Hari baru saja dimulai dan angin berhembus panas. Luke terduduk di atas bebatuan di depan rumahnya. Ia terus memegangi kepalanya—memasang ekspresi kesakitan yang tidak kerap hilang dari wajahnya.
“Ugh…” rintih Luke pelan. Matanya kini tertutup, menikmati rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Ingatan samar akan wanita itu muncul lagi. Ia melihat sebuah pasar dan sosok wanita itu namun tanpa wajah. Ia sudah mengalami hal yang ia yakini sebagai “halusinasi” ini sejak lama. “Siapa sebenarnya wanita itu..” gumam Luke, masih dengan rintihan pelannya yang menandakan sakit kepalanya belum kunjung mereda. “Sebenarnya sampai kapan aku akan terus berhalusinasi seperti ini?” Tanya Luke yang kesal terhadap keadaan. Ia tidak mengerti kenapa ia terus menerus mendapat penglihatan tentang wanita itu. Luke merasa ia tidak bisa mengingat apapun, tapi hatinya terasa sakit seperti tercabik-cabik. Makanya, ia kadang berpikir dirinya gila karena sering “berhalusinasi”. Suara langkah kaki yang cepat semakin mendekati Luke. Tak lama, sebuah tangan memegang bahunya dari belakang. “Luke! Astaga, apa kau baik-baik saja, nak?” Ternyata ibu Luke menghampirinya dengan muka khawatir setengah mati. “Ah…tidak ada apa-apa, bu,” jawab Luke yang merasa bersalah karena membuat ibunya memasang wajah khawatir. Tanpa sepatah kata, ibu Luke langsung memeluk anaknya dalam dekapan terhangatnya—berharap anaknya bisa tenang. Jari jemarinya membelai lembut rambut anaknya yang panjang itu. Senandung indah keluar dari suara ibunya, membuat Luke tenggelam semakin dalam pada dekapan hangat ibunya. Sangat indah. Luke ingat bahwa ini adalah lagu yang sering ibunya senandungkan untuk Luke sedari kecil. Biasanya digunakan saat Luke sedang sakit, atau berusaha untuk tidur, dan saat ia dulu sering menangis. Luke membalas pelukan erat ibunya. Ia menaruh kepalanya di dalam leher sang ibu, sambil menikmati indahnya senandung lagu itu. “Ibu selalu ada di sini untukmu, Luke.” Sang ibu dengan pelan melepaskan dekapannya dari anak semata wayangnya itu. Mata mereka bertemu dengan hangat. Ibunya jelas tahu bahwa anaknya saat ini sedang kesulitan, terikat dengan kutukan “The Shadow Bond” yang dibicarakannya bersama Paman Kairos 2 hari lalu. “Ibu, kenapa aku selalu melihatnya dalam kepalaku?” Tanya Luke yang sangat kebingungan. Ia menggenggam erat kedua tangan ibunya. “Apa maksudmu, nak?” Sang ibu berusaha mencari penjelasan. “Wanita itu terus muncul di kepalaku, tapi aku tidak bisa mengingat wajahnya. Aku bahkan tidak merasa punya ingatan apapun dari saat itu,” Luke menceritakan semua pada ibunya dengan bingung. Mata Luke berusaha mencari kejelasan dari ibunya, siapa tau ia bisa mengingat semuanya dengan jelas kembali. Aku tidak bisa mengingatnya, namun hatiku terasa sangat sakit seperti ditusuk berkali-kali,” ujar Luke sambil memegang dadanya—tempat jantungnya berada. Ibunya tidak bisa menahan kesedihan yang membuatnya meneteskan air mata. Tangannya membelai lembut kedua pipi Luke. Oh, Luke…” sahut sang ibu dengan pelan, berusaha menenangkan buah hati kesayangannya. Kau akan mendapatkan jawabannya jika kau menemui Paman Kairos. Maukah kau pergi menemuinya?” Tanya sang ibu dengan lembut. Luke teringat bahwa beberapa hari lalu ibunya juga meminta hal yang sama. “Aku sudah melihat serpihan ingatan itu sejak lama, bu. Sejak itu juga aku merasa ingin menjauh dari penduduk lainnya,” jawab Luke pada ibunya, ia masih berusaha untuk