"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart.
Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya.
"Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya.
"Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda
"Radit mana?""Gak ikut. Mamanya hari ini udah boleh pulang."Fanala merasa asing menemui Sasha hanya seorang diri di depan pintu. Biasanya akan ada dua remaja laki-laki yang membuntutinya. Ganjil sekali melihatnya berdiri tunggal begini."Gathan?""Mampir beli camilan dulu. Dan gue gak dibolehin ikut. Katanya gue bakalan bikin jebol kantongnya, bikin pembagian uang jajannya selama satu munggu ke depan kacau. Dasar pelit memang si Gathan. Gak kayak Radit," omel Sasha. Ia langsung bersila di atas lantai, mengeluarkan buku-bukunya di atas meja.Fanala duduk di seberang Sasha. "Jadi Radit itu semacam bendahara?""Begitulah.""Kalo lo?"Sejenak Sasha mengernyitkan alisnya, berpikir. "Ketua geng." Ia tertawa dengan candaannya sendiri. "Kalo Gathan jangan tanya, dia ngakunya visual, padahal yang beneran visual aja milih jadi bendahara. Dia itu u
Tok, tok, tok!Fanala melenguh, mengganti posisinya. Tangan meraba-raba mencari ponsel untuk melihat pukul berapa. Rasanya belum lama ia terjaga untuk solat subuh dan kembali melanjutkan mimpi.Sebelah mata Fanala mengintip sementara yang lain tak kuat menerima cahaya layar ponsel yang menyilaukan. 05.18. Astaga... Siapa yang bertamu sepagi ini, sih?! Urusan mendesak apa menyangkut dirinya yang harus dituntaskan sedini ini? Gila sekali. Tidak memahami penderitaan mahasiswa yang merasa bahwa tidur cukup adalah sebuah kemewahan.Fanala berniat mengabaikannya, namun si Pengetuk terlalu keras hati untuk menyerah.Sial!Nyap-nyap, Fanala keluar dari kamarnya. Bila pun di luar sana bukan tamu melainkan penjahat, ia tak akan segan mencaci makinya hingga menciut tanpa nyali. Dasar tak punya hati, mengganggu mahasiswa subuh begini!Pintu di tarik kasar. Empunya habis sabar.
"Apa, sih, Than?" desis Sasha, menoleh ke belakang saat Gathan seenak pantatnya mengetuk kepalanya menggunakan sudut penggaris. "Belajar," geram Gathan, "Jangan ngaca mulu. Giliran gak ada kegiatan lo gak mau ngaca. Udah cantik lo itu."Wajah Sasha kesal tapi tak ingin memperpanjang urusan. Ia sedang tidak ingin berdiri di luar. Dan lagi, walau tak biasa, ucapan Gathan benar. Dia harus belajar, ujian tak lama lagi. Meski ia tak paham Gathan dapat hidayah dari mana menegurnya untuk belajar di kelas. Radit yang duduk di sisi Gathan pun mendapat aksi yang sama seperti Sasha. "Sakit, Go!" Radit membelalaki Gathan yang santai saja. Ia kemudian melirik guru Geografi yang teng
Fanala henti di tengah halaman ketika menyadari ada yang tegak di depan pintu rumahnya. Ia tak pasti apa, namun agak seperti orang, tapi terlalu kaku untuk jadi makhluk hidup. Sebab lampu belum dinyalakan. Hanya cahaya remang dari lampu teras tetangga juga lampu jalan yang membantu penerangan. Suasana sepi malah membuatnya jadi lebih creepy. Ini sudah pukul sebelas kurang beberapa menit lagi.Fanala baru pulang dari rumah orang tuanya di luar kota. Tadinya Karel mau menjempunya di stasiun, namun ia berkata tak usah karena sudah pesan taksi online. Sekarang ia agak menyesal.Berdehem Fanala. Tak ada respon. Memastikana bahwasannya yang bersiri depan sana bukanlah manusia. Ia pun mengambil ponsel, menyalakan senter portable. Perlahan di arahnya pada entah-apa yang berdiri di sana.Napasnya terurai. Baru sadar sejak tadi ia menahanya. Sekali lagi Fanala mengarahkan cahaya pada benda asing yang sempa
Sasha dan Radit duduk di sebuah bangku taman belakang sekolah. Keduanya diam. Ditinggal Gathan yang kelewat excited melihat hasil tryout yang kabarnya baru di tempel di mading. Sahabat mereka itu sudah jadi bagian kaum minoritas yang punya hasrat berjejalan sekedar untuk memeriksa nilai yang tak masuk hitungan dalam kelulusan.Taman itu cukup ramai. Para murid berkumpul dalam kelompok masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang main kejar-kejaran (tampaknya melibatkan perasaan), ada yang hanya sekedar bercanda atau mengobrol di selingin cemilan basreng berteman es teh. Layaknya akhir pekan sekolah biasa. Banyak jam kosong yang dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersenang-senang."Dit?""Apa?" Radit menoleh pada Sasha, meninggalkan game online di ponselnya."Gue mau nanya pendapat lo, boleh?"Radit melipat sebelah kakinya di atas kursi, agar dapat sepenuhnya menghadap Sasha.
Hari Minggu berlalu tenang. Gathan dan Fanala sama sekali tak bicara selama proses bimbel Sasha. Si Gathan yang telah berhasil membuat Fanala salah tingkah itu hanya melirik gadis yang ditemuinya semalam sesekali. Ia terlalu sibuk berkompetisi siapa yang lebih cepat menyelesaikan soal dengan Radit. Jadi hari itu berjalan, datar, agak canggung, serta lancar bagi Gathan dan Fanala.Pada Seninnya, Gathan tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Hanya makananya yang tiba menjelang pukul sebelas malam.Jadi ceritanya, Fanala mengunggah status di Whatsapp bahwa tengah mengidamkan seblak ceker tanpa berpikir ada yang merespon. Namun usai sekitar dua puluh menit berlalu, diketuklah pintu huniannya oleh abang ojek online berhelm hijau, menyatakan diri di kirim oleh pengguna bernama 'Gathan Ganz'.Dan ketika bokong Fanala baru menyentuh empuknya sofa coklat miliknya, sebuah pesan dari Gathan masuk.
Fanala tak lupa mengecup pipi standee D.O sebelum pergi keluar menemui Karel yang sudah menanti. Sebuah rutinitas baru sejak benda itu ada di sini."Rel, lo bawa laptop, kan?" Fanala bertanya pada Karel yang sudah stand by di atas motor hitamnya. Tangan Fanala bergerak cepat mengunci pintu."Bawa," jawab Karel singkat. Matanya memandang dua pot bunga matahari di tepi halaman, baru sadar akan kehadirannya."Punya gue low bat lupa di-charge," Fanala memberi penjelasan usai menerima helm dari sahabatnya.Tak menanggapi ucapan Fanala, Karel mata bertanya soal lain. "Lo melihara bunga matahari sekarang, La?""Iya." Fanala naik ke atas motor. "Soalnya sekarang dapet bunga yang masih hidup.""Loh," Karel menoleh, tangannya sudah siap di atas stang, "gue kira udah gak ada kiriman lagi.""Cuma libur doang. Dua minggu."