Share

The Time Replayers
The Time Replayers
Author: Reez

1

Author: Reez
last update Last Updated: 2021-08-27 11:07:03

“Jangan sembarangan mengucap permintaan, Ferre!”

“Kenapa memangnya, Ma?”

“Karena kamu tidak tahu permintaanmu yang mana yang akan dikabulkan,”

“Bukankah justru itu bagus, Ma? Permintaanku akan dikabulkan adalah hal yang bagus, bukan?”

“Tidak semua permintaanmu adalah hal baik bagimu, sayang.”

“Kenapa demikian, Ma?”

“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu.”

“Tapi yang kuminta adalah yang baik-baik untukku.”

“Tuhan tahu apa yang terbaik untukmu, Ferre.”

Dadaku sedang sakit ketika tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama tersebut. Itu kata-kata Mama belasan, bahkan puluhan tahun silam. Aku lupa apa yang kulakukan atau kuminta ketika Mama menasihatiku demikian. Tapi hari ini kata-kata Mama di suatu kejadian dalam hidupku tersebut kembali terngiang.

Dan kini, saat ini, aku baru mengerti apa yang Mama maksud. Orang-orang zaman dahulu sering menyebutnya dengan “kualat”. Mungkin saja itu yang sedang terjadi padaku.

“Ma...” aku ingin memanggilnya, tapi lidahku kelu.

Tidak banyak yang kuingat selain ambulans yang membawaku ke rumah sakit usai diriku tumbang akibat sesak napas.

Steven, kawan kantorku, mengatakan bahwa kemungkinan aku terpapar virus Corona.

Kukatakan padanya untuk tidak mempedulikan diriku. Aku memang menginginkannya, semua rasa sakit ini. Kalau itu bisa membuatku terlahir kembali, itu sudah cukup bagiku untuk memilih mati.

Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh. Aku tidak cukup punya nyali untuk mati. Seperti halnya aku tidak punya cukup nyali untuk meneruskan hidup.

Tapi sekali lagi, aku tidak bersungguh-sungguh ingin mati. Aku hanya tidak tahu bahwa justru doaku yang kuucapkan saat aku sedang sekarat, justru menjadi doa yang Dia kabulkan.

Ini bukan sesuatu yang menjadi ekpektasiku.

“Ferre...?” itu kata-kata terakhir Steven yang kudengar.

Kupikir ia tidak menyadari bahwa aku sudah mulai kehilangan kesadaranku. Terlebih lagi, rasa sakit di dadaku semakin menjadi. Sakit, luar biasa sakit. Aku tidak bisa bernapas. Sampai aku berpikir jangan-jangan ini memang akhir dari hidupku.

Sepertinya aku mulai sekarat.

Tubuhku terasa seperti terbakar. Aku sendiri sudah mulai merasakan, sepertinya memang inilah akhir dari hidupku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Selama ini aku tidak pernah merasa memiliki gejala Corona. Bahkan aku selalu menjaga jarak dengan orang di sekitarku.

Apakah benar aku sesak napas karena Corona?

“Ferre, apa yang terjadi sebenarnya...?” tanya Steven.

Pertanyaan Steven hampir sama dengan pertanyaan Rita beberapa malam yang telah lalu.

Sama seperti malam ini, aku juga tidak bisa menjawabnya.

Caraku diam untuk tidak menjawab pertanyaan Steven sama dengan caraku untuk tidak menjawab pertanyaan Rita tersebut. Malam itu juga dadaku sedang sesak. Sesak oleh semua beban yang kubawa dari kantor.

Maka kami pun sama-sama diam, di meja makan yang sepi.

Anak-anak sudah tidur. Seharusnya kujawab pertanyaan Rita. Sudah cukup buruk pertengkaran yang terjadi sebelum ia bertanya demikian. Ya, seharusnya kukatakan padanya, bahwa mungkin saja aku ingin memperbaiki semua.

Aku akan mulai lebih peduli, aku akan mulai menanyakan kabarnya setiap siang, aku akan lebih sering mengajak anak-anak bermain.

Aku akan...aku akan...

Semuanya tidak pernah terucap.

Akhirnya Rita berdiri, mengambil dua buah cangkir, dan menyeduh teh buatannya.