menahan sakit kepalanya. “Kau tidak bisa terus begini, Luke,” sang ibu tetap berusaha meyakinkan Luke agar ia mau menemui Paman Kairos. “Benar ‘kan, kalau aku menemui Paman Kairos, aku akan menemukan jawabannya?” Mata Luke berusaha mencari kepastian dari wajah ibunya yang khawatir. Mendengar pertanyaan anaknya, sang ibu tersenyum nanar. Kedua tangannya memegang wajah Luke, kemudian ia menempelkan dahinya dengan dahi Luke, menandakan betapa dalam ia menyayangi anak semata wayangnya. “Tidak ada salahnya mencoba kan, Luke?” Sang ibu bertanya balik kepada Luke. Mendengar pertanyaan itu, perasaan yakin untuk menemui Paman Kairos mulai tumbuh dari dalam batin Luke. “Baiklah. Bagaimana kalau aku pergi menemuinya sekarang, bu?” Luke memegang tangan ibunya yang ada di wajahnya. Matanya menatap ibunya dengan penuh pertanyaan. Senyum segera terukir di wajah sang ibu. Seketika saja khawatir hilang dari dalam dirinya, digantikan dengan secercah harapan. “Tentu saja, nak,” sang ibu segera membalikkan badan dan berjalan cepat menuju dapur. Ia mengambil dua wadah makanan dan memasukkan beberapa daging serta sayuran ke dalamnya, kemudian membungkusnya dengan rapi supaya isinya tidak berhamburan ke mana-mana. Setelah itu, ia berjalan kembali menghampiri Luke. “Bawalah ini bersamamu, jangan sampai mati kelaparan. Oh, dan satu wadah lagi adalah untuk Paman Kairos. Sampaikan salamku untuknya,” ibunya berpesan pada Luke dengan nada bercanda. Luke terkekeh pelan mendengar perkataan ibunya, “Aku bahkan tidak mati saat menyusuri gunung di utara selama 2 hari tanpa makanan dan air. Bagaimana bisa aku mati tanpa makanan dalam perjalanan selama 2 jam menuju kuil Paman Kairos, bu?” Ibunya tersenyum dan balik tertawa mendengar jawaban Luke, “Kalau begitu, hati-hati dalam perjalananmu, nak.” Bibir sang ibu mencium kening anaknya itu dengan hangat. Berkatnya selalu mengikuti dan melindungi anak tercintanya. ——— Setelah 2 jam berjalan, Luke akhirnya tiba pada gerbang sebuah kuil yang akan memberi jawaban padanya. Ia berdiri di depan gerbang tersebut dan dengan yakin ia membuka pintu gerbang dengan kuat. Matanya melihat sekeliling kuil yang sudah lama tidak ia kunjungi. Seketika, ia teringat akan kenangan masa kecilnya yang pernah belajar bersama anak-anak lainnya di kuil ini. “Salam, semesta memberkatimu, Luke.” Luke terkejut dalam diam saat mendengar suara berat itu, suara yang tidak asing namun sudah lama tidak ia dengar. Perlahan Luke membalikkan badannya, bertemu dengan sosok yang memberi salam padanya. “Salam, semesta memberkatimu juga, Paman Kairos,” Luke tersenyum pada Paman Kairos dan menyatukan kedua tangannya, memberi salam dengan sopan pada guru terkemuka itu. Luke kemudian mendekati Paman Kairos dan menyodorkan sebuah bungkusan makanan kepadanya, yang dibuat oleh ibunya tercinta dengan sepenuh hati, “Ini dari ibuku, ia menitipkan salam padaku untukmu.” “Terima kasih. Aku sudah tahu bahwa kau akan segera menemuiku,” Paman Kairos menerima bungkusan makanan tersebut dan tersenyum pada Luke. Ia mendekati Luke dan merangkul Luke dengan hangat. Ia membawa Luke mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam kuil. “Sudah lama sekali sejak kita terakhir bertemu. Bagaimana kabarmu, nak?” Paman Kairos melepas rangkulannya dan menduduki sebuah kursi yang berada dekat di samping kolam air suci. Ia memberikan isyarat agar Luke duduk di kursi berseberangan dengannya. “Apakah anak-anak sudah pulang?” Luke