Chapter 5
Back on Stage
Ada kalanya kita harus mengalah meski kita tidak melakukan kesalahan. Bukan berarti kita kalah, tetapi lebih kepada bijak menyikapi sesuatu yang tidak bisa kita paksakan.
Crystal dan Chiaki memasuki sebuah toko yang ternyata menjual biola. Semula Crystal mengira itu hanya sebuah toko yang menjual biola tetapi ternyata tebakannya salah saat Chiaki merengkuh pinggangnya dan membawanya melangkah menuju ke bagian belakang tempat itu. Ternyata mereka membuat sendiri biola-biola itu.
"Kau boleh memiliki semua jika kau mau," ujar Chiaki.
Crystal menatap mata Chiaki seakan tidak percaya mendengar ucapan Chiaki. "Satu saja cukup."
"Kalau begitu beberapa."
"Cukup satu," ucap Crystal keras kepala, lagi pula tangannya hanya dua, ia hanya bisa memainkan satu buah biola. Jadi, untuk apa ia memiliki terlalu banyak?
Meskipun di masa lalu ia memiliki banyak biola sebagai koleksi, itu hanya pajangan karena faktanya ia hanya memainkan satu dari mereka. Dan berkaca dari cara hidupnya yang boros di masa lalu, ia tidak ingin membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan lagi sekarang.
"Aku ingin membeli beberapa."
"Terserah," gumam Crystal jengkel.
Mereka serempak menoleh saat suara wanita memanggil Chiaki dibarengi dengan munculnya seorang wanita berpenampilan anggun meski usianya jelas tidak muda lagi. Sebagian rambutnya mulai memutih tetapi faktanya itu tidak menjadi penghalang kecantikannya.
"Akhirnya kalian datang," ucap wanita itu, nadanya terdengar riang. Pendar di matanya tampak berkilat-kilat seolah memantulkan kebahagiaan dari dalam benaknya.
"Sayangku...." Chiaki menjauhkan lengan yang melingkar di pinggang Crystal.
Ia bergegas melangkah mendekati wanita itu dan melingkarkan lengannya di pinggang ramping wanita itu, Chiaki juga tanpa segan-segan mengecup pipi wanita itu, kecupan mesra yang membuat Crystal mengernyit menyaksikannya lalu diam-diam di dalam benaknya ia merasa jijik karena membayangkan Chiaki juga tidur dengan wanita tua.
"Kau bisa membuatnya salah paham," ujar wanita itu sambil terkekeh. "Crystal, Chiaki adalah keponakanku, ia selalu bertingkah manja padaku."
Kelegaan membanjiri jiwa Crystal. Tetapi, hanya sesaat karena wanita itu juga senyata mengenalinya meski ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajahnya.
Ia mengangguk hormat ke arah wanita itu tetapi tatapan matanya yang tampak resah sekilas menatap Chiaki sambil diam-diam ia menggigit bibir bawahnya.
"Tanteku adalah pembuat biola," ucap Chiaki, ia memasukkan telapak tangannya di saku celana kainnya.
"Kau bisa memanggilku Regan," ucap wanita yang bernama Regan, senyum ramah tidak lepas sedikit pun dari bibirnya.
"Dan kau tidak perlu sungkan padanya," timpal Chiaki yang telah kembali melingkarkan lengannya di pinggang Crystal. "Jangan khawatir, tanteku bisa akan menggigitmu."
Chiaki seolah mengerti kekhawatiran Crystal karena Regan mengenalinya.
"Chiaki, bawa Crystal ke ruanganku," kata Regan. "Aku akan meminta pelayan menyiapkan teh, ini adalah momen terbaik. Kita tidak boleh melewatkannya, bukan?"
Belum sempat Crystal membuka bibirnya untuk meminta jawaban dari Chiaki apa maksud perkataan Regan, pria itu telah menggiringnya menuju ruang pribadi Regan.
Dibandingkan duduk di dalam ruangan bersama Chiaki, ia lebih baik melihat biola-biola yang terpajang dan ia juga ingin menyaksikan pembuatannya langsung. Ia enggan duduk berlama-lama bersama pria paling aneh di muka bumi yang sekarang mau tidak mau, tidak bisa ia hindari.
"Pegawai Regan akan membawa semua yang kau perlukan ke sini," ucap Chiaki acuh.
Pria itu duduk di sofa dengan gaya seperti seorang raja, satu sikunya berada di sandaran lengan sofa. Ia menyilangkan pahanya lalu dengan gerakan santai mengambil ponsel dari dalam sakunya, mulai menggeser layar ponselnya, dengan acuh memfokuskan konsentrasinya ke layar ponsel membuat keadaan ruangan itu menjadi canggung dan senyap.
