Home / Romansa / The Wedding Fuss / 2. Compare With The Past

Share

2. Compare With The Past

Author: Franciarie
last update Last Updated: 2025-04-24 06:55:40

Pacaran jarak jauh? Kok ada, sih, orang yang bisa bertahan lama dalam hubungan, tapi jarang bertemu? Apa enaknya pacaran cuma ngobrol dan saling bertanya kabar lewat ponsel? Kalau cuma bertanya kabar dan mengingatkan makan, alarm ponsel juga mampu. Kalian tinggal pasang pengingat di waktu yang diinginkan dengan keterangan yang menggoda. Saat waktunya tiba, di layar ponsel akan muncul pemberitahuan yang perhatian banget sama kalian. Alarm bahkan nggak akan berkhianat, paling cuma nggak bunyi kalau lupa isi ulang baterai ponsel saja.

Untungnya, aku punya pacar yang rumahnya nggak jauh, malah keterlaluan dekatnya. Jarak rumah kami nggak sampai sepuluh meter. Kalau janjian bertemu, hanya dengan membuka pintu rumah saja kami sudah bisa melepas rindu. Sayangnya, aku nggak pernah merasakan nikmatnya menelepon pacar sambil duduk di pinggir jendela, lalu saling melambaikan tangan di tengah malam. Om Restu lebih senang datang menghampiriku dan berbicara langsung daripada harus melalui perantara ponsel.

"Bertemu secara langsung dan menghabiskan waktu bersama jauh lebih menarik daripada hanya menatap layar ponsel. Apakah kamu tidak merasakan sakit mata kalau terlalu lama bermain ponsel, Gi? Saya tidak akan pernah sakit mata karena bisa setiap hari bertemu dengan kamu." Itu alasan Om Restu saat aku mengajaknya mengobrol sebelum tidur. "Lagi pula, deep talk lebih menyenangkan dilakukan sambil berpelukan. Untuk hubungan kita sekarang, jelas itu tidak pantas diwujudkan. Kamu harus bersabar lebih lama agar kita bisa bebas berbicara di tengah malam, Gi."

Iya, Om Restu memang sekaku itu. Nggak cuma susunan dan pilihan kata yang terlalu membosankan, tapi aturan hidupnya juga sangat meresahkan. Untung aku sayang. Kalau nggak, om-om tua itu sudah kujual di tukang loak. Aku yakin dengan tampang seperti itu pasti Om Restu punya harga yang mahal.

Aku duduk di ruang tamu rumah Om Restu. Pulang sekolah tadi siang, Gavin memintaku untuk menemani mengerjakan tugas. Sebenarnya, aku nggak yakin bisa membantunya, apalagi PR Gavin hari ini bahasa Inggris. Kosakata dalam bahasa Inggris yang paling kupahami cuma yes, no, dan eating saja. Gimana caranya aku mengajari Gavin yang sekolahnya di SD internasional?

Lagian, kenapa Om Restu harus membayar mahal untuk menyekolahkan Gavin di sana, sih? Memangnya apa bedanya dengan sekolah negeri yang biayanya lebih merakyat? Aku memang harus lebih memahami cara berpikir Om Restu biar nggak terlalu sering berdebat. Nggak lucu kalau kami sudah menikah, tapi setiap hari selalu meributkan hal sepele, kayak menggosok gigi seharusnya dilakukan pertama atau terakhir dalam ritual mandi. Aku tim menggosok gigi itu harus belakangan. Jadi, kalau air mendadak habis, aku nggak akan panik karena badanku sudah wangi. Urusan gosok gigi bisa digantikan dengan berkumur dengan mouth wash saja.

Ruang tamu ini sudah berubah. Foto-foto mendiang istrinya Om Restu sudah nggak ada. Nggak tahu ke mana Om Restu memindahkannya. Sekarang, ruangan ini dihiasi wajah Gavin dan Om Restu saja. Tempat ini menjadi ruangan favoritku di rumah ini. Sendirian begini saja aku merasakan hangat karena masih bisa melihat wajah Om Restu dan Gavin di dalam bingkai. Memang mereka nggak bisa diajak bergibah, tapi senyum tulus yang mereka pamerkan bisa menyalurkan ketenangan dan kehangatan untukku.

