MasukMalam menjelang pagi, salju semakin lebat menerpa tiap-tiap bangunan yang berdiri dengan kokoh di tengah kota New York. Cahaya yang terang dari kilauan gambar-gambar bergerak menyinari Times Square di tengah salju pertama yang turun malam ini.
Sekitar 300 meter menuju 123 West 44th Street, Lilith tinggal di sebuah apartemen mewah berlayanan, lebih tepatnya seperti gabungan antara apartemen pribadi dengan hotel bintang lima, bernama AKA Times Square. Apartemen di lantai dua belas itu adalah sebuah kemewahan modern yang terkendali. Lantainya terbuat dari kayu ek gelap yang mengilap, kontras dengan sofa beludru rendah berwarna charcoal grey. Dinding yang menghadap selatan seluruhnya terbuat dari kaca, membiarkan cahaya neon abstrak dari papan iklan Times Square di bawah menjadi penerangan utama ruangan, melukis interior dengan warna magenta dan biru elektrik yang terus berubah. Sebuah grand piano mini berwarna hitam legam menempati satu sudut. Di seberangnya, sebuah konsol khusus menampung synthesizer, interface audio, dan sepasang speaker monitor studio. Satu-satunya sentuhan glamor yang mencolok adalah meja rias bergaya Hollywood di dekat kamar tidur, dengan deretan bola lampu terang yang mengelilingi cermin besarnya. Lilith dan Luke duduk di sofa ruang keluarga, yang seluruhnya terbungkus beludru berwarna charcoal grey—abu-abu arang yang begitu pekat hingga nyaris hitam legam. Sampai detik ini belum ada juga yang memecah keheningan di antara mereka berdua. Luke merasa canggung dengan situasi saat ini. Ditambah lagi, Lilith tidak lama berdehem—menunjukkan bahwa dia juga tidak nyaman dengan sunyinya keadaan sekarang. “Bisa tolong jelaskan-“ “Kau mau coklat panas?” Keduanya sama-sama memecah keheningan, namun memotong kalimat satu sama lain. Ternyata memang ada keinginan untuk berbicara, namun terbatas karena merasa kikuk. Wajah Lilith langsung memerah. Entah kenapa dia menawarkan coklat panas kepada pria di sampingnya yang baru saja dia temui. Tapi memang sebelum pulang ke apartemennya, Lilith sudah lebih dulu berencana untuk minum coklat panas. Membuat dirinya rileks. “Ah, tidak. Lupakan saja. Apa katamu?” Lilith kemudian membatalkan niatnya. “Tidak—apakah kau menawariku sesuatu?” Tentu saja Luke tidak tahu apa itu coklat panas. Tidak ada coklat di Aeterna, tempat asalnya. Bahkan bangsa Eternian tidak mengenal apa itu “makanan manis”. Biasanya, mereka hanya memakan daging hasil buruan dan sayur-sayuran hasil panen. Lilith terdiam sebentar. Ia mencoba untuk memutuskan apakah ia jadi menawarkan coklat panas untuk Luke atau tidak. “Coklat panas…kau mau?” Lilith bertanya dengan ragu-ragu. Ia takut Luke malah menolaknya dan membuatnya malu setengah mati. “Apa itu?” Sudah kesekian kalinya pertanyaan aneh itu keluar dari mulut Luke. Lilith selalu merasa heran, karena sepertinya hal-hal di bumi sangat berbeda dengan di Aeterna. “Jangan bilang di tempat asalmu juga tidak ada coklat panas..?” Lilith bertanya dengan tidak percaya. Luke merespons dengan menggelengkan kepalanya. Di wajahnya hanya tergambar tanda tanda. “Yang benar saja..” Lilith terkekeh kecil, seakan tidak percaya. Ya, dia sebenarnya masih tidak percaya kalau makhluk di depannya ini adalah alien luar angkasa dari planet lain. Rasanya seperti berada di novel fiksi sekarang. “Tunggu di sini, aku akan membuatkanmu coklat panas.” Lilith kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia membuka dua bungkus “sweet cacao” dari dalam kabinet dapurnya, tempat dia menyimpan bubuk-bubuk minuman dan bumbu sachet makanan cepat saji. Kemudian ia menuangkan bubuk tersebut ke dalam dua cangkir seukuran 200ml yang ada di hadapannya. Sesuatu yang besar rasanya baru saja menekan badan Lilith dari belakang, membuatnya terkesiap. Pinggulnya bisa merasakan sebuah tonjolan besar, yang tidak ia ketahui apa itu. Hembusan