Ia menaruh satu cangkir di depanku, dan duduk di tempatnya semula. Teh yang memiliki aroma khas buatan Rita. Kuhirup dalam-dalam dan kuteguk hinggga habis.

Nikmat sekali rasanya. 

Lalu aku beranjak dari meja makan dan pergi ke kamar tidur, meninggalkannya yang sedang mencuci cangkir-cangkir kami di bak cuci piring. Punggungnya yang menghadap bak cuci piring adalah hal terakhir yang kulihat malam tersebut.

Mungkin di balik itu dia menitikkan air mata.

Kusadari kami perlu menumbuhkan kembali rasa cinta di antara kami. Kami harus pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kami berdua di sana. Ke pegunungan, atau ke luar negeri, ke mana pun.

Sebaiknya tidak di Bandung. Juga sebaiknya tidak ke rumah orang tua kami. Bukan dalam momen seperti mudik atau semacamnya.

Hanya untuk kami, tanpa alasan.

Kami sangat perlu mengembalikan semua rasa yang pernah ada, seperti saat pertama kali aku mengencaninya di kelas tiga sekolah menengah atas.

Sebelum aku lebih memilih karierku daripada dirinya.

Sebelum aku berubah menjadi tidak peduli akan urusan rumah tangga.

Tidak perlu lama, cukup satu atau dua minggu. Tapi cukup kami berdua, dan membuat kami kembali saling mencintai. Lebih tepatnya aku kembali mencintainya seperti pertama kali. Karena kurasa cintanya kepadaku tidak pernah berubah.

Akulah yang salah.

Mungkin kami perlu pindah rumah. Sebuah rumah di area suburban, barangkali. Atau ke daerah Lembang. Akan kujual rumah kami dan pindah ke tempat baru. Tempat itu tidak perlu lebih bagus dari tempat tinggal kami sekarang. Yang terpenting bagiku adalah suasana baru untuk kami. Sehingga keluarga kami dapat memulai semuanya dari awal.

Di sana aku akan membesarkan Narendra dan Maisha, dua buah cinta kami. Kumasukkan mereka ke sekolah terbaik dan kuajari caranya menikmati hidup agar mereka tidak terbebani sepertiku. Mereka tidak perlu masuk ITB sepertiku jika tidak ingin. Yang harus mereka lakukan hanya memaknai dan menikmati perjalanan hidupnya masing-masing.

Tidak boleh ada keluhan frustrasi dari anakku yang terpaksa mengikuti jejakku.

Tidak, itu tidak boleh kulakukan!

Sudah cukup bagiku menderita.

Jangan sampai mereka juga.

Itulah yang seharusnya kuperbuat. Harus, kami harus melakukannya. Sudah semestinya kutatap mata Rita dalam-dalam dan kusampaikan semua niatku itu.

Tapi tidak. Semua sudah berlalu, dan aku tidak pernah mengatakannya. Walau aku tahu Rita ingin mendengar sesuatu dari mulutku. Hanya saja, semua berakhir di sana. 

Seperti yang kualami sekarang.

“Ferre?” sayup-sayup masih kudengar suara Steven.

Kau mau tahu?

Aku ingin segalanya, Steven. Aku ingin kaya, aku ingin menikahi Nikita Willy. Aku ingin menguasai dunia.

Aku ingin...aku ingin...

Tak sempat mulutku menjawabnya.

Hanya tenggorokan tercekatku yang terdengar.

“Ferre, kau bisa mendengarku?” kata Steven lagi.

Kulihat ia mulai panik, sebelum pandangan mataku mulai mengabur, mengabur, dan semakin mengabur. Tubuhku semakin terasa ringan, bahkan  tanganku seolah lepas dari tempatnya, lalu kakiku...

Semua mati rasa.

Aku tidak dapat bernapas.

Aku tidak dapat bergerak.

Sial, jika memang aku harus mati sekarang, haruskah dengan cara seperti ini?

Tidak adakah cara mati yang lebih elegan?

Setidaknya aku layak untuk mati secara lebih terhormat.

Bukankah demikian?

Aku tidak tahu kenapa aku memikirkan caraku mati. Saat ini mungkin aku sudah berada di ujung kehidupanku. Aku seperti tenggelam.