Gavin datang dengan tumpukan buku di tangan dan ransel menggantung di pundak kirinya. Dia meletakkan tumpukan buku di meja, lalu duduk di lantai. "Ini tugasnya, Kak." Gavin membuka bukunya. Belum membaca soal yang tertulis di buku saja sudah membuat kepalaku bercabang lima.

Kayaknya aku harus memikirkan cara untuk kabur. Ini demi harga diriku di hadapan Gavin. Jangan sampai Gavin tahu aku ini nggak terlalu pintar. Apa aku pura-pura kesurupan saja biar nggak malu-maluin? Aku bisa mengaku dirasuki kuyang yang masuk angin karena kelamaan keluyuran malam-malam. Angin malam itu memang nggak bagus buat tubuh, apalagi kuyang itu organ dalamnya terpampang nyata tanpa perlindungan sama sekali. Angin malam yang lembab akan langsung meresap ke dalam jantung dan paru-paru Kuyang. Jelas ini bisa menghambat otak kuyang bekerja dengan maksimal. Jadi, wajar kalau kuyang setiap diajak diskusi sering nggak paham. Eh, tapi, emang ada yang ngajakin kuyang ngobrol?

Aku mengambil buku Gavin. Deretan huruf yang tertulis di buku berserakan. Mataku memindai halaman yang terbuka, tapi sama sekali nggak mampu memahami artinya. Perlahan huruf-huruf itu semakin kacau. Gerakannya bertambah cepat, saling berbenturan satu sama lain. Berulang kali aku mengerjap, tapi tetap saja huruf-huruf itu berlarian ke sana-kemari.

"Kak Gia ngerti nggak?" Pertanyaan Gavin semakin membuatku pening. Tapi, demi harga diri aku mengangguk.

Aku mencoba lebih keras untuk memahami tugas Gavin. Sayangnya, tanpa bisa memahami maksud dari kata-kata yang bertebaran, aku nggak akan pernah menyelesaikan permasalahan apa pun di sini.

Gavin terus memandangku. Mata kecilnya yang tajam terasa mengintimidasi, padahal dia hanya menanti penjelasan dariku. Suasana mendadak gerah banget. Wajahku sudah basah karena keringat mengucur deras. Ini memang sudah musim hujan, tapi wajahku nggak seharusnya banjir begini.

"Kak Gia bisa nggak, sih?" Gavin sudah nggak sabar.

Aku meringis untuk menutupi gugup. Mungkin wajahku malah terlihat mirip badut di film horor IT karena wajahku kaku banget.

Aku menangkap kekecewaan di wajah Gavin. Kepalanya menunduk, meratapi nasib apes punya calon mama tiri yang kurang otak sepertiku. Kalau aku bisa memilih, waktu pembagian otak dulu, aku akan menyerobot antrian. Sayangnya, aku nggak bisa memutar waktu lagi. Kapasitas otakku nggak bisa dinaikkan.

"Maafin, Kak Gia," kataku lirih. Aku menyentuh tangan Gavin yang tergeletak lemah di meja.

Gavin memandangku. "Kalau Mama masih ada, pasti sudah ngajarin Gavin sekarang."

Mataku berkedip cepat. Ada serangan rudal Rusia yang menghancurkan kepalaku. Sesaat aku bengong menatap Gavin yang sedih. Ucapan Gavin barusan berhasil menghancurkan mentalku. Nggak mampu membantu Gavin mengerjakan PR saja sudah membuatku merasa bersalah. Kenapa dia harus membandingkanku dengan mamanya yang sudah meninggal?

Aku nggak pernah kenal mamanya Gavin. Yang aku tahu, dia wanita cantik dan baik. Kalau nggak baik, nggak mungkin Om Restu dan Gavin sampai sekarang masih teringat sama dia. Ini sudah hampir tiga tahun mereka berpisah alam. Tapi, rasanya dia masih ada di sini. Fotonya memang nggak lagi menggantung di dinding ruang tamu ini. Tapi, aku merasa Om Restu masih membiarkan kenangan mereka hadir di dekatnya dan Gavin.