napas pelan yang terasa hangat membuat geli telinganya, membuat mukanya memerah. Lilith tahu bahwa saat ini Luke sedang berada di belakangnya, kedua tangan Luke dengan kulit yang eksotis itu berada di atas countertop—seakan menahan sekaligus memeluk badan Lilith secara tidak langsung. “Apa itu? Baunya unik,” suara berat yang seksi itu meleburkan indra pendengaran Lilith, membuat jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya. “I-i-ini..sweet cacao..” Lilith menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar. Tangannya tidak bisa berhenti bergetar. “Apakah ini coklat panas yang kau bilang sebelumnya?” Lilith hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Luke. Dari atas, Luke bisa melihat bahwa telinga hingga tengkuk Lilith tiba-tiba berwarna merah. “Apa kau sakit?” Jari jemari Luke tiba-tiba saja menyentuh tengkuk Lilith, titik terlemah semua wanita di muka bumi ini, yang jika disentuh maka akan membuat mereka meleleh seperti mentega di atas wajan panas. Sontak Lilith mendesah kaget, dan langsung menoleh ke belakang menatap Luke dengan tajam, “Hey! Apaan, sih?!” “Ah, maaf—tengkukmu tiba-tiba saja memerah. Aku kira kau sakit,” Luke memundurkan langkahnya sedikit, takut Lilith akan merasa tidak nyaman dengannya. “Biarkan aku membuat ini dengan tenang. Kau duduk saja di sofa tadi,” Lilith kemudian fokus lagi untuk membuat coklat panas. Namun, tidak bisa dipungkiri sekarang jantungnya sedang berdegup sangat kencang seperti seseorang yang baru saja selesai mengikuti lari marathon. “Biarkan aku membantumu. Apa yang bisa kulakukan?” Sekarang pria besar itu berdiri di samping Lilith dan tersenyum kepadanya dengan tenang. “Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Sebentar lagi selesai, kok.” Lilith kemudian menekan tombol air panas di dispenser untuk kedua cangkir tersebut. Ia mengaduknya agar merata dan coklat panas sudah siap untuk dihidangkan. Lilith kemudian menyodorkan satu cangkir kepada Luke. “Ini, punyamu.” Luke mengambil cangkir yang disodorkan oleh Lilith. Matanya mengikuti langkah Lilith yang kembali menuju ke sofa tempat mereka duduk sebelumnya. Kemudian, ia juga duduk di situ. Bibir merah muda milik Lilith segera bersentuhan dengan tepi cangkir, kemudian ia menyeruput coklat panas itu dengan pelan. Tidak lama ia menghela napasnya, seakan mendapat kelegaan yang selama ini ia rindukan. Luke akhirnya ikut mencicipi coklat panas itu juga. Matanya terbelalak karena ini pertama kalinya dia merasakan sensasi ini di lidahnya. Airnya terasa panas, namun kelezatannya menari-nari di atas lidahnya. “Apakah enak?” Lilith sengaja bertanya karena ingin mengetahui pendapat Luke. “Ini pertama kalinya aku merasakan minuman yang selezat ini,” Luke menjawab Lilith dengan senyuman lebar di wajahnya, seakan-akan ia sangat bahagia saat ini. Muka Lilith langsung memerah dan tersipu malu setelah mendengar bagaimana Luke memuji coklat panas buatannya. Ia rasa itu terlalu berlebihan. “Apakah di tempat asalmu tidak ada yang seperti ini?” “Tidak. Hanya ada air yang tawar, berasal dari mata air terdekat. Tapi coklat panas ini, aku tidak bisa mendefinisikannya.” “Apa nama dari rasa lezat ini?” Luke kemudian bertanya kepada Lilith, ingin belajar mengenai hal-hal yang baru saja ia temukan. “Maksudmu rasa manis?” “Apakah begitu cara kalian menyebutnya? Memang, ada dua rasa yang menonjol dari minuman ini. Pahit dan…sepertinya manis?” Jelas Luke dengan ragu-ragu. Mendengar semua itu, Lilith hanya bisa tertawa. “Kenapa?” Luke heran mendengar reaksi Lilith. “Maaf—tapi kau sangat lucu. Sepertinya tempat asalmu sangat membosankan,” Lilith berkata jujur kepada Luke. Luke kaget mendengar pernyataan itu. Namun, ia juga tidak bisa menyangkalnya, “Yah, kau ada benarnya. Aku biasanya hanya berkelana dan berburu. Kemudian pulang ke rumah dan berbincang dengan ibu