Crystal mendengus diam-diam, bagaimana bisa ia menjadi wanita simpanan seorang pria yang berubah-ubah sikapnya dalam sekejap. Baru saja sikapnya sangat manis di depan Regan, tetapi begitu Regan menghilang, Chiaki menjadi sangat acuh terhadapnya dan itu membuatnya menjadi jengkel. Ia tidak menyukai sikap acuh Chiaki, ia tidak pernah diacuhkan seperti itu seumur hidupnya.
Crystal membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya, meletakkannya ke dalam tas. Ia mengamati ruangan itu, di desain dengan gaya minimalis tetapi elegan. Hanya ada satu buah sofa panjang bernuansa santai dan dua buah sofa kecil dengan warna merah seperti mawar. Yang paling menarik perhatian Crystal adalah lukisan yang tertempel di dinding, lukisan itu abstrak, tetapi memiliki ciri khas yang menonjol dan sangat kuat. Crystal yakin, pembuatnya adalah seorang yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang seni lukis, pelukisnya pasti bukan seorang amatir.
Semula ia berniat bertanya kepada Chiaki, tetapi ia tidak yakin karena bisa saja pria itu justru bersikap sinis kepadanya. Dari pada membuat perasaannya semakin jengkel, lebih baik Crystal menelan pertanyaan di dalam benaknya.
Perhatian Crystal teralih ke arah pintu yang terbuka, Regan tampak memasuki ruangan diikuti oleh seorang pelayan yang di tangannya memegang nampan berisi teko dan tiga buah cangkir dan beberapa stoples biskuit.
Wanita itu duduk di samping Crystal. "Aku harap setelah ini kau lebih sering berkunjung ke sini."
"Tidak tanpa seizinku," sahut Chiaki tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel di tangannya.
Dasar pria sok kaku, aneh, dan arogan!
Regan terkekeh pelan. "Lihat, dia sangat posesif. Aku yakin, kau akan muak padanya kurang dari sebulan."
Crystal hanya melirik Chiaki sekilas. "Biarkan dia berbuat semaunya," ucapnya ramah.
"Ayo, Crystal, nikmati tehmu. Sebentar lagi pegawaiku akan membawakan beberapa biola ke sini."
"Terima kasih." Crystal mengambil cangkir tehnya. Perlahan ia menyesap teh yang masih mengepul. Rasanya seperti teh buatan ibunya.
Jantung Crystal terasa tertusuk. Ia merindukan ibunya, merindukan momen seperti ini. Minum teh bersama keluarganya, ia hanya mampu tersenyum masam di dalam benaknya.
"Sepertinya aku akan merindukannya buatanmu," ucap Crystal sungguh-sungguh. "Rasanya luar biasa."
"Aku akan menantikannya," kata Regan. "Aku telah lama mengagumi bakatmu, Sayang. Hari ini kau datang ke sini bersama Chiaki, aku merasa sedang bermimpi."
Crystal meletakkan cangkir di tangannya. "Aku... aku hanya tahu bermain biola, biola adalah hidupku."
"Kau sangat mencintainya, ya?"
"Melebihi apa pun."
Crystal berubah murung. Mencintai biola melebihi apa pun yang mengantarkan dirinya pada jurang kehancuran. Ia tidak pernah peduli kepada sekitarnya karena ia hanya fokus kepada biolanya. Tetapi, meski begitu ia tetap mencintai biola. Ia ingin berdiri di panggung, menggesek biolanya, memainkan nada-nada yang indah.
Regan meraih telapak tangan Crystal. "Aku bahagia karena kau ada di sini dan mendengar kau telah memutuskan untuk kembali ke panggung."
Mendengar ucapan Regan, Crystal melayangkan tatapannya ke arah Chiaki, tatapan mereka bertemu karena tanpa diduga pria itu sedang menatap ke arahnya. Hanya satundetik tatapan mereka beradu karena keduanya sama-sama mengalihkan tatapan mata mereka.
"Aku akan berusaha... semampuku," desah Crystal seolah tidak yakin pada ucapannya sendiri.
"Kami akan mendukungmu," kata Regan. "Nah, mereka datang."
Mata Rega tertuju kepada tiga orang pegawai yang memasuki ruangan itu dan masing-masing membawa dua buah biola di tangan mereka.
"Ini...," desah Crystal ketika sebuah kotak biola dibuka.
Biola itu buatan Antoni Stardivari yang di kenal dengan biola Stardivari. Biola itu di produksi tahun 1700 hingga tahun 1720, Biola yang diproduksi di tentang tahun itu dianggap memiliki harga paling tinggi. Harganya mencapai 1,6 juta Dollar. Hanya segelintir orang yang memilikinya karena jelas barang itu tidak di produksi lagi.
