LOGINDini hari itu, salju turun semakin lebat—menghujani hingga mulai menimbun butiran-butirannya pada setiap tempatnya mendarat. Di tengah dinginnya udara kala itu, kamar seorang wanita dengan rambut oranye kemerahan terasa panas. Entah panas karena penghangat ruangan, atau karena bibirnya bertemu dengan bibir seorang pria yang baru ditemuinya.
Ia tahu ini salah, namun entah kenapa ia tidak ingin mendorong pria itu. Ia seakan terbuai dalam setiap lumatan, dan manisnya bibir itu. Ciuman itu membuat napasnya mulai tersengal-sengal. Tidak lama, usahanya untuk sadar dari hipnotis ciuman yang memabukkan itu berhasil—ia mendorong pria itu sehingga menghentikan kegiatan panas mereka. Telapak tangan wanita itu menamparnya dengan keras. Matanya mulai memerah karena sebentar lagi rasanya ia akan menangis. “APA KAU SUDAH GILA?!” Teriak wanita itu dengan histeris. Tamparan itu membuat Pria itu terdiam sejenak, tidak bergeming sama sekali. Wajahnya sekarang menyamping ke sebelah kiri. Ia rasanya seperti baru saja jatuh ke realita dari sebuah mimpi yang sangat indah. Kepalanya terasa sakit lagi, membuat tanganya kembali memegang kepalanya dan ia merintih pelan. “Kau..sial, di mana aku?” Anehnya, pria itu terkesiap dan menunjukkan ekspresi kebingungan. Matanya menatap wanita yang duduk di depannya. “Aku—apa yang baru saja kulakukan?” Tanya pria itu dengan panik. “Gila, kau tidak ingat?! Hei, itu ciuman pertamaku setelah setahun terakhir!” Wanita itu melempar bantal di dekatnya dengan kencang ke arah sang pria. Ia terlihat sangat kesal dan mulai histeris lagi. Pria itu menahan tangannya, mencoba untuk menenangkannya karena ia kerap memukuli pria itu daritadi, walau pria itu sebenarnya tidak kesakitan sama sekali. “Maafkan aku. Tadi aku hilang kendali, seperti ada yang merasukiku,” mata biru terang pria itu menatapnya dengan dalam. Seperti terhipnotis, entah kenapa matanya membuat wanita itu tenang. Kecantikan mata itu jelas bukan hal biasa, ia tahu ada suatu hal yang janggal di sini. Seolah-olah tidak ada manusia biasa yang memiliki mata seperti itu. Dengan cepat wanita itu berusaha menepis tangan sang pria. “Apa? Hilang kendali? Merasukimu? Kau gila, ya?” ujar wanita itu dengan kesal. Pria itu kemudian dengan tegap segera berdiri dari duduknya di kasur itu dan berkata, “Maafkan aku karena tidak sopan. Izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Luke, aku berasal dari Aeterna, sebuah tempat yang jauh dari sini,” Jawaban yang aneh. Saking anehnya, wanita tersebut tidak dapat menahan tawanya. Ia tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar, “Astaga, apa kau masih bermimpi?” Pria yang bernama Luke itu tidak terbiasa dengan reaksi seperti itu, padahal dia sedang memperkenalkan dirinya. Itu bukanlah reaksi yang normal baginya ketika seseorang tertawa karena perkenalan diri. “Tidak, aku sepenuhnya sadar. Tapi dengarkan aku, aku minta maaf atas tindakanku tadi. Aku mengatakan yang sebenarnya, seperti ada yang merasukiku,” Luke menjelaskan situasinya kepada wanita itu. “Lalu kenapa kau bisa ada di apartemenku?” Tanya wanita itu dengan curiga. “Portal dimensi membawaku ke sini,” Luke menjawab dengan percaya diri. Namun, itu jawaban itu malah semakin membingungkan wanita itu. Portal dimensi? Kau kira ini video game Minecraft?” Tanya wanita itu dan tertawa meremehkan Luke, seakan-akan ia sedang mendengarkan cerita orang yang berhalusinasi. Memang, bagi manusia, semua jawaban Luke itu tidak masuk akal. Wanita itu tidak percaya dengan hal-hal yang berbau fiksi seperti itu. Baginya, itu hanya ada di film-film dan video game. “Video game? Apa itu?” Luke yang bertanya balik membuat wanita itu semakin tidak bisa mempercayai situasi yang sedang dialaminya. Bahkan, pria itu tidak tahu apa itu video game, padahal sekarang sudah tahun 2025. Wanita itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. Baiklah, bagaimana kalau kita coba untuk mendengarkan perkataan orang aneh ini? Pikir sang wanita di dalam hatinya. “Okay, biar