Kalian punya pacar posesif? Kasihan!
Aku berani menjamin hidup kalian nggak akan tenang lagi. Aturan ketat yang dia buat hanya akan menjadi penghambat semua impian kalian. Pepatah yang mengatakan 'dunia seperti milik berdua, sedangkan yang lain ngontrak' nggak lagi terasa romantis, tapi justru miris. Kecemasan yang dia rasakan jelas memberikan siksaan untuk kalian. Memang orang yang posesif itu konyol. Mereka yang takut berlebihan, tapi orang lain yang harus merasakan penderitaan. Nggak enak, kok, ngajak-ngajak. Apa mereka nggak bisa menikmati kecemasan dan ketakutannya dalam diam gitu? Kalau senang-senang, bolehlah dia mengajak banyak orang untuk ikut merasakan. Ada yang lebih konyol dari orang posesif: orang yang masih bertahan dalam sebuah hubungan bersama pasangannya yang posesif. Sudah tahu hubungan ini cuma membuat kesal, tapi masih saja nggak mau melepas. Ini lelucon paling nggak lucu sepanjang abad. Ah, Firaun saja sampai bengong mendengar kisah ini. Kalau kalian merasakan itu, kita sama. Iya, benar. Aku punya pacar posesif dan layak dikasihani. Apakah kita perlu membuat sekte rahasia, di mana anggotanya merupakan orang-orang menyedihkan yang punya pasangan posesif? Mungkin kita bisa melakukan pertemuan secara tertutup di tempat khusus untuk saling mendengarkan curhatan dan memberikan dukungan satu sama lain. Mungkin juga kita bisa mengumpulkan kekuatan agar mampu melawan penjajahan ini. Mungkin nanti, nggak tahu kapan karena aku sendiri nggak yakin untuk berpisah dari pacarku. Alasannya memang klise, aku masih sayang banget sama dia. Nggak peduli dia sudah mengekangku dalam banyak hal, aku tetap sayang dia. Konyol banget, kan? Aku membuang napas panjang melalui mulut. Kepalaku menengadah, memandang gumpalan awan kelabu di langit. Berbeda dengan pakaianku yang ceria, pagi ini mendung dan terasa suram. Ah, mungkin nggak terlalu suram juga. Bisa saja karena aku memikirkan banyak hal beberapa hari terakhir ini makanya suasana yang kurasakan menjadi nggak menyenangkan. "Apakah kamu sudah siap, Gi?" Pertanyaan ini mampu mengalihkan pandanganku dari langit yang nggak cantik hari ini. Senyuman hangat menyambutku. Untungnya, pemandangan di hadapanku sekarang menawan. Om Restu yang memakai setelan ala eksekutif muda memang nggak pernah salah. Harusnya aku yang posesif, bukan dia. Harusnya aku yang selalu takut ada cewek ganjen yang mencoba merampas pacarku. Nyatanya, justru Om Restu yang takut kehilangan cewek biasa saja kayak aku ini. Di belakang Om Restu, berdiri anak semata wayangnya. "Pagi, Kak Gia," sapanya datar. Berbeda dengan papanya yang ramah, Gavin itu dingin banget. Dia pelit banget pamer senyum. Biasanya, dia hanya mau tersenyum untuk orang yang akrab dengannya saja. Itu juga nggak jelas kapan dia pamerkan. Kalau ikut kumpul keluarga, Gavin bisa betah nggak mengucapkan satu kata pun dan memilih bersembunyi di sudut ruangan. Aku butuh waktu yang cukup lama untuk meruntuhkan gunung es kecil ini. Gavin juga menjadi salah satu alasan aku mau menerima lamaran Om Restu enam bulan lalu. Aku nggak tega melihatnya muram. Harusnya, dia menikmati hidup tanpa memikirkan beban berat. Di usia yang sama, dulu masalah paling berat yang kupikirkan hanya baju mana yang layak aku pakai setelah mandi. Aku bahkan masih ingat banget sering keluyuran nggak pakai sandal. Tapi, saat pulang, aku membawa sepatu baru milik tetangga. Ini bukan masalah kriminalitas atau nakal. Lebih baik kita fokus saja ke bagaimana cara bocah kecil menikmati hidupnya. Aku melambaikan tangan