Wajah Steven, dan juga pemandangan di sekelilingku, semakin lama semakin menghilang. Tubuhku lemas, dan sedikit demi sedikit menyentuh mulai terasa semakin ringan.

Namun tidak kurasakan apa pun.

Hanya setelahnya aku merasa kembali jatuh. Jatuh dari ketinggian ke dalam lubang yang seolah tanpa ujung. Kuakui, sedikit-banyak aku menyambut ini semua.

Menyambut kematianku.

Karena kurasa ini lah saatnya aku pergi.

Aku pun merasa jatuh.

Sekelilingku pun perlahan menjadi kosong, kosong, dan semakin kosong.

Kemudian hilang sama sekali.

Kurasakan diriku terbaring di suatu tempat.

Terasa sangat lama aku terbaring demikian, di suatu tempat yang aku tak dapat mengenali di mana.

Tubuhku, kepalaku, semuanya, tak dapat digerakkan.

Sekelilingku kosong, tidak gelap, dan tidak juga terang.

Aku tidak tahu berapa lama aku berada dalam keadaan demikian, hanya saja kurasakan mataku semakin lelah, begitupun tubuhku.

Sehingga tiba suatu saat aku tidak bisa menahannya lagi, mataku pun menutup, kupikir untuk selamanya.

Lalu tubuhku terasa semakin ringan. Aku sudah siap andai inilah saatku dibawa ke akhirat.

Tubuhku melayang, dan seolah semakin tinggi.

Aku terbang.

Matikah aku?

Tapi...

Perlahan aku kembali merasakan tubuhku.

Sedikit demi sedikit.

Semakin lama semakin terasa.

Jika aku memang sudah mati, harusnya tidak begini, bukan?

Tapi mengapa aku mulai kembali merasakan tangan, kaki, dan tubuhku?

Berarti... aku belum mati?

Lalu... di mana aku?

Perlahan kusadari bahwa mataku sedang terpejam.

Kucoba membuka keduanya perlahan. Semula perih, namun perlahan menjadi biasa.

Kulihat ada sebuah sinar.

Lalu kucoba memicingkan mataku. Semakin lama semakin dapat mataku terbiasa menangkapnya. 

Setelahnya kusadari bahwa sinar itu berasal dari sebuah jendela.

Sepertinya sinar matahari.

Aku ada di suatu tempat.

Ternyata aku belum mati.

Aku bangun.

Aku memang masih hidup.

Ya, aku hidup!

Tapi...

Tubuhku sulit untuk digerakkan.

Lagipula, di mana aku berada?

Ini sama sekali bukan kamarku. Kucoba untuk duduk dan menegakkan tubuhku.

Pandanganku berkunang-kunang.

Kukejapkan mataku berkali-kali, sedikit demi sedikit pandanganku menjadi semakin jelas. Rasanya...aku kenal tempat ini.

Tapi... di mana?

Kukumpulkan kesadaranku, mencoba untuk berdiri.

Hei, aku tidak sendirian. Ada seseorang yang tidur di sebelahku.

Seorang perempuan.

Dan perempuan ini...

Bukan Rita!

Rasanya...aku mengenal perempuan ini, bahkan sangat mengenalnya. Lagipula tubuhnya besar sekali. Semakin kucoba mencerna apa yang terjadi, sedikit demi sedikit mulai kusadari.

Bukan dia yang besar.

Tapi aku  yang kecil.

Semakin kusadari tentang tempatku berada, dan kutemukan jawabannya mengenai di mana aku mengenal perempuan di sampingku.

Semula kupikir ini lelucon yang dibuat Steven usai aku pingsan karena mabuk. Semakin lama semakin kusadari, jika memang ini lelucon, maka ini sama sekali tidak lucu.