Apakah aku berlebihan kalau cemburu dengan wanita yang sudah meninggal?

Sekarang, aku bingung harus melakukan apa. Aku nggak sanggup untuk menghibur Gavin karena hatiku juga nyeri. Rasanya kayak ada yang membuat api unggun di dalam dadaku. Apinya perlahan semakin membesar dan membakar jantungku sampai gosong. Aku pengin berteriak, tapi nggak mungkin kulakukan di depan Gavin. Malam ini Gavin memang menyebalkan. Aku pengin mengomel dan meluapkan kekesalanku padanya. Tapi, otakku lagi-lagi menghambat hasratku.

"Kak Gia beneran mau nikah sama Papa?" tanya Gavin tanpa mau memandangku. "Kalau Kak Gia nikah sama Papa, berarti Kak Gia jadi mamanya Gavin?"

Ini anak kenapa, sih? Kayaknya tadi dia cerita nggak makan jajanan yang aneh di sekolah. Tadi pagi Bunda juga membawakan bekal roti dengan isi banyak selai cokelat dan keju buat Gavin. Apa jangan-jangan Bunda salah mengolesi roti dengan sambal makanya yang keluar dari mulut Gavin ada pedas-pedasnya gitu?

"Gavin kenapa?" tanyaku setelah mulai bisa menguasai diri. "Iya, nanti Kak Gia akan jadi mamanya Gavin." Aku sengaja tersenyum. Mungkin senyum manisku ini mampu meredakan ketakutan yang Gavin rasakan.

Bukannya menjawabku, Gavin malah melakukan gerakan tutup mulut. Sekarang, aku kasihan melihatnya. Nggak tahu apa yang dia pikirkan, tapi aku pengin meluk dia.

Aku mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. Gavin mematung. Dia nggak peduli aku sudah berada di dekatnya. Tanpa perlu menanyakan apa pun lagi, aku meraih tubuhnya. Aku mendekapnya erat.

Dalam pelukanku Gavin menangis. Kubiarkan dia meluapkan kesedihannya walaupun kausku jadi basah terkena air mata dan ingusnya. Aku terus memeluk Gavin sambil mengusap punggungnya. Nggak ada kata penenang dariku. Aku paham banget yang dia butuhkan hanya dekapan, bukan kata-kata bijak.

Cukup lama Gavin menangis. Rasanya dadaku sesak melihatnya hancur begini. Mungkin sekarang dia sedang merindukan mamanya. Dia pengin mengulang kenangan dengan mamanya bersamaku. Tapi, aku berhasil menghancurkan harapannya karena nggak bisa menjawab PR Gavin. Jangankan menjawab satu soal, membacanya saja sudah membuatku pusing.

Ini kenapa Om Restu nggak pulang-pulang, sih? Harusnya, aku memberi kabar tentang kondisi Gavin. Tapi, aku memilih menunggunya saja. Dia pasti sedang sibuk banget di kantor sampai pulang telat begini. Kalau nggak, Om Restu pasti sudah ada di sini sejak tadi. Dia nggak mungkin mengabaikan Gavin. Kalau nggak terpaksa, Om Restu nggak akan sanggup jauh dari Gavin dalam waktu lama. Setelah istrinya meninggal, Gavin adalah harta paling berharganya. Dia akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan anaknya. Buktinya, dia sampai memboyong Gavin pindah ke sini. Om Restu berharap bisa membuat kenangan baru agar Gavin bisa kembali ceria setelah kematian mamanya.

Sayangnya, usaha Om Restu belum sepenuhnya berhasil. Gavin masih terus merindukan mamanya sampai detik ini.

Gavin melepas pelukanku. Dia membersihkan hidungnya dari ingus yang menyumbat dengan lengan kausnya. Hidungnya yang mancung jadi merah. Isakannya masih ada, tapi nggak sekencang tadi. "Kak Gia nggak boleh jadi mama barunya Gavin!"