mengalihkan pertanyaan Paman Kairos. “Hari ini mereka kuliburkan, karena aku tahu kau akan berkunjung,” jelas Paman Kairos singkat. Luke sebenarnya bingung saat mendengar pernyataan tersebut dari Paman Kairos. Matanya berusaha untuk mencari kejelasan dari kebingungan yang mengelilinginya. “Apa maksudnya itu, Paman Kairos?” “Aku bisa melihat bahwa jiwamu tersiksa, Luke. Tampaknya “The Shadow Bond” sudah semakin dalam menggerogotimu,” sahut Paman Kairos menjelaskan pada Luke. Mendengar itu, sontak Luke terdiam membatu. Ia berusaha untuk mencerna pembicaraan mereka. “Sebenarnya ada yang hendak kubicarakan, Paman Kairos,” pinta Luke pada Paman Kairos, matanya menunjukkan harapan yang tumbuh agar ia dapat mendapatkan bantuan dari gurunya saat kecil itu. “Bicaralah, aku mendengarkan,” Paman Kairos memberikan izin pada Luke. “Ada seorang wanita tanpa wajah yang kerap muncul dalam ingatanku, dan itu membuat kepalaku sakit setiap hari. Tapi anehnya, aku merasa tidak punya ingatan apapun tentangnya. Namun, setiap ia muncul hatiku rasanya seperti tercabik-cabik,” Luke menjelaskan kepada Paman Kairos. Bahkan untuk bercerita seperti ini pun sebenarnya ia sedang menahan sakit dari dalam hatinya. Paman Kairos mengangguk mendengarkan cerita Luke. Ia kemudian bertanya, “Kau jelas tahu ‘kan apa yang sedang kau alami?” Luke menatap guru itu dengan bingung, “Tidak, aku sungguh tidak mengerti. Semua ini telah mengubah caraku hidup selama 1.000 abad ini. Sebenarnya apa yang terjadi?” “Apa yang kau alami adalah kutukan yang menimpa kaum kita, bangsa Eternian—“The Shadow Bond”. Kutukan itu muncul karena prinsip monogami yang kita anut, dan dipicu ketika yang kita cintai meninggalkan semesta ini,” jelas Paman Kairos pada Luke. Ia berharap penjelasannya dapat dicerna dengan mudah dalam pengertian Luke. “Apakah mungkin aku mencintai wanita tanpa wajah yang muncul dalam ingatanku itu?” Tanya Luke memastikan. “Ya, dan jiwamu akan terus terikat pada wanita itu. Ketika wanita itu terlahir kembali, kau akan terus menemukannya walau harus pergi ke ujung pusaran semesta,” jelas Paman Kairos dengan tenang. “Tapi, kenapa aku tidak bisa mengingat apapun? Rasanya seperti tiba-tiba hilang ingatan,” Luke mengernyitkan dahinya, sulit baginya untuk mencerna semua ini. “Itu adalah konsekuensi dari penantianmu selama 1.000 abad ini, Luke. “The Shadow Bond” adalah kutukan yang membuat pikiranmu tidak waras ketika kau sedang menanti jiwa wanita itu terlahir kembali,” Paman Kairos kembali menjelaskan pada Luke. “Apa tidak ada cara untuk mengakhiri semua ini, Paman Kairos?” Luke terdengar sangat putus asa. Memang sudah sangat lama, 1.000 abad bukanlah waktu yang sebentar. Paman Kairos terbangun dari duduknya. Ia menghadap pada kolam air suci yang ada di samping kursinya lalu mengulurkan satu tangannya. Air suci dari kolam tersebut terangkat dan membentuk sebuah lingkaran. Di dalamnya terdapat siluet bergelombang yang terlihat samar, susah bagi Luke untuk mengerti apa yang ia lihat sekarang. “Apakah kau sungguh ingin mengetahui jawabannya, Luke?” Paman Kairos menoleh kepada Luke, bertanya untuk memastikan keinginan Luke dari lubuk hatinya. “Semua ini sungguh menyakitkan bagiku, Paman Kairos. Selama 1.000 abad ini susah bagiku untuk menjalani hidup yang normal,” Luke tidak bisa menahan rasa sakit yang ia alami di hadapan Paman Kairos. Ia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk dia menemukan jawaban dari semya