kuperjelas. Kau datang dari planet lain dan sebuah portal membawamu ke apartemenku?” Tanya wanita itu memastikan. Luke menjawabnya dengan menganggukkan kepalanya. “Kenapa harus ke sini?” Tanya wanita itu dengan singkat. “Aku-“ “Apa tujuanmu sebenarnya?” Belum sempat Luke menjelaskan jawabannya, wanita itu memotongnya. “Apa kau berencana menculikku dan membawaku dengan UFO?!” Tanya wanita itu dengan histeris. Pertanyaannya malah membuat dirinya panik sendiri. “Tolong, biarkan aku menjawab semuanya pelan-pelan,” pinta Luke dengan halus kepada wanita itu. Wanita itu kemudian berdeham pelan. Merasa malu karena sudah tidak sopan dengan terus memotong jawaban Luke, ia memalingkan wajahnya ke samping. “Baiklah, maafkan aku. Silakan lanjutkan.” “Terima kasih. Sebenarnya aku tidak tahu kenapa portal itu membawaku ke sini. Tujuanku hanya untuk menemukan wanita yang terus menghantuiku. Dan tidak, aku tidak berencana menculikmu dan membawamu dengan…apalah yang kau bilang tadi,” Luke menjawab semuanya panjang lebar, dan berusaha mengingat barang asing yang tadi wanita itu sebutkan. “Jadi portal itu yang membawamu ke sini? Bukan karena kehendakmu sendiri?” Wanita itu kembali bertanya memastikan memastikan. “Iya,” Luke menjawab dengan singkat. “Tapi tetap saja kau salah! Kau harus bertanggung jawab soal apa yang sudah kau perbuat padaku tadi,” wanita itu ternyata masih terpikirkan ciuman panas mereka tadi, yang masih membuatnya kesal. Ia menyalahkan pria dengan kulit eksotis di depannya itu, dan memalingkan wajahnya dengan bibir manyun. “Maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud. Kau ingin aku bertanggung jawab bagaimana?” Tanya Luke dengan pelan, berusaha tidak semakin memancing amarah wanita itu. “Tidak tahu. Pikir saja sendiri,” wanita itu memutarkan bola matanya, dan menjawab dengan ketus. Luke mengerti bahwa wanita itu merajuk. Ia menghela napasnya pelan. Ia kemudian merogoh kantong jubahnya dan kembali mengeluarkan bongkahan batu yang seperti kristal itu, mereka menyala dengan sangat terang. Cahayanya bahkan mengalahkan lampu kamar milik wanita itu. Luke menyodorkan beberapa tumpukan kristal itu kepada sang wanita, berharap wanita itu mau memaafkan dirinya. Kaget karena disodorkan begitu saja, mata wanita itu menatap Luke dengan bingung. Ia seakan tidak percaya bisa melihat benda secantik itu dengan mata kepalanya sendiri sekarang. “Terimalah ini. Anggap ini sebagai pertanggungjawabanku padamu,” ujar Luke dengan tersenyum kepada wanita itu. Senyuman Luke sekali lagi memikat wanita itu sampai membuatnya susah menelan air liur. Efek cahaya dari bongkahan kristal itu mengenai kulit gelap Luke, membuatnya semakin mengilap. Wanita itu semakin terpesona. Tidak bisa dipungkiri bahwa senyuman yang terukir di wajah rupawan itu adalah hal yang sangat memukau. Hanya dengan satu senyuman, bisa membuat wanita itu tertegun. Tapi, ia segera menyadarkan dirinya sendiri. Ia kemudian bertanya, “Memangnya itu apa?” Ia menunjuk bongkahan kristal di depannya itu. “Ini adalah Kristal Aether, berasal dari Aeterna, tempatku tinggal,” Luke menjelaskan benda itu kepadanya. Jari jemari sang wanita perlahan mencoba mendekati kristal yang sangat bercahaya itu. Matanya berbinar-binar melihat benda cantik yang mengagumkan di depannya. “Ini cantik sekali,” gumamnya menunjukkan rasa takjubnya. Mata wanita itu kembali menatap ke arah Luke dan ke arah kristal itu bergantian. Dengan cepat tangannya mengambil bongkahan kristal tersebut. “Bukankah ini adalah bongkahan kristal yang sebelumnya kau makan?” Ia membicarakan peristiwa yang terjadi saat Luke masih berbicara padanya dengan bahasa asing. “Ah, iya. Ini adalah kristal yang ajaib. Banyak sekali manfaatnya, termasuk di dalamnya mengandung magis yang bisa membuatku berbicara dalam berbagai bahasa,” jelas Luke. “Ah, begitu. Baiklah. Aku akan ambil ini. Terima kasih,” ia menyimpan bongkahan kristal itu rapat-rapat di genggaman tangannya. Ia mengucapkan terima kasih dengan gengsi. “Sama-sama,” “Omong-omong, kau