Share

02

Daffa kembali ke kamar kontrakan yang ada di lantai atas, dia melempar map itu dengan kesal. Pertama, dia melihat pacarnya bersama pria lain, dan yang kedua, sampai sore ini surat lamaran kerja itu tidak ada yang menerimanya sama sekali. 

Hari ini benar-benar sial untuknya. Pria itu lantas melempar tubuhnya ke atas kasur busa yang hanya muat untuk dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit meredakan rasa penatnya karena sudah berusaha untuk mencari pekerjaan sebagai perjuangan hidupnya. 

Tok, tok.

"Siapa lagi sih, aku lelah, nanti lagi aja datangnya." Daffa berteriak menolak tamu yang datang sore ini. Dirinya begitu lelah, bahkan hanya ingin berbaring saja. 

"Daffa, buka pintunya. Ini sudah tanggal berapa, huh? Sampai kapan kau akan menunggak? Cepat bayar atau kau pergi dari kontrakan saya, saya memberikan kamu tempat buat dibayar bukan gratisan. Woy, Daffa!!" Orang itu terus berteriak sambil menggedor pintu.

"Alamak, aku lupa bayar rumah, bisa gawat ini!!" gerutunya sambil bergumam. 

Daffa segera bangkit dari tempat tidur itu dan langsung membuka pintu. Dilihatnya seorang perempuan berusia 40 tahun itu sedang memangkalkan tangannya di atas pinggang. Perempuan itu mempunyai postur tubuh gemuk dengan rambut yang ia gulung menggunakan rol rambut. 

"Eh, ibu. Ibu sehat?" 

"Nggak, saya gak sehat. Cepetan mana uangnya!!" hardik ibu itu. 

"Maaf ya, Bu. Apa bisa ditambah lagi waktunya? Saya mohon sama ibu, saya baru aja dipecat dan saya belum punya uang lebih, ini aja saya dibayar setengahnya sama bos saya. Saya mohon agar ibu mengerti kondisi saya seperti apa." 

Daffa memohon, berusaha meyakinkan ibu itu agar dirinya bisa mencari uang lebih untuk beberapa hari kedepan. Cari pekerjaan memang sulit di zaman seperti sekarang ini, apalagi Daffa hanya membawa ijazahnya saat SMA. Benar-benar sial. 

"Itu urusanmu, ini sudah bulan ke tiga kamu gak bayar kontrakan. Sini uangnya, saya lagi butuh banget ini." 

Lantas ibu itu masuk tanpa seizin Daffa. Sebuah amplop terletak di atas meja itu sudah diambilnya. Dengan cepat Daffa mencoba mengambil uang itu, namun ibu itu sudah merampas dan memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. 

"Bu, tolong jangan diambil, saya makan apa kalo uang itu ibu ambil." 

"Sudah kubilang itu urusanmu. Dah ya, ini baru seperempatnya aja, sisanya saya tunggu besok," cetus ibu itu. 

"B-besok?" Dafa melotot bukan main. Kemana lagi dia harus mencari uang sebanyak yang ibu itu inginkan sementara dirinya saja belum mendapat pekerjaan. Oh, ini adalah hari sial, benar-benar sial. 

Ibu itu pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Walaupun jumlah uang itu hanya sedikit, tapi setidaknya hutang Daffa terkurangi dan ibu itu merasa senang walaupun besok dia bakalan kembali lagi. 

Daffa menarik napasnya panjang, pria itu merasa lemas. Ia lalu memikirkan esok hari yang mungkin entah seperti apa. 

Pria itu lantas membuka kembali map berisikan surat lamaran lengkap, membukanya satu persatu. Ia menyesal karena tidak melihat saat membawanya dulu. 

"Tak berguna!!" Daffa melempar map itu ke sembarang arah. Baginya itu adalah sampah. 

***

"Alex, bisa om bicara sebentar?" 

Denis menyuruh Alex untuk masuk ke dalam ruangan pribadinya. Sudah hampir dua tahun ini ia membiarkan anaknya pergi. Seharusnya Denis lebih berusaha lagi agar putra semata wayangnya tetap tinggal di Mansion utama apapun keadaannya. 