Selama ini Crystal hanya mampu bermimpi bisa menyentuhnya, bahkan terasa mustahil jika ia bisa memainkannya. Pendar di mata biru safir Crystal tampak berkilat-kilat, ia tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya hingga tanpa terasa bibirnya mengulas senyum bahagia. Senyum yang telah lama ia lupakan.
Perlahan tangan Crystal terulur, jemarinya bergetar menyentuh biola itu.
"Jika kau mau, kau bisa memainkannya," kata Regan. Wanita itu tersenyum, ia menatap Chiaki dan keduanya sama-sama tersenyum penuh arti.
"Aku...," desah Crystal.
Sejak ia mencoba bunuh diri, ia belum pernah menyentuh biola lagi. Ada rasa gentar menyelusup ke dalam batinnya.
Mampukah aku memainkan biola lagi?
Mampukah?
Sementara perasaannya porak-poranda, hidupnya hancur manakala Jack menendangnya dari kehidupan miliknya, lalu hatinya tidak bersisa saat menyaksikan sendiri Tian berselingkuh.
Mampukah aku memainkan nada yang indah sementara di dunia ini nyaris tidak ada keindahan lagi mataku?
"Kau bisa memainkannya kapan-kapan," kata Regan memecah keheningan. Menyingkirkan semua kekacauan di dalam benak Crystal.
Regan langsung mengalihkan pembicaraan dengan cara membuka kotak biola buatannya, berusaha membawa suasana agar hangat kembali dan usahanya membuahkan hasil, perlahan sikap Crystal melunak, aura muram yang sempat menyelimuti wajah gadis itu memudar.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar.
Salam manis dari Cherry yang manis.
š
Another ManSegalanya berubah dalam sekejap mata, seperti angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba berubah menjadi badai topan yang menghancurkan segalanya. Maka, jangan mudah terperdaya dengan apa yang tampak di depan matamu."Kau berjalan sangat lambat," gerutu Chiaki, mereka memasuki sebuah hotel berbintang lima.Crystal mendengus, ia telah berjalan dengan langkah lebar untuk menyeimbangkan langkahnya dengan Chiaki, tetapi faktanya ia tetap tertinggal di belakang pria itu.Chiaki menekan tombol lift. "Dasar, Siput." Ia itu mengejek Crystal dengan memanggilnya Siput saat Crystal telah berdiri di sampingnya.Crystal membeliak, menatap Chiaki dengan sorot mata jengkel.Sama sekali tidak lucu!"Kenapa? Ingin memakiku?" Chiaki menaikkan sebelah alisnya.Crystal hanya memutar bola matanya enggan men
Let's Play the GameIt's easy to look at people and make quick judgments about them, their present and their pasts, but you'd be amazed at the pain and tears a single smile hides.Chiaki mengeringkan rambut Crystal menggunakan handuk di tangannya, menurut Crystal itu adalah pemandangan yang tidak lazim hingga membuatnya terheran-heran. Tetapi, Crystal diam tidak berkomentar, ia memilih untuk menikmati kebaikan Chiaki."Aku tidak menyukai warna rambutmu, Donna akan mengembalikannya ke warna semula setelah kau kembali ke rumah," ujar Chiaki datar.Terserah saja, apa pun warna rambutnya, Crytsal merasa jika ia bukan pemilik raganya lagi. Ia telah menjual jiwa dan raganya kepada iblis kaku yang sifatnya berubah-ubah membuatnya hanya bisa mengangguk pasrah."Buka handukmu," ujar Chiaki setelah ia rasa cukup mengeringkan rambut Crystal.Crystal yang duduk di kursi
DinnerSetiap orang memiliki bekas luka yang ingin mereka sembunyikan. Bersyukurlah jika luka itu hanya di luar, bukan di hati yang meski bisa disembunyikan tetapi sulit untuk disembuhkan."Kau lelah?" Chiaki mengusap punggung telanjang Crystal yang masih lembap akibat keringat yang membasahi tubuhnya saat mereka bercinta beberapa menit yang lalu.Crystal menggeleng pelan, tetapi menyadari Chiaki mungkin tidak melihatnya, ia menyahut, "Tidak juga.""Apa itu berarti itu kau menginginkan kita bercinta lagi?"Crystal mendongakkan kepalanya, matanya menatap Chiaki dengan ragu-ragu."Katakan saja, jangan ragu ataupun merasa malu," ucap Chiaki dengan nada sangat lembut.Darah Crystal terasa memanas dan jantungnya seolah mencelus. "Jika kau menginginkan, aku tidak akan menolak karena kau pemenangnya."
