Share

Bab 6

Bukk!! 

"Hei ..." 

Kedua pria bertubuh besar itu tiba-tiba menyerang Daffa. Bukan apa-apa, hanya saja Daffa belum mempersiapkan dirinya. 

Bukk!!!

"Aarrgghh." 

Kali ini Daffa kena pukulan dari salah satu orang itu. Ini bukan saatnya bermain, Daffa harus bergerak. 

"Kalian belum tau siapa aku ya?" dengan angkuhnya dia. Daffa sudah siap untuk melawan kedua orang itu. 

"Jangan banyak bicara, kalau berani lawan saja!!" 

"Oooo, oke." 

Daffa mengangkat kedua tangan dan mengepalkan keduanya, ia siap melawan dan tak akan mundur lagi. 

Buk, buk, buk!!!

"Heuk ..." 

Tuan Irawan membelalakkan kedua matanya saat tahu orang yang ia bayar mahal itu dapat dikalahkan oleh seorang pelayan restoran. Apa? Pelayan? Orang puluhan juta kalah sama pelayan? Oh my, tak dapat dipercaya. 

"Hei, kenapa kalian malah bonyok. Bangun, dan kalahkan pelayan restoran itu!!" 

"A-ampun Tuan, kami menyerah!!" 

"Apa? Masa cuma gitu doang kalian menyerah? Kalo gitu kalian gak bakal dapat gaji kalian bulan ini." 

Mendengar kata uang, mereka berdua segera bangkit untuk kembali melawan Daffa. Namun, anak muda itu terlihat seperti biasa saja bahkan Daffa masih sanggup melawan mereka. 

"Belum kapok, huh? Oke, kita mulai lagi." 

Kedua orang itu terkesiap saat Daffa kembali mengeluarkan jurusnya. Baru saja bergerak sudah kabur saja. 

Wuss!!!

"Woi, kalian mau kemana? Kalian harus kalahkan pelayan ini. Hei ... sial ...." 

Tuan Irawan kembali menatap Daffa dengan kedua tangan yang ia pangkal kan di pinggangnya. 

"So jagoan juga kamu, huh? Tapi bukan berarti kamu tidak mengganti rugi ya, pelayan." Tuan Irawan melenggang pergi. 

Daffa mengerutkan keningnya heran. Kok ada ya orang kayak gitu. Udah kalah, masih aja pengen uang. Ck ck. 

"Hadeuuh, orang tua satu ini emang gak mau mengalah," gerutu Daffa.

***

"Ck, kemana sih si Daffa ini?" 

Raisa sedang menunggu Daffa di restorannya. Ia hanya cemas jika papanya melarang Daffa agar tidak bekerja lagi di sana. Padahal, Raisa sangat membutuhkan Daffa saat ini. 

Tak selang beberapa menit, akhirnya Daffa muncul juga. Ternyata dugaannya salah, Daffa masih bisa bekerja di restoran miliknya sendiri. Gadis itu langsung berjalan ke arahnya dan menarik tangan Daffa. 

"Eeh, mau dibawa kemana lagi nih?" cetus Daffa. 

"Udah diem aja. Pokoknya hari ini kamu harus temenin aku pergi." 

"Et dah, kemana lagi sih? Non, aku gak mau bikin masalah lagi sama Non dan lagi, aku gak mau menambah ganti rugi sebesar apapun itu. Sudah cukup kemarin papa Non minta ratusan juta dan itupun belum aku bayar."

"Apa? Jadi papa minta kamu buat ganti rugi?" hardiknya. 

"Iya. Pokoknya saya tidak mau punya urusan lagi sama Non. Non bisa kan cari orang lain buat anterin Non, bukan cuma aku aja." 

Namun, keinginan Raisa tidak bisa diganggu gugat. Gadis itu memang keras kepala, ia malah kembali menarik Daffa dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. 

"Hei, ah elah maksa banget ni cewek. Sudah aku bilang aku gak mau Nona." Daffa terus mengoceh di dalam mobil itu. Dan apa ini? Raisa menempatkannya di bagian setir? Oh tidak. Sebenarnya apa yang gadis itu inginkan? 

"Eh, bisa gak sih diem? Kamu itu cuma pelayan ya, seharusnya pelayan itu dengerin apa kata bosnya. Udah, cepetan jalan." 

Raisa sudah memakai sabuk pengamannya. Ia sudah siap pergi tapi tidak dengan Daffa. Pria itu masih tak percaya dengan sikap gadis itu. Begitu keras kepalanya dia. Bahkan apa yang dia mau harus selalu dituruti. Untung saja Daffa bukan suaminya, kalau iya, bisa gila dia. 

"Kenapa malah melongo gitu? Kamu bisa nyetir kan?" kata Raisa dengan nada tinggi. Gadis ini memang menyebalkan. 

"Bisa, tapi kita mau kemana?" tanya Daffa. 

"Udah jalan aja, nanti aku kasih tau arah mana aja. Jangan bawel deh!!" 

Astaga, ini cewek kenapa sih? Cantiknya hilang kalo kayak gini dan jadi malah lebih menyebalkan lagi. 

***

Tiba di suatu tempat, Daffa juga tidak tahu ini tempat apa, tapi banyak orang di sana dan seperti sedang merayakan suatu pesta. Apa ini pesta pernikahan? Tapi siapa lagi yang dijumpai Raisa kali ini? 

"Non, kita ada dimana?" tanya Daffa. 

"Sstt, diem aja udah." 

Raisa berjalan sambil melihat kanan kiri. Sebenarnya apa yang dia cari? 

Daffa melihat banyak hidangan lezat di sana, karena lapar, pria itu malah berhenti di bagian meja makanan. Dia tak peduli lagi dengan bos nya. Pikirnya lumayan juga, mumpung gratis. 