Frelya sudah lama merindukan anaknya yang pergi entah kemana. Sejak hari itu, Frelya juga Denis hanya mendapat sebuah pesan kalau anaknya pergi dan tak mau kembali, apa itu artinya mereka tak akan bertemu lagi? 

"Iya Om, ada apa?" tanya Alex penasaran. 

"Tolong kamu cari Daffa, bilang padanya kalo om gak akan maksa dia buat pegang perusahaan asal dia pulang pun om udah senang. Apapun keinginannya akan om penuhi, tolong cari dia sampai dapat." 

"Baik, Om. Alex ngerti," jawab Alex. 

Lantas pria yang bernama Alex itu keluar dari ruangan itu dan segera mencari keberadaan Daffa secepatnya. Alex tahu jika Denis juga Frelya begitu merindukan anak itu. Bahkan Tuan Salim juga Tuan Kenzo pun merasa kehilangan dia. Mereka menunggu di kediamannya, Mansion utama. 

"Ada apa?" tanya Yuda. 

Yuda ialah ayah dari Alex, ia bekerja sebagai wakil Direktur di perusahaan Kenz Corp. Setiap hari bahkan setiap waktu Yuda sering melihat Denis melamun. Bukan hanya mendapat tekanan dari ayah mertuanya, namun Denis tertekan juga melihat sang istri terus menanyakan Daffa. Anak itu benar-benar keterlaluan, pergi tanpa bicara terlebih dahulu dan bahkan sekarang keberadaannya pun entah dimana. 

"Itu ... Om nyuruh aku buat cari Daffa," jawab Alex, pria berpostur tubuh tegap dan tinggi melebihi sang ayah. 

"Anak itu, selalu bikin pusing keluarga. Kalo gitu cepatlah cari dan bawa dia ke sini, ayah mau hajar dia habis-habisan. Bisa bisanya dia bikin Denis terus tersiksa." Yuda terus menggerutu sementara Alex sudah tertawa di sana. 

"Mentang-mentang best friend." 

"Iyalah, anak itu udah kelewatan. Di sini Denis selalu disalahkan sama Papi Salim juga Papi Kenzo, ayah jadi gak tega liatin Denis stres tiap hari. Oya, kalo kamu berhasil ketemu Daffa, katakan padanya kalo ayah nantang dia buat tanding satu lawan satu." Yuda sudah tak sabar ingin segera ketemu sama anak itu. Daffa memang sudah kelewatan. 

Alex hanya terkekeh sambil manggut saat melihat sang ayah begitu kesal terhadap Daffa. Alex merogoh ponsel di dalam saku celana, ia mencari kontak bernama Daffa di sana. 

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif." Begitulah kira-kira jawaban dari sambungan telponnya. 

Alex mengulang lagi dan lagi, padahal belum lama ini ia bisa menghubungi Daffa dan tetap saja, anak itu masih tidak mengatakan dia ada dimana. Kini, Alex pusing harus mencari Daffa dengan cara apa lagi? 

Alex sudah seperti kakak bagi Daffa, apapun yang Daffa lakukan pasti Alex tahu terlebih dahulu jika dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Namun, sejak Daffa pergi dari rumah, Daffa bahkan tidak terbuka lagi sama dia. Apa itu artinya Daffa tak perduli? 

"Kenapa lagi?" tanya Yuda. 

"Ini, aku hubungi dia malah gak aktif terus, apa dia ganti nomor?" Alex gusar. 

"Apa? Jadi selama ini kamu sering hubungi dia?" Yuda bahkan tak tahu jika Alex sering menghubungi Daffa. 

"Nggak sering juga sih, Yah. Cuma seminggu sekali, itupun hanya sebentar," jawab Alex. 

"Berarti kamu tah dong Daffa ada dimana?" 

"Nggak. Dia gak pernah mau bilang dia ada di mana, yang pasti dia baik-baik saja." 

"Kalo gitu kamu harua cari Daffa dengan cara lain. Apa kamu tau siapa saja yang deket sama anak itu?" 

Hmm ... Alex berpikir sejenak, ia mengingat lagi apa yang dikatakan oleh sang ayah. 