ke Gavin sambil tersenyum lebar. Walaupun pagi ini mendung, aku nggak boleh murung. "Pagi, Ganteng," balasku. "Apakah kita bisa berangkat sekarang?" tanya Om Restu. Aku mengangguk. "Let's go, Om!" seruku, lalu mendekap lengannya. "Tunggu!" Om Restu menahan langkahku. Kaki kananku melayang, nggak jadi menjejak bumi kembali. Senyumku juga lenyap dalam sekejap. Kenapa lagi om-om satu ini? "Saya dan Gavin harus pamit ke Ayah dan Bunda terlebih dulu." Inilah ritual yang nggak boleh dilewatkan bagi Om Restu. Dia selalu meminta izin ke Ayah dan Bunda sebelum menculikku. Mungkin ini efek orang tuanya memberi nama Restu. Semua yang dia lakukan harus mendapatkan restu dari orang lain lebih dulu. Om Restu mengajak Gavin masuk rumah. Aku memilih menunggu di teras. Aku nggak perlu pamit yang kedua kalinya hanya untuk pergi ke kampus, kan? Nggak lama Om Restu dan Gavin keluar. Di belakangnya, Bunda dan Ayah mengantar. "Hati-hati, ya," kata Bunda, basa-basi yang busuk banget karena kami sudah melakukannya jutaan kali hampir setahun ini. Ayah nggak banyak mengatakan apa-apa, hanya tangannya terus melambai sampai kami masuk ke mobil Om Restu. Semenjak aku menerima lamaran Om Restu, Ayah memang terlihat lebih tenang (kalau nggak mau disebut murung). Sudah berkali-kali aku mencoba mengorek isi hatinya, tapi Ayah lebih memilih bungkam. Seperti ikut menutupi keresahan suaminya, Bunda juga nggak mau memberitahu alasan perubahan sikap Ayah. "PR udah dikerjain semua, Gav?" tanyaku setelah mobil mulai keluar kompleks perumahan kami. Aku melihat Gavin mengangguk dari spion tengah. "Sudah. Papa yang ngajarin tadi malam." Aku berpaling ke Om Restu. Saat dia melirikku, kuacungkan dua jempol untuknya. "Cakep!" pujiku. Dia tersenyum malu. Rahang tegasnya sedikit bergetar. Aku yakin dia sebenarnya pengin berteriak, tapi nggak mau melampiaskan. Nggak mungkin dia bersikap norak di depan anaknya. Perjalanan menuju sekolah Gavin nggak butuh waktu lama. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit saja, kami sudah bisa melihat gerombolan orang tua yang mengantar anaknya di depan gerbang. Gavin langsung berlari masuk kelas begitu dia turun dari mobil. Pagi ini dia terlihat bersemangat sekali. Tentunya keceriaannya membuatku ikut senang. Om Restu segera menjalankan mobil lagi. Dia harus mengejar waktu untuk mengantarku lebih dulu ke kampus, sebelum pergi ke kantor. Rutinitas ini sudah kami lakukan selama lebih dari enam bulan belakangan. Setelah aku menerima lamarannya, Om Restu nggak mengizinkanku pergi sendiri ke kampus atau ke mana pun. "Saya yang akan mengantar kamu ke mana pun. Kamu tidak perlu repot membawa mobil lagi, Gi. Ada saya yang bersedia mendampingi." Itu yang menjadi alasan Om Restu untuk menutupi fakta bahwa sebenarnya dia takut aku bertemu cowok lain di tengah jalan, lalu jatuh cinta lagi. Mungkin sebenarnya dia khawatir aku bisa berkenalan dengan Kapten Amerika, yang sedang membantu pengamen cilik mencari uang di perempatan. Setelah perkenalan singkat itu, aku dan Kapten Amerika terlibat cinta terlarang. Iya, memang nggak mungkin Kapten Amerika ikut mengamen di sini. Sama nggak mungkinnya dengan aku jatuh cinta ke cowok yang baru kulihat di jalanan. Pemikiran Om Restu memang seaneh itu. Aku duduk menyamping, memandang Om Restu yang sedang serius mengemudikan mobil. "Om ...." Aku ragu melanjutkan. Om Restu melirikku. "Kenapa? Apakah ada yang bisa saya bantu?" Aku benar-benar pengin memperbaiki susunan kata yang dia lontarkan. Daripada terdengar sedang mengobrol dengan