sore di luar, temani dia. Walaupun belum mandi, tidak apa-apa. Dia hanya suka duduk di teras sambil mengobrol."
"Untuk makanannya, aku biasanya menyatukan makananku sehingga aku tidak masak dua kali. Granny tidak begitu suka yang terlalu lembek tapi tidak terlalu keras juga, sesekali sajikan yang dimasak dengan cara kukus. Untuk sarapan biasanya aku hidangkan oatmeal untuknya, untukku kutambahkan beberapa buah-buahan. Jangan lupa, untuk memberikan jus buah setiap malam atau hanya buah yang dipotong juga."
"Sepertinya, kau sangat menyayangi Granny." sela Leyna setelah menandaskan minumannya dan meletakkan cangkir kosong di atas meja rapat.
Dion terdiam, menganalisa kejadian yang terjadi sebelumnya dan menyadari sesuatu,"Oh! Sorry, aku hanya ingin memastikan kalau Granny bisa kuserahkan padamu. Karena, tidak mungkin aku bisa menemaninya setiap hari dalam kondisi seperti ini."
Leyna mengibaskan tangannya, "It's okay. Aku tidak pernah menjaga seorang nenek sebelumnya. Dia sudah pergi saat aku masih berusia lima tahun. Senang melihatmu bisa dekat dengan Granny di zaman seperti ini."
"Hanya Granny yang kupunya. Dia yang menjagaku sejak kecil." balas Dion dengan lemah tetapi masih bisa didengar dengan baik oleh lawan bicaranya.
"Now your turn."
Leyna menghembuskan napasnya, lalu menerawang, "Kurasa kau tahu aku punya dua saudara. Aku berada ditengah, Andrian sedang sibuk sekolah kedokteran di Ottawa. Adik perempuanku Quinza masih sekolah. Keseharianku biasanya hanya bangun pagi di jam setengah tujuh, mandi, bersiap-siap, sarapan bersama di jam tujuh, dan mengantar Quinza ke sekolah. Lalu menemani Daddy dan Mommy melakukan urusannya."
"Termasuk Burk's Falls, aku juga kerap campur tangan mengurusinya dengan Daddy. Daddy termasuk punya banyak koneksi, pemimpin wilayah lain juga Daddy tahu dan tak jarang punya kerjasama dengan mereka. Burk's Falls Primary School adalah hasil kerjasama dengan Casselman."
Dion mengangguk lalu menyela dengan suaranya, "Berarti kalau ada pesta atau acara seperti itu, kau selalu hadir?"
"Most of time. Aku selalu menyempatkan diri juga untuk keliling Burk's Falls, bisa dibilang aku lebih suka terjun langsung ke lapangan untuk memantau kondisi. Aku tidak tahu Granny mengetahui ini atau tidak, but I'm ballerina. That's the reason sometimes I don't go to the party."
"You ... are ballerina?" ulang Dion dengan tergagap. Dia mulai memiliki pemikiran yang buruk untuk situasi ke depannya.
Leyna mengangguk, "Ini lagi sibuknya, karena akan ada classical opera dan ballerina juga ikut berpartisipasi. Kau mau tidak mau harus ikut latihan. Aku tahu kau guru matematika. Tapi, kurasa untuk mengenal nada do re mi fa sol la si do, pastilah tidak buruk."
"Ya, memang tidak buruk. Tapi, aku tidak punya fleksibilitas tubuh yang tinggi sebagai balerina." ucap Dion sambil menggaruk lehernya yang mendadak terasa gatal.
"Aku tahu. Jam kegiatan balerina dimulai pukul dua dan biasanya selesai pukul empat. Tetapi, karena akan ada acara maka diundur sampai jam lima. Biasanya hanya tiga kali sehari karena aku tidak perlu sesering itu lagi datang. Tetapi, ini menjadi lima kali sehari untuk menyempurnakan gerakan."
Leyna kembali berucap setelah melihat wajah tegang terpahat dengan baik di depannya, "Aku memintamu merekam latihanmu selama tiga jam itu. Tidak apa-apa, Mommy ataupun Daddy tidak pernah menungguku latihan, mereka punya banyak urusan. Jadi, kau cukup membuat alasan logis kepada pengajarnya."
"Selain itu? Maksudku, selain kau mengikuti Tuan Grissham seharian, memiliki kegiatan balet dan menyapa penduduk, apa ada lagi?"
Leyna menggeleng pelan yang membawa kelegaan untuk Dion, "Aku tidak begitu suka belajar dan masih tidak punya tujuan hidup. Maka dari itu, aku tidak bekerja. Setelah lulus, aku diminta untuk bekerja. Tetapi, tidak ada yang cocok. Daddy memutuskan untuk membiarkan aku mengikutinya untuk menambah pengalaman hidup."
Dion mengangguk paham, "Kalau begitu, besok aku harus ke studio tari kan? Bisa ajarkan aku teknik dasar?"
Leyna mengangguk, berharap walaupun dia di raga pria bisa mengajari lawan bicaranya semulus seorang gadis balerina. "Sepatunya ada di kamar. Berwarna cream dengan talinya juga. Izin kepada mereka saja, tidak apa-apa."
Dion mengangguk dan keluar dari ruangan, tetapi belum dia meraih pintu, dia mengeluarkan suara.
"Oh! I forgot to say, setiap minggu, aku selalu mengajaknya ke Little Doe Lake. Dia paling suka diajak ke sana. Ajak dia pergi di waktu pagi hari, dia suka piknik if you curious. Really like children a lot than you think."
"I know, Dion."
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni. Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya. Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping
[Dion Addison] Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon. “Your uncle came again this morning.” Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya. “Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu pa
"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat. Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu. Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini. Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu. "Leyna