"Benar juga, oke ayah, aku pergi. Doain aku semoga cepet ketemu sama dia." Alex pergi membawa mobilnya. 

"Oke, katakan apa yang ayah katakan barusan," teriak Yuda. 

"Oke, Ayah."

***

Sudah beberapa orang dari teman yang dekat sama Daffa, bahkan Alex menemui para gadis yang sempat berhubungan dengan anak itu, tetap saja, sampai sekarang pun Alex belum menemukan Daffa. Dimana anak itu? 

"Ah, kau selalu saja menyusahkan, Daf. Kenapa gak pulang aja sih, di rumah kan enak segala ada, apa susahnya belajar berbisnis? Kau hanya belum terbiasa. Arrgghhh." 

Alex menjambak rambutnya karena kesal, ia sudah lelah dan hampir menyerah. Rupanya tidak mudah mencari keberadaan orang yang minggat dari rumah alias pundung. 

"Loh, itu kan Jihan? Dia sama siapa?" 

Tanpa disengaja, Alex malah bertemu dengan gadis bernama Jihan itu sedang berada di sebuah toko Mas Jakarta bersama seorang pria. Alex heran, kenapa Jihan ada di sini? Bukanya dia berada di Bandung? 

Karena penasaran, Alex pun menghampiri gadis itu dan ingin tahu alasan dia ada di sini bersama pria di sampingnya. Mereka berdua terlihat begitu mesra. 

"Jihan? Lo Jihan kan? Ngapain lo ada di sini? Bukanya lo ..." 

"Aku udah putus ya, oh my good, ternyata banyak orang yang menyangka aku masih pacaran sama pelayan restoran itu, menjijikan." 

"Apa? Pelayan restoran? Maksud lo siapa?" Alex bahkan tak mengerti akan ucapan dari Jihan. 

"Siapa lagi kalo bukan temen kamu yang pembohong itu, ngakunya aja orang kaya, tapi dia malah seorang pelayan restoran. Apalagi penampilannya yang buluk itu, iihh jijik banget deh aku." 

"Daffa? Pelayan restoran? Dimana dia sekarang?" tanya Alex cepat. 

"Di Bandung sana, tepatnya di jln. Gatot Subroto, ada restoran kecil yang mepet sama perempatan, dia kerja di sana. Oh iya, jangan lupa dateng ke acara tunangan aku, aku udah pindah ke sini juga. Ini alamatnya, tapi jangan bawa Daffa, aku gak mau acara tunangan ku dihadiri sama orang miskin kayak dia. Udah ya, aku mau pilih cincin dulu, dah Alex!!" 

Alex sudah menerima undangan dari Jihan, tak sia-sia dia bertemu dengan gadis itu sebab dirinya mendapat kabar terbaru mengenai Daffa. 

***

"Apa? Daffa udah keluar?" 

Baru saja Alex bisa bernapas lega, sekarang ia harus mencari Daffa dengan cara lain lagi. Ingin rasanya ia bunuh diri saja, sudah beberapa hari bahkan Alex tidak sempat untuk pulang, dan mengganti pakaiannya. Dia masih berusaha mencari anak sial itu. 

"Lalu, apa Bapak tahu Daffa tinggal dimana?" tanya Alex kepada pemilik restoran itu. 

"Setahuku dia tinggal gak jauh dari sini. Tepatnya di kontrakan bu Emi. Kamu tanya saja, orang pada tau tempat itu." 

"Baik, Pak. Terimakasih informasinya." 

Alex langsung menancap gas mobilnya kembali mencari Daffa. Untung saja ada petunjuk yang lain sehingga ia lebih mudah mencari anak itu. 

Tok, tok, tok. 

"Aduuhh, berisik amat sih." Pria itu menggaruk kepalanya yang sedikit terasa gatal. 

"Daffa, keluar!!" 

"Bu Emi lagi. Bu, kasih waktu 2 hari lagi ya, aku gak punya uang, ini aja aku jual hp kesayanganku," teriak Daffa. 

"Udah buka dulu, ibu mau ngasih kejutan buat kamu!!" 

"Kejutan?" 

"Alex?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status