pacar, aku lebih seperti sedang disambut customer servis penyalur tenaga kerja ke luar negeri. "Hari ini Gia ada kerja kelompok. Ada tugas yang harus selesai hari ini juga. Tugasnya besok dikumpulin gitu." Aku sudah menahan diri nggak mengatakan ini sejak seminggu lalu. Tapi, aku sudah kehabisan waktu. Aku nggak bisa berdiam diri lagi. Om Restu menepikan mobilnya. Dia melepas sabuk pengaman agar bisa bergerak lebih bebas. Sekarang, tubuhnya sepenuhnya menghadap ke arahku. Badan tegapnya mengintimidasiku. Wajah tegangnya membuat suasana semakin nggak nyaman. "Tugas apa yang harus kamu selesaikan? Siapa saja teman satu kelompok kamu? Apakah ada pria di dalam kelompok kamu? Kalau kamu bisa memilih sesama rekan wanita, kenapa harus ada pria dalam kelompok kamu, Gi?" Kalau sedang cemburu, Om Restu bisa lebih berisik dari suara kereta api yang sedang melaju kencang. Aku mengempaskan tubuh ke jok sampai bisa bersandar. Selalu begini akhirnya. "Ada tiga cowok dan dua cewek," jawabku lirih, seolah kehabisan tenaga. Nggak mungkin aku sudah nggak mampu bergerak begini. Ini masih jam 06.32, terlalu pagi untuk lemas. Aku juga tadi menghabiskan nasi goreng dalam porsi besar untuk sarapan. Harusnya, aku masih punya cukup tenaga sampai siang nanti. "Tiga berbanding dua. Ini bukan jumlah ideal. Bagaimana mungkin ada tiga pria asing bersama kamu?" keluh Om Restu semakin frustasi. "Ya, mana Gia tahu. Yang milih anggota kelompok dosennya Gia. Kalau Gia milih sendiri, enakan nggak usah ada tugas sekalian, Om." Suaraku meninggi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan sikap menyebalkan om-om tua ini. "Lagian mereka bukan pria asing. Gia ini udah belajar bareng mereka hampir satu tahun, Om." "Apakah saya harus bertemu dosen kamu untuk membubarkan kelompok ini?" Pertanyaan konyol Om Restu sukses menyuntikkan semangatku lagi. Aku duduk tegap. Kugenggam pergelangan tangan Om Restu erat. Mataku sengaja kubuat sendu. Nggak ada senyuman di bibirku. "Nggak usah, Om. Please!" pintaku dengan suara rendah. Ini cara terakhir untuk menyelamatkan hidupku. Harusnya Om Restu paham kapasitas otakku yang minimalis ini. Aku butuh bantuan teman untuk menyelesaikan tugas yang sulit kupahami. Kalau terus-terusan dilarang bergaul, jelas aku nggak akan punya teman. Ini juga akan menghambatku untuk lulus ujian semesteran. Aku nggak akan punya kesempatan menyontek kalau bingung dengan soal ujian yang harus kuselesaikan. Gimana mau menyontek kalau aku sama sekali nggak kenal teman satu angkatanku? "Gia lupa sudah berapa kali ngomong ini ke Om. Gia sayang sama Om Restu. Kali ini, tolong percaya sama Gia." Aku mengatakannya dengan suara rendah dan mata sendu. Bahu Om Restu nggak lagi tegang. "Baiklah," katanya pasrah. Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Aku berhasil menghancurkan dinding tebal bernama posesif hari ini. Kekuatan cintaku memang nggak ada lawan. Om Restu memakai sabuk pengamannya lagi. Mobil mulai kembali berjalan. Ada waktu yang harus dikejar. "Kamu boleh mengerjakan tugas bersama mereka, asal di tempat terbuka agar banyak orang yang melihat. Kalian tidak boleh terlalu lama untuk menyelesaikan tugas itu. Kamu jangan pernah duduk berdekatan dengan satu pria pun di kelompok kamu atau cowok mana pun selain saya, Ayah, dan Gavin." Om Restu tiba-tiba memberikan syarat konyol yang nggak mungkin aku bantah. Nggak tahu kenapa, otak dan hatiku selalu bermasalah kalau berhubungan dengan pria tua menyebalkan ini. Jauh di dalam hati aku pengin melakukan pemberontakan. Tapi, otakku