sekaligus membantunya,” Tawa Lilith perlahan terhenti. “Kau tinggal bersama ibumu?” “Iya. Aku sangat menyayanginya. Aku hanya tinggal berdua dengannya karena ayahku sudah lama tiada,” jelas Luke. Sebenarnya Lilith merasa kaget karena Luke sangat terbuka padanya, padahal mereka baru saja bertemu. Ia bertanya-tanya kenapa Luke sepertinya sangat memercayainya? Apakah Luke tidak takut kalau ia akan menjual cerita Luke kepada orang-orang bahkan badan intelijen nasional untuk mendapatkan keuntungan? “Ah, begitu..” jawab Lilith singkat. “Apa kau tinggal sendiri?” Luke kembali bertanya kepada Lilith, ingin mengenalnya lebih lanjut. “Iya, aku hanya sendiri di apartemen ini,” entah kenapa jawaban Lilith terdengar seperti orang yang kesepian di telinga Luke. “Bagaimana dengan orang tuamu?” “Mereka sudah meninggal dunia saat aku berusia enam tahun,” jawab Lilith, berusaha untuk tidak sedih karena ia yakin ia sudah merelakan kedua orang tuanya. Tangan Luke kemudian merangkul Lilith dengan lembut. Ia menyenderkan kepalanya dengan kepala Lilith, seperti induk burung yang memberikan kehangatan kepada anaknya. Tentu saja Lilith terkejut dengan tindakan pria itu. Senyuman yang menenangkan terukir di wajah Luke, jari jempolnya berusaha mengelus kulit pundak Lilith dengan lembut. “Tenang saja, kau tidak akan kesepian lagi. Aku akan selalu menemanimu di sini.” Kalimat yang Luke lontarkan serasa menggemparkan seisi hati Lilith. Ini pertama kalinya ada seseorang yang berkata seperti itu padanya, sungguh kata-kata yang sangat manis. Namun, itu semua berhasil menenangkan hati Lilith. Siapa yang menyangka bahwa kalimat Luke itu akan selalu terngiang di kepala Lilith?Malam menjelang pagi, salju semakin lebat menerpa tiap-tiap bangunan yang berdiri dengan kokoh di tengah kota New York. Cahaya yang terang dari kilauan gambar-gambar bergerak menyinari Times Square di tengah salju pertama yang turun malam ini. Sekitar 300 meter menuju 123 West 44th Street, Lilith tinggal di sebuah apartemen mewah berlayanan, lebih tepatnya seperti gabungan antara apartemen pribadi dengan hotel bintang lima, bernama AKA Times Square. Apartemen di lantai dua belas itu adalah sebuah kemewahan modern yang terkendali. Lantainya terbuat dari kayu ek gelap yang mengilap, kontras dengan sofa beludru rendah berwarna charcoal grey. Dinding yang menghadap selatan seluruhnya terbuat dari kaca, membiarkan cahaya neon abstrak dari papan iklan Times Square di bawah menjadi penerangan utama ruangan, melukis interior dengan warna magenta dan biru elektrik yang terus berubah. Sebuah grand piano mini berwarna hitam legam menempati satu sudut. Di seberangnya, sebuah konsol khusus
Dini hari itu, salju turun semakin lebat—menghujani hingga mulai menimbun butiran-butirannya pada setiap tempatnya mendarat. Di tengah dinginnya udara kala itu, kamar seorang wanita dengan rambut oranye kemerahan terasa panas. Entah panas karena penghangat ruangan, atau karena bibirnya bertemu dengan bibir seorang pria yang baru ditemuinya. Ia tahu ini salah, namun entah kenapa ia tidak ingin mendorong pria itu. Ia seakan terbuai dalam setiap lumatan, dan manisnya bibir itu. Ciuman itu membuat napasnya mulai tersengal-sengal. Tidak lama, usahanya untuk sadar dari hipnotis ciuman yang memabukkan itu berhasil—ia mendorong pria itu sehingga menghentikan kegiatan panas mereka. Telapak tangan wanita itu menamparnya dengan keras. Matanya mulai memerah karena sebentar lagi rasanya ia akan menangis. “APA KAU SUDAH GILA?!” Teriak wanita itu dengan histeris. Tamparan itu membuat Pria itu terdiam sejenak, tidak bergeming sama sekali. Wajahnya sekarang menyamping ke sebelah kiri. I
