Share

03

Daffa hanya bisa menundukkan kepalanya di depan Alex. Pria berpostur tubuh tinggi itu begitu tak nyaman berada di ruangan petak yang hanya muat satu kamar saja. Oh my, kenapa Daffa bisa sampai bertahan di sini? 

"Udah lama kamu tinggal di rumah ini?" tanya Alex. 

"Udah, dari awal aku pergi dari rumah," jawab Daffa santai. 

Alex merasa heran karena Daffa memilih dengan hidup seperti ini, ini bukan tempat yang cocok untuknya. 

"Gimana kalo kamu ikut pulang, Om nyanyain terus, apalagi sama mama kamu. Nggak tega apa liat mama sama ayah kamu stres tiap hari karena terus mikirin kamu, Daff?" Alex terus berusaha membujuk Daffa agar dia segera pulang. Lelaki itu memang keras kepala. 

Daffa mendekat dan memperhatikan raut wajah Alex, "Pasti kamu dibayar mahal kan sama ayah?" 

Alex terkekeh, "Hah, aku bahkan tidak mengharapkan imbalan. Semua ingin kau pulang, Opa, Oma, semua terus nanyain kamu tiap hari. Om bilang, kalo kamu balik, maka ia tidak akan memaksa kamu buat pegang kantor. Cukup pulang saja dan Om akan kasih semua fasilitas untukmu, Daff. Kalo saja aku ada diposisi mu, lebih baik aku pulang daripada jadi pengangguran seperti kau."

Pltak!! Aww ... "Lo apaan woy, sakit tau." Alex mengusap keningnya yang kena sentil oleh Daffa. Dasar pria gemblung. 

"Lo aja yang pulang, gue ogah." 

"Tapi Daff, cukup absen aja, setelah itu lo mau alpa lagi juga gak apa-apa, atau alpa selama-lamanya biar gue yang ambil semua fasilitas lo, gimana?" 

Pltak!! "Daffa ..." 

"Kamu emang suka sentilan itu ya, ogah, pokoknya aku gak mau pulang. Aku betah di sini." 

Alex hanya bisa menarik napasnya panjang. Sekali tidak maka tetap tidak. Itulah sifat Daffa. Keras seperti sang kakek. 

Alex berdiri, mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Itu adalah sebuah kertas berhiaskan tinta warna warni yang diberikan oleh Jihan kepadanya. Walaupun Jihan sangat tidak menginginkan Daffa untuk hadir, namun pria itu tidak punya pendamping juga untuk menghadirinya. 

"Baiklah, kalau begitu temani aku malam nanti ke acara ini. Sebenarnya Jihan tidak mau mengundangmu, tapi aku ingin kau menemaniku." 

Alex memberikan undangan itu ke tangan Daffa, ia berlalu pergi tanpa menunggu jawaban darinya. Ia sudah tahu sifat Daffa, maka, apapun keputusannya itu terserah pada Daffa sendiri. 

Daffa hanya menatap undangan itu, rasa sesak sudah pasti ada. Namun, apapun itu ia yakin jika Jihan pasti akan bahagia dengan pria pilihan dirinya sendiri. Daffa hanya bisa menyimpan kenangannya bersama gadis itu. Gadis itu bukan miliknya tapi milik orang lain. 

"Selamat atas kebahagiaanmu, Jihan." 

***

Hari berlalu, Daffa sudah tidak nyaman lagi jika dirinya terus berdiam diri saja sebagai pengangguran. Kini waktunya ia mencari pekerjaan lain agar ia bisa membayar tunggakan rumahnya. 

Huff... 

Daffa menghembuskan napas panjang sebelum masuk ke dalam restoran itu. Beberapa kali ia tidak diterima, namun ia yakin kali ini ia bisa mendapatkan pekerjaan kembali. 

"Maaf, Pak. Apakah di sini sedang membutuhkan pegawai?" 

Seorang petugas keamanan memperhatikan Daffa dari atas hingga bawah. Hari ini Daffa memakai baju kemeja putih dan celana katun hitam. Persis seperti saat dirinya melamar kerja sebelumnya. 

"Sepertinya ada, coba kau tanyakan ke bagian dalam," jawab petugas itu. 