yang selalu berkuasa memerintahkan untuk tunduk dan mematuhi Om Restu. Aku yakin Om Restu berhasil menemukan dukun pelet yang hebat sampai aku nggak berkutik di hadapannya. "Demi membuat kamu tenang, saya akan menemani kamu menyelesaikan tugas. Jam berapa kamu akan mengerjakan tugas kelompok itu, Gi?" Kalau kalian tahu cara menjebol dinding posesif ini, tolong kasih tahu aku. Aku butuh banget!Makan malam yang harusnya romantis, mendadak menjadi suram. Ini bukan karena kami cuma dinner pakai bakso. Nggak ada yang salah dengan candle light dinner pakai bakso atau seblak sekalipun. Yang bikin suram itu orang yang duduk di hadapanku.Om Restu memang bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak merasa bersalah setelah membuat jantungku nyaris kabur lewat mulut. Tapi, aku tentu nggak bisa bersikap biasa saja.Gimana mungkin aku tenang setelah pacarku yang ganteng, posesif, dan punya anak satu ini bertanya kapan aku siap menikah? Boro-boro tenang, buat bernapas lancar saja sudah alhamdulillah. Aku bahkan harus bernapas lewat mulut, mirip cara ikan-ikan peliharaanku bertahan hidup di dalam air. Untung saja aku nggak punya ekor dan mata yang nggak bisa berkedip.Mendadak pikiranku melayang ke hari pertemuan pertamaku dengan calon mertua. Aduh! Lidahku yang memanggil orang tua Om Restu sebagai calon mertua saja sukses bikin merinding. Rasa geli dan getarannya menimbulkan sensasi asing
Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan?Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekali
Pacaran jarak jauh? Kok ada, sih, orang yang bisa bertahan lama dalam hubungan, tapi jarang bertemu? Apa enaknya pacaran cuma ngobrol dan saling bertanya kabar lewat ponsel? Kalau cuma bertanya kabar dan mengingatkan makan, alarm ponsel juga mampu. Kalian tinggal pasang pengingat di waktu yang diinginkan dengan keterangan yang menggoda. Saat waktunya tiba, di layar ponsel akan muncul pemberitahuan yang perhatian banget sama kalian. Alarm bahkan nggak akan berkhianat, paling cuma nggak bunyi kalau lupa isi ulang baterai ponsel saja.Untungnya, aku punya pacar yang rumahnya nggak jauh, malah keterlaluan dekatnya. Jarak rumah kami nggak sampai sepuluh meter. Kalau janjian bertemu, hanya dengan membuka pintu rumah saja kami sudah bisa melepas rindu. Sayangnya, aku nggak pernah merasakan nikmatnya menelepon pacar sambil duduk di pinggir jendela, lalu saling melambaikan tangan di tengah malam. Om Restu lebih senang datang menghampiriku dan berbicara langsung daripada harus melalui perantara
Kalian punya pacar posesif? Kasihan!Aku berani menjamin hidup kalian nggak akan tenang lagi. Aturan ketat yang dia buat hanya akan menjadi penghambat semua impian kalian. Pepatah yang mengatakan 'dunia seperti milik berdua, sedangkan yang lain ngontrak' nggak lagi terasa romantis, tapi justru miris. Kecemasan yang dia rasakan jelas memberikan siksaan untuk kalian.Memang orang yang posesif itu konyol. Mereka yang takut berlebihan, tapi orang lain yang harus merasakan penderitaan. Nggak enak, kok, ngajak-ngajak. Apa mereka nggak bisa menikmati kecemasan dan ketakutannya dalam diam gitu? Kalau senang-senang, bolehlah dia mengajak banyak orang untuk ikut merasakan.Ada yang lebih konyol dari orang posesif: orang yang masih bertahan dalam sebuah hubungan bersama pasangannya yang posesif. Sudah tahu hubungan ini cuma membuat kesal, tapi masih saja nggak mau melepas. Ini lelucon paling nggak lucu sepanjang abad. Ah, Firaun saja sampai bengong mendengar kisah ini.Kalau kalian merasakan itu