Share

3

Kuperhatikan sekelilingku.

Aku berada di ruangan tengah sebuah rumah. Kucoba untuk berpikir. Ruangan ini sangat kukenal. Setelah beberapa saat mencerna, kudapati diriku berhasil mengingat, bahwa ini adalah ruangan tengah rumah tempat tinggal orang tuaku.

Namun, keadaannya begitu... kuno.

Di sekelilingku nampak benda-benda yang sudah hampir kulupakan, namun nampak tidak asing. Lemari kayu yang seingatku sudah lama dibuang, namun kondisinya tampak begitu baru.

Televisi tabung yang menyala menyiarkan Selekta Pop TVRI. Layarnya buram seperti dihiasi semut-semut. Di sebelahnya ada mesin jahit dengan merek “Singer” yang dulu selalu digunakan Mama untuk membuatkan baju-bajuku.

Tempatku berpijak adalah lantai marmer yang dulu sangat kunantikan untuk berganti keramik.

“Dek, kok sudah bangun?” sebuah suara memalingkanku.

Aku tidak berkata-kata, hanya menatapnya dalam diam.

“Mau minum teh?” lanjutnya.

“Mbok...Jah???” kusebut nama pemilik suara yang menanyaiku.

“Ya, minum teh ya? Mbok bikinin,” ia beranjak meninggalkan televisi dalam keadaan menyala.

Aku seperti membeku menatapnya.

Ia memang Mbok Jah.

Kuperhatikan dirinya melangkah ke arah dapur. Langkahnya berlalu sambil sosoknya menghiland di pintu dapur. Dapur kami yang dulu.

Dan ia, Mbok Jah, adalah orang yang sudah lebih dari dua puluh tahun meninggal dunia.

Aku lemas, terduduk di lantai, dan mulai memperhatikan diriku.

Diriku ternyata mengenakan celana pendek merah bergambar He-Man, serta kaus putih berlambang Batman. Lagi-lagi aku berpikir bahwa ini hanya lelucon.

Aku sendiri tidak ingat pernah menggemari kaus ini. Tapi benarkah memang lelucon? Aku sendiri mulai berpikir bahwa lelucon adalah hal yang tidak masuk akal sekarang.

Apa yang sedang terjadi?

Apakah aku sudah gila?

Kulihat di samping Mbok Jah duduk tadi tergeletak sebuah koran. Koran yang tampak masih baru.

Koran Pikiran Rakyat.

Kupungutnya dan kulihat tanggalnya. 

1 Desember 1989

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status