Kamar ini memang sangat kukenal. Hanya aku mengenalnya bukan dalam konteks di mana, melainkan kapan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Time Replayers   55

    Starla memang jarang menunjukkannya, tapi aku tahu bahwa dia juga memikirkan masa depan Adam. Butuh waktu cukup lama bagiku meyakinkan dirinya sampai ia setuju metode pendidikan yang akan kami terapkan pada Adam.Saat ini aku menikmati masa-masa Adam bermain dengan ceria. Kulitnya yang ditimpa sinar matahari pagi dan sore. Keringatnya saat bermain sepakbola, juga caranya meneguk air putih dalam jumlah banyak usai lelahnya bertanding.“Gimana permainanku, Ayah?”“Kamu melakukannya dengan sangat baik, Adam. Kamu hebat,”“Ayah selalu bilang gitu,” Adam tertawa.“Itu kenyataannya, Ayah nggak mengada-ada,” kataku sambil mengacak-acak rambutnya.Lalu kami pulang, seiring adzan magrib yang mulai berkumandang.Adam memantul-mantulkan bolanya ke jalanan selama kami menuju rumah.Mobil-mobil mulai berdatangan dari mereka yang baru saja menyelesaikan harinya.Aku membiarkan Adam masuk terlebih dahulu dan menyuruhnya untuk segera mandi, sementara kusaksikan matahari terbenam dengan indah.Sebenta

  • The Time Replayers   54

    Alarm ponselku.Perlahan kubuka mata.Starla masih ada dalam dekapanku.Ini masih kamar kami. Bukan kamar Mama dan Papa.Ini masih 2020, bukan 1989.Kuperhatikan sekujur tubuhku, tak puas, lalu aku beranjak menuju cermin.Aku, masih diriku, diriku yang berusia tiga puluh empat tahun.“Sayang?” suara lembut Starla memanggilku.Aku menoleh, tanpa sadar air mataku telah berlinang.“Kamu...kenapa?”Jawabanku adalah menghambur ke arahnya, dan memeluknya.“Re?” katanya sambil balas memelukku.“Sayang...”“Apa yang sudah terjadi? Apakah yang kamu bilang semalam....?”“Nggak..nggak sayang! Nggak!”“Maksudmu?”“Aku nggak tahu apa yang harus kubilang. Nggak ada yang harus kuceritakan. Yang pasti adalah...semua baik-baik saja,”“Jadi semua misterimu masih akan menjadi misteri?”“Kuharap selamanya,”Starla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.Kami melanjutkan hidup kami.Aku membeli sejumlah bangunan di Selatan ibu kota, tempat kami tinggal sekarang. Kuratakan mereka dan kudirikan kom

  • The Time Replayers   53

    Pesawat Starla telah tiba, aku menjemputnya, lalu membawakan bagasinya, setelah sebelumnya memeluknya erat-erat.Kugenggam tangannya sambil kami berjalan, jauh lebih erat daripada biasanya.Ia adalah hartaku yang paling berharga.Lalu di sanalah kulihat sosok itu. Di tengah keramaian bandara, ia berdiri, menatapku.Sosoknya seperti tidak terpengaruh oleh orang lain yang berlalu-lalang di sekitarnya. Semula otakku masih berusaha memproses tentang sosok ini.Lama kelamaan aku mulai menyadarinya.Rambut dan janggutnya yang putih sangat kuingat.Ia adalah bapak tua yang membelaku saat aku disidang karena menghajar Dimas. Dan dia tidak tampak berubah sama sekali, bahkan pakaian yang dikenakannya pun masih pakaian yang kulihat puluhan tahun silam.Yaitu saat ia muncul di depan kelas.Kurasa ia tersenyum ke arahku.Kupercepat langkahku untuk menghampirinya. Aku yakin ia bukan orang biasa. Bahkan aku punya firasat bahwa ia memiliki jawaban atas banyak pertanyaan yang berputar di benakku. Ten

  • The Time Replayers   52

    2023Pandemi virus Corona telah berakhir satu tahun silam. Keadaan dunia telah kembali seperti semula. Pemandangan orang-orang yang mengenakan masker di jalanan telah lama hilang.Aku dan Starla juga bisa leluasa pergi ke mana pun kami mau. Karena aku menjadi orang yang memberi petunjuk kepada Dr. Hobson untuk vaksin virus Corona, maka aku dan keluargaku mendapatkan prioritas pertama untuk mendapatkan vaksin.Kubawa Starla menyaksikan El Classico, Derby De La Madonnina, dan Derby Manchester. Kami mengenakan seragam AC Milan saat pertandingan di Milan. Aku mengamatinya berteriak, meniup peluit ejekan kepada tim lawan, dan menyanyikan lagu Curva Sud. Kami pergi berkeliling dunia, beberapa kali dengan sistem backpacking. Namun lebih sering kami menginap di hotel mewah. Walaupun demikian, kami menyusuri jalan-jalan di Paris, Munich, Madrid, Barcelona, dan Zurich. Trotoar demi trotoar kami lalui, dan kami hanya menggunakan satu buah payung jika hari hujan.Starla sendiri tidak ingin berg