Raisa masih berjalan, melihat sekitar yang memang dirinya sedang mencari seseorang. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat ia melihat seorang pria di samping wanita cantik itu. Mereka sedang melangsungkan pernikahan. 

Tak terasa ia menjatuhkan air matanya sangat cepat. Raisa tidak bisa melihat itu semua. Gadis itu lantas pergi dan berlari keluar acara itu. 

Daffa melihatnya, "Loh loh, Non mau kemana? Kenapa malah pergi?" Daffa meletakkan piring itu segera mengejar bos nya. "Non, aduuhh, kenapa lagi tuh cewek. Ah elah repotin amat." 

Daffa melihat Raisa sudah masuk ke dalam mobilnya. Karena ingin tahu, Daffa ikutan masuk dan melihat Raisa sedang menangis pilu di sana. 

"Eh kok nangis sih? Non kenapa? Apa aku bikin salah lagi?" Daffa paling tidak bisa melihat perempuan nangis di depannya. Apalagi dia itu bos nya sendiri. 

"Huaa ..." Bukanya diam malah semakin keras. Ternyata gadis keras kepala itu bisa nangis juga. 

"Daffa ..." panggilnya teriak. 

"Saya di sini Non," jawab Daffa. "Non kenapa?" 

"Evan, Daffa ... Evan, huhu ..." 

"Evan? Siapa Evan?" tanya Daffa tidak mengenali siapa Evan itu. 

"Ternyata benar kata Ani, Evan nikah hari ini Daffa." 

Daffa mengerutkan kening. Memangnya kenapa kalo nikah? 

"Bagus dong, daripada gak nikah kan jadi bujang lapuk ntar!!" 

Huaa ... 

Raisa semakin mengeraskan tangisannya. Ternyata bicara sama Daffa sama aja bohong. Daffa tidak paham bagaimana rasanya dikhianati. 

"Eh lah, kok malah makin tinggi suaranya. Udah ya, cup cup berhenti nangisnya, berisik Non." 

Karena tak mau semakin parah, Daffa dengan mudahnya menarik gadis itu hingga menyentuh tubuhnya. Wangi rambut itu semakin menyentuh hidung Daffa. 'Ahh, lumayan rejeki nomplok, hihi' 

"Iih, Daffa apa-apaan sih. Kenapa main peluk aja. Kamu sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan huh?" 

Daffa menyengir. "Hehe, abisnya Non berisik. Emangnya siapa sih Evan itu?" tanya Daffa penasaran. 

"Dia ... hiks ... dia cowok yang aku suka Daffa, aku udah kasih dia apapun yang dia mau, tapi dia malah nikah sama orang lain, huhu. Aku sedih Daffa." 

"Cup cup. Udah gak usah sedih. Masih banyak cowok lain kok yang mau sama Non. Kalau saja Non itu gak keras kepala, mungkin aku juga suka!!" 

"Apa? Ogah banget punya cowok miskin kayak kamu. Mending aku jomblo seumur hidup deh." Dari nangis kok malah kesal. 

"Jangan bicara sembarangan Non, nanti kemakan omongan sendiri loh." 

Raisa menutup kedua telinganya. Ia sudah tidak mau mendengar perkataan Daffa lagi. "Berisik kamu itu, jalan sekarang, kita pulang." 

"Baik, Non." 

Daffa mendengar perintah Raisa, ia langsung menancapkan gas mobil itu. 

***

Sampai di malam hari. Nampaknya mereka belum juga sampai. Raisa bahkan lupa arah mana yang harus ia lewati saat ini. Gadis itu sibuk melamun dari tadi, jadinya kesasar. 

"Kita lewat jalan mana lagi sih Non? Dari tadi cuma muter-muter doang!!" cetus Daffa. 

"Udah deh jangan banyak omong. Jalan aja udah." Raisa mengotak ngatik ponselnya. "Aduuhh, tuh kan mati. Sial banget sih hari ini." 

Daffa hanya menggelengkan kepalanya. Padahal bukan dia saja yang sial, tapi Daffa pun ikut sial juga. 

"Eh eh kenapa ini?" 

Mobil itu terasa berat untuk diinjak, rupanya ada sesuatu yang lebih sial dari itu. 

"Yaahh, kayaknya bensinnya habis Non!!" kata Daffa. 

"Apa? Ya ampun, kenapa bisa gitu sih?" 

Daffa mengangkat kedua bahu. "Gak tau, sebaiknya Non turun dan dorong mobil ini ke pinggir jalan." Daffa memerintahkan. 

"What? Aku? Dorong?" 

"Iya, siapa lagi dong? Kita cuma berdua di sini." 

"Eh, seharusnya kamu yang dorong aku nyetirin ke pinggir, gimana sih. Cepetan turun. Dasar pelayan." 

Daffa berdecak. "Ck, ada-ada aja ni mobil." 

Daffa memutuskan untuk turun dan mendorong mobil itu hingga pinggir jalan. 

"Lelet amat," gerutu Raisa. 

Daffa menghembuskan napasnya lelah. Tidak mudah mendorong mobil sendirian apalagi Raisa sengaja membuatnya lama dengan tidak membelokkan setir itu. Sebenarnya di sini siapa yang salah. 

"Mau cepet gimana, lah mobilnya aja gak dibelokin? Lama-lama bisa mati nih." 

Karena kesal dan lelah juga, Daffa berjalan ke depan dan membuka pintu mobil itu. Tanpa sadar, Raisa yang masih menyender itu malah terjatuh dan berada di atas tubuh Daffa. 

"Eh," memekik. 

"Astaga Non." Daffa merasa sesak.

Sesaat pandangan mereka bertemu. 

"Hei, pada ngapain lo pada?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status