Malam itu, salju pertama di tahun ini turun perlahan-lahan. Seorang wanita yang berjalan di bawah lampu jalan kemudian menghentikan langkahnya dan menengadahkan pandangannya ke langit. “Ah..sudah musim dingin, ya?” Gumamnya pelan. Kurasa aku harus membuat coklat panas sesampainya di apartemen nanti,” ujar wanita itu pada dirinya sendiri, kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan semangat. ——— “Cekrak” Sebuah besi yang dimasukkan ke lobang kunci membuka pintu apartemen malam itu. “Ahh, lelahnya..” sang wanita yang membuka pintu itu memasuki kediamannya, yang ia tinggal sejak pagi tadi dalam keadaan gelap. Ia kemudian menyalakan satu per satu lampu ruangan di dalam apartemennya sehingga tidak gelap lagi. Karena merasa lelah, ia kemudian duduk di sofa ruang tamu dan menyenderkan kepalanya. Ia mendesah pelan dan memejamkan matanya, berusaha rileks dan melepas penatnya seharian ini. Di sofa itu, ia melepas bajunya, hendak mengganti pakaiannya dengan sweater hangat. Denga
Hari baru saja dimulai dan angin berhembus panas. Luke terduduk di atas bebatuan di depan rumahnya. Ia terus memegangi kepalanya—memasang ekspresi kesakitan yang tidak kerap hilang dari wajahnya. “Ugh…” rintih Luke pelan. Matanya kini tertutup, menikmati rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Ingatan samar akan wanita itu muncul lagi. Ia melihat sebuah pasar dan sosok wanita itu namun tanpa wajah. Ia sudah mengalami hal yang ia yakini sebagai “halusinasi” ini sejak lama. “Siapa sebenarnya wanita itu..” gumam Luke, masih dengan rintihan pelannya yang menandakan sakit kepalanya belum kunjung mereda. “Sebenarnya sampai kapan aku akan terus berhalusinasi seperti ini?” Tanya Luke yang kesal terhadap keadaan. Ia tidak mengerti kenapa ia terus menerus mendapat penglihatan tentang wanita itu. Luke merasa ia tidak bisa mengingat apapun, tapi hatinya terasa sakit seperti tercabik-cabik. Makanya, ia kadang berpikir dirinya gila karena sering “berhalusinasi”. Suara langkah kaki
Pasir yang bergabung dengan bebatuan Obsidian berhembus dengan kencang di gurun, membuat seorang wanita dengan jubah hitam menutupi mukanya dengan kerudung di kepalanya. Ia berjalan langkah demi langkah yang tertatih karena badannya dipaksa untuk melawan hembusan kencang pasir tersebut. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, terlebih dengan usianya yang sekarang. Sudah lebih dari 2 jam ia berjalan—akhirnya dia sampai di sebuah kuil. Hal pertama yang dia lakukan adalah bertekuk lutut dan menggabungkan kedua tangannya, kemudian menundukkan kepalanya. Ia memberi salam kepada kuil tersebut. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara laki-laki yang berat dan serak.“Salam, semesta memberkatimu,” pria tersebut membalas salam dari sang wanita. “Salam, Paman Kairos, semesta memberkatimu juga” salam dari sang wanita yang kemudian berdiri, dan mendekati laki-laki yang ternyata bernama Paman Kairos itu. “Halo, Elena. Bagaimana kabarmu?” Tanya Paman Kairos dengat hangat, ia langsung mengenali wani
Di antara beribu bintang nan jauh tak kasat mata, terdapat sebuah galaksi bernama Vesper dan hanya memiliki satu planet di dalamnya, yaitu Planet Aeterna. Aeterna adalah planet yang didominasi oleh dataran luas yang penuh dengan batu Obsidian, serta pegunungan tajam yang menjulang tinggi. Awan di planet Aeterna berbentuk seperti pusaran air, dan langitnya kerap berwarna ungu kemerahan saat siang hari. Ketika malam tiba, gelap gulita menyelimuti planet tersebut. Namun, sumber daya alam utama dari Aeterna, yaitu Kristal Aether—berfungsi melawan gelap tersebut. Bangsa Eternian adalah penduduk di Aeterna. Mereka adalah makhluk dengan kemampuan fisik luar biasa, rata-rata tubuh mereka kekar dan tinggi, dibalut dengan kulit sawo matang yang eksotis dan mata yang berwarna terang menyala. Selain itu, mereka dianugerahi dengan kemampuan memanipulasi waktu. Sebenarnya, mereka tidak bisa memutarbalikkan waktu, tetapi mereka bisa memperlambat waktu di sekitar tubuh mereka. Yang lebih hebatny