Daffa tersenyum, akhirnya ia punya kesempatan untuk bekerja di restoran besar. 

Pria itu lantas masuk dan kembali menanyakan lowongan pekerjaan. Semoga ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. 

Kedua bola mata itu terbuka lebar saat melihat siapa yang datang pagi ini. Rupanya pagi ini adalah pagi yang paling buruk yang pernah ia alami. Gadis itu kembali bertemu dengan pria yang sudah merusak bajunya. 

"Hei kau, sedang apa kau ada di sini?" tanya gadis itu dengan angkuhnya. 

"Kau ... bukankah kamu ..." Daffa ingat dengan bola mata itu. 

"Aku tanya sama kamu bukanya malah balik nanya, dasar pria miskin. Mau apa kamu ke sini dengan pakaian seperti itu? Mau melamar kerja?" 

"Itu bukan urusanmu, saya tidak mau sial lagi dan sebaiknya kamu pergi aja dari sini," cetus Daffa. 

Gadis itu menyeringai, memangkalkan lengan di atas pinggangnya. "Hei, asal kau tahu ya, ini itu ..." 

"Maaf Nyonya, Tuan sudah menunggu di mobil." 

"Ah, baiklah. Kita pergi dari sini. Oh iya, terima saja pria ini untuk jadi pelayan di restoran ini dan potong saja gajinya tiap bulan untuk mengganti kerugian karena dia sudah berani merusak pakaianku hari itu. Apa kau mengerti?" 

Gadis itu lalu pergi sambil mengibaskan rambutnya tepat sasaran mengenai wajah Daffa. Benar-benar, selalu saja begitu. Daffa menggeram, apakah harus berakhir seperti ini? 

"Hei Nona, Anda tidak berhak mengatur ku dan aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain, bukan dengan cara seperti ini. Nona, hei, apa kau tuli? Aarrgghh..." Daffa melempar CV itu dan menjambak rambutnya karena kesal. 

Kini ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui keinginan gadis bodoh itu. Benar-benar sial. 

"Cepat ganti pakaianmu sebelum kamu celaka." 

Oh my, pekerjaan apa ini? Bahkan dirinya sudah dihampiri oleh beberapa bodyguard berbadan besar. 

"Tapi, Pak. Saya ..." 

"Mulai sekarang kau harus melayani pelanggan dan ini peraturan di restoran ini. Jika melanggar, maka gaji mu dipotong." 

"Potong lagi? Potong saja sampai habis," protes Daffa. Sebenarnya dia pria yang berani dan tidak mau mengalah. 

"Kalau begitu, kamu bisa saja melawan para orang itu. Mau mati konyol di sini?" 

"Ini namanya pemaksaan." 

***

"Bagaimana? Apa kamu sudah ketemu sama Daffa? Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak ikut sama kamu, Alex?" 

Denis kembali menanyakan soal Daffa, pria itu tidak mau mendapatkan omelan lagi dari sang papi mertua yang menyebalkan. Apalagi dengan Frelya yang terus bertanya keadaan Daffa. 

Alex hanya bisa menundukkan kepalanya sebab ia belum berhasil membujuk teman sekaligus saudaranya itu. Dia memang sulit untuk dibujuk. 

"Daffa tetap gak mau ikut." 

"Apa?" 

"Tapi Om tenang aja, Alex udah minta sama dia buat temani Alex datang ke acara pertunangan Jihan, gimana kalo Om sama Tante ke sana sekalian mengucapkan selamat sama mantan Daffa yang satu ini. Karena Jihan juga sudah menganggap Daffa orang miskin, gimana kalo Om kasih kejutan untuknya sekaligus sama Daffa?" itulah cara Alex agar Denis bisa bertemu dengan anaknya dan kembali membawanya pulang. 

Denis mengangguk, "Ide cemerlang. Yuda tidak salah melahirkan mu, Alex." 

"Euh, Om, yang lahirin aku itu ibu, bukan ayah." Alex protes akan perkataan orang tua itu. 

"Ah, salah ya. Maaf." 

Alex hanya bisa memutar bola matanya jengah, orang tua ini benar-benar membuatnya bosan. 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Naffy
tolol, kok ada orang setolol itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status