  • The Time Replayers   51

    Tidak cukup banyak hal menarik yang terjadi setelah 2010, karena semua fenomena di dunia bisnis yang terjadi setelah tahun itu telah kuambil alih. Telah kukuasai dunia, dan kusebar semuanya di berbagai perusahaan. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa kekayaanku hanya bisa didekati oleh Bill Gates.Dekade setelah tahun 2010 adalah waktu untuk bermunculannya perusahaan-perusahaan startup. Semua telah kuantisipasi.Kudirikan inkubator bisnis di setiap kampus papan atas dunia. Ide-ide dan inovasi bermunculan dari sana.Para pegiat startup pun berbondong-bondong mengajukan proposal.Kuseleksi semua dokumen yang mereka berikan, dan kukucurkan dana berdasarkan kualitas bisnis yang menurutku paling baik.Bagi proposal yang kurang menarik, kuminta mereka untuk mengembangkan diri dan menerima pelatihan. Bagaimanapun aku yakin bahwa tidak ada ide inovasi mereka yang akan sia-sia.Aku belajar dari penyesalan para konglomerat yang menolak membiayai Whatsapp, Instagram, dan lain sebagainya. Tidak a

  • The Time Replayers   50

    Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar

  • The Time Replayers   49

    Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar

  • The Time Replayers   48

    Aku tidak pernah memberi Starla hadiah apa pun. Ini adalah karena aku tahu karakternya bukanlah perempuan yang terkesan dengan hadiah.Starla perempuan yang lebih menghargai pembuktian.Selama dua tahun terakhir aku telah melatih kemampuanku memainkan raket, dan hasilnya tidak memalukan. Sesekali aku bermain dengannya, bahkan menjadi pasangannya di ganda campuran.Dan ada yang tidak berubah dari kehidupanku, yaitu para sahabat sejati.Mereka yang menjadi teman dekatku di kehidupan sebelumnya, kembali menempati ruang mereka di kehidupanku kali ini. Bagaimanapun persahabatan kami tanpa pamrih. Mereka tidak ternilai dengan uang. “Jadi, gimana Starla?” tanya Adri, salah satu dari mereka.“So far good,”“Udah jadian belum?”“Belum,” aku tersenyum.“Lah, terus tiap malem Minggu itu ngapain?”“Dri, hangout di malem Minggu bukan berarti pacaran, kan?”“Normalnya sih pacaran,”“Normalnya, tapi lo tau kalo gua bukan orang normal kan?”“Sejak kali pertama gua ketemu lo,”“Jadi, nggak usah aneh

  • The Time Replayers   47

    Jumat malam, aku dan Nova telah berada di Stasiun Bandung. Percaloan tiket masih marak. Pedagang kaki lima masih bisa memasuki peron kereta. Pemandangan ini tidak akan lama lagi berlangsung. Dalam beberapa tahun ke depan, PT KAI akan menertibkan semuanya melalui direktur utama mereka yang baru.Setiba di Stasiun Yogyakarta, kami hanya perlu berjalan sekitar empat menit untuk mencapai Wake Up Homestay. Harga hotel ini hanya lima puluh ribu rupiah untuk satu malam. Aku dan Nova masing-masing mengambil satu kamar.“Beneran, aku nggak nyangka bisa dapet penginapan kayak gini. Mana udah termasuk sarapan lagi.”“Enak kan? Lalu di tiap kota wisata juga ada yang kayak gini.”“Luar biasa.”“Ya udah kita istirahat dulu. Nanti agak siangan kita jalan sambil foto-foto ya.”“Oke, selamat istirahat.”Kami masuk ke kamar masing-masing.Esok siangnya, Yogyakarta memberikan cuaca panas dan terik. Itu yang kami rasakan saat kami pergi ke luar. Di sekitar kami tercium aroma segar dedaunan dan harum bung

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status