PresentTerkadang kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya, betapa pun besarnya keinginanmu untuk menghentikan waktu, waktu terus berjalan dan menjadi sesuatu yang berbeda.Chiaki datang saat Crystal sedang duduk di depan cermin dan Donna sedang mengaplikasikan make-up untuknya. Pria itu hanya melirik sekilas kepada Crystal tanpa menyapa kemudian memasuki kamar mandi.Lima belas menit kemudian, Chiaki keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar rendah di pinggangnya sambil memegangi handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya.Perlahan pria itu mendekati tempat di mana Crystal dan Donna berada, menyandarkan pinggulnya di sandaran sofa, matanya sedikit pun tidak melepaskan pandangannya dari Crystal."Donna, bisa kau tinggalkan kami?" tanya Chiaki dengan nada
Forget itApa salahnya menerima kebaikan seseorang? Karena tidak semua orang memiliki motif terentu di balik kebaikannya.Mereka belum melangkah memasuki tempat di mana pesta berlangsung tetapi Crystal telah merasa sangat gugup. Ia berulang kali menghela napasnya untuk mengatasi kegugupan yang ia alami meski hal itu sepertinya tidak banyak membantunya. Dilihat dari banyaknya mobil yang ada di halaman mansion itu, bisa dipastikan jika acara makan malam itu adalah sebuah pesta yang cukup besar.Perut Crystal seperti terjungkir balik dan membuatnya merasa sedikit mual hingga ia mendekati Maddie dan melingkarkan lengannya di lengan Maddie seolah ia meminta tolong pada pria itu."Crystal, aku bisa terkena masalah," bisik Maddie yang nadanya terdengar panik meski raut wajahnya menggambarkan ketenangan."Aku sangat gugup." Crystal tidak peduli dengan masalah yang akan Maddie dan dirinya h
Tian, He is"Crystal," sapa Regan yang tiba-tiba telah berdiri tidak jauh dari Crystal. Wanita itu berjalan mendekati Crystal. "Kau datang rupanya?"Crystal mengangguk ramah. "Apa kabar, Regan?""Sangat baik. Bagaimana denganmu?""Seperti yang kau lihat," sahut Crystal dengan ramah.Regan tersenyum lebar lalu meraih pergelangan tangan Crystal. "Ayo, temui ayahku untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya."Crystal mengangguk, ia mengikuti langkah Regan yang membawanya mendekati Edgar Storm, kakek Chiaki, ayah Regan."Dad, lihat siapa yang bersamaku?" ucap Regan, telapak tangannya berada di kedua bahu Crystal.Crystal berusaha bersikap seramah mungkin, ia tersenyum, dan berucap, "Selama ulang tahun, Mr. Storm."Pria berusia tujuh puluh tahun itu mengerutkan kedua alisnya, menatap Cry
PunishmentMaddie menyerahkan biola di tangannya kepada Crystal, bibir pria itu membentuk sebuah lengkungan senyum sementara tatapannya menyorot seolah sedang meyakinkan Crystal. Crystal menerima biola dari tangan Maddie disertai ucapan terima kasih yang ia ucapkan dengan pelan.Setelah Maddie dan Edgar turun dari panggung, Crystal berdiri dengan serelaks mungkin, menatap seluruh orang yang ada di depannya lalu tersenyum. Senyum seperti dulu setiap ia akan memainkan biola di atas panggung, setidaknya ia berusaha demikian.Crystal meletakkan biola di antara dagu dan tulang bahunya, menempel pada lehernya. Jemarinya berada di nada senar G, ia mulai menggeseknya tetapi jauh di dalam benaknya penuh keraguan. Namun, ia berusaha melakukannya sebaik-baiknya agar tidak mengecewakan Edgar, ia ingin memberikan yang terbaik untuk pria yang sangat ramah itu malam ini.Bagi orang awam yang tidak men
I Want You, ChiakiCrystal melangkah keluar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi di tubuhnya, ia mendapati Chiaki sedang berdiri memunggunginya. Pria itu menatap kelamnya malam melalui jendela kaca di kamar Crystal dengan kedua telapak tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.Menyadari kehadiran Crystal, Chiaki membalikkan badannya. Matanya menatap Crystal dengan tatapan dingin. "Berita kembalinya kau ke dunia musik telah tersebar luas."Crystal mengangguk, ia tahu konsekuensinya dari penampilannya beberapa jam yang lalu."Dua Minggu lagi penampilan pertamamu di sebuah konser orkestra, kau pemain biola utama sekaligus bintang tamunya."Crystal nyaris tidak bernapas, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. Tetapi, ia tidak mengucapkan apa-apa.Chiaki mengeluarkan satu telapak tangannya dari saku lalu menyentuh salah satu alisnya. "Persiapkan diri