tadi bilang ada wanita yang menghantuimu?” Wanita itu mencoba untuk kembali mengingat omongan Luke. Kali ini, membayangkannya saja membuat bulu kuduknya berdiri, ia takut kalau Luke adalah seseorang yang diikuti hantu. Dia tidak percaya dengan cerita fiksi seperti portal dimensi atau makhluk-makhluk luar angkasa seperti di film-film Marvel, tapi anehnya dia percaya kalau hantu itu benar-benar ada. “Benar. Ada seorang wanita yang sedang kucari. Jujur saja, kau mirip dengannya,” Luke menceritakan masalahnya kepada wanita itu. “Aku? Sepertinya kau salah orang,” wanita itu tidak ingin dimirip-miripkan dengan seseorang yang tidak dia tahu sama sekali. Terutama jika hanya ada dalam kenangan orang lain saja. “Boleh aku tau namamu?” Pertanyaan Luke mencuri perhatian wanita itu. Benar juga, aku belum memberitahuku namanya, ujar wanita itu dalam hatinya. Ia mengulurkan tangannya kepada Luke untuk berjabat tangan. Namun, sayangnya Luke tidak mengerti hal semacam itu karena di Aeterna orang tidak berkenalan dengan berjabat tangan. “Namaku Lilith Winters. Panggil saja Lilith,” ia memperkenalkan dirinya. “Kau tidak menjabat tanganku?” Bagi Lilith, tentu saja ia tidak mengerti kalau di tempat asal Luke tidak ada berjabat tangan untuk berkenalan. Luke akhirnya menjabat tangan Lilith, ia langsung peka kalau di bumi orang berkenalan dengan berjabat tangan. “Namamu cantik,” puji Luke, yang sontak entah kenapa membuat jantung Lilith berdegup kencang dan mukanya memerah. Rasanya mendebarkan, seperti bunga kusumawijaya yang mekar saat bertemu bulan di malam hari. Wanita bernama Lilith itu memiliki rambut berwarna oranye kemerahan yang bergelombang dengan panjang menyentuh bahu. kulitnya putih dan bibirnya merah merona. Jujur saja, Luke sangat terpesona sejak pertama kali ia melihatnya. Ia merasa bahwa sosok yang ada di depannya adalah makhluk yang sangat cantik. Ia ingin mengenalnya lebih dekat, dan ingin mengetahui alasan portal tersebut membawanya kepada wanita ini.Malam menjelang pagi, salju semakin lebat menerpa tiap-tiap bangunan yang berdiri dengan kokoh di tengah kota New York. Cahaya yang terang dari kilauan gambar-gambar bergerak menyinari Times Square di tengah salju pertama yang turun malam ini. Sekitar 300 meter menuju 123 West 44th Street, Lilith tinggal di sebuah apartemen mewah berlayanan, lebih tepatnya seperti gabungan antara apartemen pribadi dengan hotel bintang lima, bernama AKA Times Square. Apartemen di lantai dua belas itu adalah sebuah kemewahan modern yang terkendali. Lantainya terbuat dari kayu ek gelap yang mengilap, kontras dengan sofa beludru rendah berwarna charcoal grey. Dinding yang menghadap selatan seluruhnya terbuat dari kaca, membiarkan cahaya neon abstrak dari papan iklan Times Square di bawah menjadi penerangan utama ruangan, melukis interior dengan warna magenta dan biru elektrik yang terus berubah. Sebuah grand piano mini berwarna hitam legam menempati satu sudut. Di seberangnya, sebuah konsol khusus
Dini hari itu, salju turun semakin lebat—menghujani hingga mulai menimbun butiran-butirannya pada setiap tempatnya mendarat. Di tengah dinginnya udara kala itu, kamar seorang wanita dengan rambut oranye kemerahan terasa panas. Entah panas karena penghangat ruangan, atau karena bibirnya bertemu dengan bibir seorang pria yang baru ditemuinya. Ia tahu ini salah, namun entah kenapa ia tidak ingin mendorong pria itu. Ia seakan terbuai dalam setiap lumatan, dan manisnya bibir itu. Ciuman itu membuat napasnya mulai tersengal-sengal. Tidak lama, usahanya untuk sadar dari hipnotis ciuman yang memabukkan itu berhasil—ia mendorong pria itu sehingga menghentikan kegiatan panas mereka. Telapak tangan wanita itu menamparnya dengan keras. Matanya mulai memerah karena sebentar lagi rasanya ia akan menangis. “APA KAU SUDAH GILA?!” Teriak wanita itu dengan histeris. Tamparan itu membuat Pria itu terdiam sejenak, tidak bergeming sama sekali. Wajahnya sekarang menyamping ke sebelah kiri. I