Ini bulan November, tapi perkiraan cuaca hari ini nggak ada hujan badai. Kenapa di sekitarku banyak petir yang menyambar, sih? Nggak mungkin BMKG salah melakukan perhitungan, kan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Wedding Fuss   4. Affraidd of Marry

    Makan malam yang harusnya romantis, mendadak menjadi suram. Ini bukan karena kami cuma dinner pakai bakso. Nggak ada yang salah dengan candle light dinner pakai bakso atau seblak sekalipun. Yang bikin suram itu orang yang duduk di hadapanku.Om Restu memang bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak merasa bersalah setelah membuat jantungku nyaris kabur lewat mulut. Tapi, aku tentu nggak bisa bersikap biasa saja.Gimana mungkin aku tenang setelah pacarku yang ganteng, posesif, dan punya anak satu ini bertanya kapan aku siap menikah? Boro-boro tenang, buat bernapas lancar saja sudah alhamdulillah. Aku bahkan harus bernapas lewat mulut, mirip cara ikan-ikan peliharaanku bertahan hidup di dalam air. Untung saja aku nggak punya ekor dan mata yang nggak bisa berkedip.Mendadak pikiranku melayang ke hari pertemuan pertamaku dengan calon mertua. Aduh! Lidahku yang memanggil orang tua Om Restu sebagai calon mertua saja sukses bikin merinding. Rasa geli dan getarannya menimbulkan sensasi asing

  • The Wedding Fuss   3. Normal Dating

    Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan?Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekali

  • The Wedding Fuss   2. Compare With The Past

    Pacaran jarak jauh? Kok ada, sih, orang yang bisa bertahan lama dalam hubungan, tapi jarang bertemu? Apa enaknya pacaran cuma ngobrol dan saling bertanya kabar lewat ponsel? Kalau cuma bertanya kabar dan mengingatkan makan, alarm ponsel juga mampu. Kalian tinggal pasang pengingat di waktu yang diinginkan dengan keterangan yang menggoda. Saat waktunya tiba, di layar ponsel akan muncul pemberitahuan yang perhatian banget sama kalian. Alarm bahkan nggak akan berkhianat, paling cuma nggak bunyi kalau lupa isi ulang baterai ponsel saja.Untungnya, aku punya pacar yang rumahnya nggak jauh, malah keterlaluan dekatnya. Jarak rumah kami nggak sampai sepuluh meter. Kalau janjian bertemu, hanya dengan membuka pintu rumah saja kami sudah bisa melepas rindu. Sayangnya, aku nggak pernah merasakan nikmatnya menelepon pacar sambil duduk di pinggir jendela, lalu saling melambaikan tangan di tengah malam. Om Restu lebih senang datang menghampiriku dan berbicara langsung daripada harus melalui perantara

  • The Wedding Fuss   1. Possessive Man

    Kalian punya pacar posesif? Kasihan!Aku berani menjamin hidup kalian nggak akan tenang lagi. Aturan ketat yang dia buat hanya akan menjadi penghambat semua impian kalian. Pepatah yang mengatakan 'dunia seperti milik berdua, sedangkan yang lain ngontrak' nggak lagi terasa romantis, tapi justru miris. Kecemasan yang dia rasakan jelas memberikan siksaan untuk kalian.Memang orang yang posesif itu konyol. Mereka yang takut berlebihan, tapi orang lain yang harus merasakan penderitaan. Nggak enak, kok, ngajak-ngajak. Apa mereka nggak bisa menikmati kecemasan dan ketakutannya dalam diam gitu? Kalau senang-senang, bolehlah dia mengajak banyak orang untuk ikut merasakan.Ada yang lebih konyol dari orang posesif: orang yang masih bertahan dalam sebuah hubungan bersama pasangannya yang posesif. Sudah tahu hubungan ini cuma membuat kesal, tapi masih saja nggak mau melepas. Ini lelucon paling nggak lucu sepanjang abad. Ah, Firaun saja sampai bengong mendengar kisah ini.Kalau kalian merasakan itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status