ini. “Air ini akan menunjukkan jawaban dari semua pertanyaanmu. Kemarilah,” Paman Kairos mengisyaratkan agar Luke berdiri dan menghampirinya. “Sentuhlah gelembung air itu dengan jarimu,” perintah Paman Kairos pada Luke. Jari telunjuk Luke kemudian mendekati gelombang air yang terangkat itu. Ketika sudah bersentuhan, sikuet bergelombang dalam air itu berubah menjadi sebuah gambar yang bergerak tidak jelas. Luke kebingungan melihat gambar yang ditampilkan oleh air itu. “Apa itu? Kenapa banyak orang di dalamnya?” Luke bertanya kepada Paman Kairos. Tampaknya air tersebut menampilkan sebuah kota, yang terlihat sangat asing di mata Luke. “Luke, pernahkah kau bepergian ke dimensi lain?” Paman Kairos menatap Luke. “Ya, tapi hanya beberapa kali, tidak sering karena membutuhkan energi yang sangat besar,” jelas Luke singkat. “Gambar yang ada dalam air ini adalah dimensi lain dari Aeterna. Tempat itu disebut bumi. Kau pernah ke sana?” Paman Kairos tersenyum pada Luke, memastikan sekali lagi. “Tidak, belum pernah,” Luke menggelengkan pelan kepalanya sebagai isyarat tidak. “Ketika kau menyentuh air itu, penglihatan tentang bumi muncul. Mungkin, jawaban yang kau butuhkan ada di bumi?” Tanya Paman Kairos lagi kepada Luke, menguji pemahamanya. “Bumi…” gumam Luke pelan, mengulang nama dimensi yang tidak pernah ia dengar sebelumnya itu. Paman Kairos berjalan ke arah lain, menjauh dari Luke dan dari kolam air suci itu. Ia kemudian mengulurkan tangannya lagi ke arah sebuah dinding kosong. Tidak lama, muncul sebuah portal dari dinding tersebut. “Karena energimu sekarang pasti tidak cukup untuk pergi ke dimensi lain, aku akan membukakan portalnya untukmu. Anggap ini hadiah dariku karena dulu kau adalah murid yang sangat baik,” jelas Paman Kairos pada Luke dengan senyuman di wajahnya. “Apa kau serius, Paman Kairos?” Luke seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. “Tentu saja. Aku ingin membantumu,” ujar Paman Kairos meyakinkan Luke. Mendengar itu, Luke memajukan kakinya langkah demi langkah mendekati portal itu. “Kalau begitu, maaf aku telah membuang energi Kristal Aethermu.” “Pastikan kau tidak membuangnya dengan sia-sia. Aku bersyukur bisa membantumu,” balas Paman Kairos sembari terkekeh pelan. “Tenang saja, aku akan menjelaskan semuanya pada ibumu. Jangan khawatirkan dia,” Paman Kairos menepuk pundak Luke dan menenangkannya. “Baiklah. Tepati omonganmu ya, guru?” Luke balas tersenyum pada Paman Kairos yang mengangguk pada permintaan Luke. Setelah itu, Luke memasuki portal itu dengan hati yang mantap. Cahaya yang sangat terang menyinari tubuh Luke yang perlahan-lahan menyatu dengan portal itu—kemudian menghilang dan portal itu tertutup. Paman Kairos menurunkan tangannya, namun matanya kerap memandangi dinding bekas portal itu tertutup. Ia menghela napasnya pelan—dalam hatinya ia benar-benar berharap Luke bisa sembuh dari kutukannya dan menemukan jawabannya.Malam itu, salju pertama di tahun ini turun perlahan-lahan. Seorang wanita yang berjalan di bawah lampu jalan kemudian menghentikan langkahnya dan menengadahkan pandangannya ke langit. “Ah..sudah musim dingin, ya?” Gumamnya pelan.Kurasa aku harus membuat coklat panas sesampainya di apartemen nanti,” ujar wanita itu pada dirinya sendiri, kemudian ia melanjutkan langkahnya dengan semangat. ———“Cekrak”Sebuah besi yang dimasukkan ke lobang kunci membuka pintu apartemen malam itu. “Ahh, lelahnya..” sang wanita yang membuka pintu itu memasuki kediamannya, yang ia tinggal sejak pagi tadi dalam keadaan gelap.Ia kemudian menyalakan satu per satu lampu ruangan di dalam apartemennya sehingga tidak gelap lagi. Karena merasa lelah, ia kemudian duduk di sofa ruang tamu dan menyenderkan kepalanya. Ia mendesah pelan dan memejamkan matanya, berusaha rileks dan melepas penatnya seharian ini. Di sofa itu, ia melepas bajunya, hendak mengganti pakaiannya dengan sweater hangat. Dengan tubuh yang ha