Malam itu, salju pertama di tahun ini turun perlahan-lahan. Seorang wanita yang berjalan di bawah lampu jalan kemudian menghentikan langkahnya dan menengadahkan pandangannya ke langit. “Ah..sudah musim dingin, ya?” Gumamnya pelan. Kurasa aku harus membuat coklat panas sesampainya di apartemen nanti,” ujar wanita itu pada dirinya sendiri, kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan semangat. ——— “Cekrak” Sebuah besi yang dimasukkan ke lobang kunci membuka pintu apartemen malam itu. “Ahh, lelahnya..” sang wanita yang membuka pintu itu memasuki kediamannya, yang ia tinggal sejak pagi tadi dalam keadaan gelap. Ia kemudian menyalakan satu per satu lampu ruangan di dalam apartemennya sehingga tidak gelap lagi. Karena merasa lelah, ia kemudian duduk di sofa ruang tamu dan menyenderkan kepalanya. Ia mendesah pelan dan memejamkan matanya, berusaha rileks dan melepas penatnya seharian ini. Di sofa itu, ia melepas bajunya, hendak mengganti pakaiannya dengan sweater hangat. Denga
Hari baru saja dimulai dan angin berhembus panas. Luke terduduk di atas bebatuan di depan rumahnya. Ia terus memegangi kepalanya—memasang ekspresi kesakitan yang tidak kerap hilang dari wajahnya. “Ugh…” rintih Luke pelan. Matanya kini tertutup, menikmati rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Ingatan samar akan wanita itu muncul lagi. Ia melihat sebuah pasar dan sosok wanita itu namun tanpa wajah. Ia sudah mengalami hal yang ia yakini sebagai “halusinasi” ini sejak lama. “Siapa sebenarnya wanita itu..” gumam Luke, masih dengan rintihan pelannya yang menandakan sakit kepalanya belum kunjung mereda. “Sebenarnya sampai kapan aku akan terus berhalusinasi seperti ini?” Tanya Luke yang kesal terhadap keadaan. Ia tidak mengerti kenapa ia terus menerus mendapat penglihatan tentang wanita itu. Luke merasa ia tidak bisa mengingat apapun, tapi hatinya terasa sakit seperti tercabik-cabik. Makanya, ia kadang berpikir dirinya gila karena sering “berhalusinasi”. Suara langkah kaki
Pasir yang bergabung dengan bebatuan Obsidian berhembus dengan kencang di gurun, membuat seorang wanita dengan jubah hitam menutupi mukanya dengan kerudung di kepalanya. Ia berjalan langkah demi langkah yang tertatih karena badannya dipaksa untuk melawan hembusan kencang pasir tersebut. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, terlebih dengan usianya yang sekarang. Sudah lebih dari 2 jam ia berjalan—akhirnya dia sampai di sebuah kuil. Hal pertama yang dia lakukan adalah bertekuk lutut dan menggabungkan kedua tangannya, kemudian menundukkan kepalanya. Ia memberi salam kepada kuil tersebut. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara laki-laki yang berat dan serak.“Salam, semesta memberkatimu,” pria tersebut membalas salam dari sang wanita. “Salam, Paman Kairos, semesta memberkatimu juga” salam dari sang wanita yang kemudian berdiri, dan mendekati laki-laki yang ternyata bernama Paman Kairos itu. “Halo, Elena. Bagaimana kabarmu?” Tanya Paman Kairos dengat hangat, ia langsung mengenali wani
Di antara beribu bintang nan jauh tak kasat mata, terdapat sebuah galaksi bernama Vesper dan hanya memiliki satu planet di dalamnya, yaitu Planet Aeterna. Aeterna adalah planet yang didominasi oleh dataran luas yang penuh dengan batu Obsidian, serta pegunungan tajam yang menjulang tinggi. Awan di planet Aeterna berbentuk seperti pusaran air, dan langitnya kerap berwarna ungu kemerahan saat siang hari. Ketika malam tiba, gelap gulita menyelimuti planet tersebut. Namun, sumber daya alam utama dari Aeterna, yaitu Kristal Aether—berfungsi melawan gelap tersebut. Bangsa Eternian adalah penduduk di Aeterna. Mereka adalah makhluk dengan kemampuan fisik luar biasa, rata-rata tubuh mereka kekar dan tinggi, dibalut dengan kulit sawo matang yang eksotis dan mata yang berwarna terang menyala. Selain itu, mereka dianugerahi dengan kemampuan memanipulasi waktu. Sebenarnya, mereka tidak bisa memutarbalikkan waktu, tetapi mereka bisa memperlambat waktu di sekitar tubuh mereka. Yang lebih hebatny