Hari baru saja dimulai dan angin berhembus panas. Luke terduduk di atas bebatuan di depan rumahnya. Ia terus memegangi kepalanya—memasang ekspresi kesakitan yang tidak kerap hilang dari wajahnya. “Ugh…” rintih Luke pelan. Matanya kini tertutup, menikmati rasa sakit yang menggerogoti kepalanya. Ingatan samar akan wanita itu muncul lagi. Ia melihat sebuah pasar dan sosok wanita itu namun tanpa wajah. Ia sudah mengalami hal yang ia yakini sebagai “halusinasi” ini sejak lama. “Siapa sebenarnya wanita itu..” gumam Luke, masih dengan rintihan pelannya yang menandakan sakit kepalanya belum kunjung mereda. “Sebenarnya sampai kapan aku akan terus berhalusinasi seperti ini?” Tanya Luke yang kesal terhadap keadaan. Ia tidak mengerti kenapa ia terus menerus mendapat penglihatan tentang wanita itu. Luke merasa ia tidak bisa mengingat apapun, tapi hatinya terasa sakit seperti tercabik-cabik. Makanya, ia kadang berpikir dirinya gila karena sering “berhalusinasi”. Suara langkah kaki
Pasir yang bergabung dengan bebatuan Obsidian berhembus dengan kencang di gurun, membuat seorang wanita dengan jubah hitam menutupi mukanya dengan kerudung di kepalanya. Ia berjalan langkah demi langkah yang tertatih karena badannya dipaksa untuk melawan hembusan kencang pasir tersebut. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, terlebih dengan usianya yang sekarang. Sudah lebih dari 2 jam ia berjalan—akhirnya dia sampai di sebuah kuil. Hal pertama yang dia lakukan adalah bertekuk lutut dan menggabungkan kedua tangannya, kemudian menundukkan kepalanya. Ia memberi salam kepada kuil tersebut. Tidak lama kemudian, dia mendengar suara laki-laki yang berat dan serak.“Salam, semesta memberkatimu,” pria tersebut membalas salam dari sang wanita. “Salam, Paman Kairos, semesta memberkatimu juga” salam dari sang wanita yang kemudian berdiri, dan mendekati laki-laki yang ternyata bernama Paman Kairos itu. “Halo, Elena. Bagaimana kabarmu?” Tanya Paman Kairos dengat hangat, ia langsung mengenali wani
Di antara beribu bintang nan jauh tak kasat mata, terdapat sebuah galaksi bernama Vesper dan hanya memiliki satu planet di dalamnya, yaitu Planet Aeterna. Aeterna adalah planet yang didominasi oleh dataran luas yang penuh dengan batu Obsidian, serta pegunungan tajam yang menjulang tinggi. Awan di planet Aeterna berbentuk seperti pusaran air, dan langitnya kerap berwarna ungu kemerahan saat siang hari. Ketika malam tiba, gelap gulita menyelimuti planet tersebut. Namun, sumber daya alam utama dari Aeterna, yaitu Kristal Aether—berfungsi melawan gelap tersebut. Bangsa Eternian adalah penduduk di Aeterna. Mereka adalah makhluk dengan kemampuan fisik luar biasa, rata-rata tubuh mereka kekar dan tinggi, dibalut dengan kulit sawo matang yang eksotis dan mata yang berwarna terang menyala. Selain itu, mereka dianugerahi dengan kemampuan memanipulasi waktu. Sebenarnya, mereka tidak bisa memutarbalikkan waktu, tetapi mereka bisa memperlambat waktu di sekitar tubuh mereka. Yang lebih heba